01 April 2016

KOMUNIKASI KRISIS DAN KRISIS KOMUNIKASI

Tulisan ini telah dimuat pada Kolom Opini Harian Kontan, Jumat 1 April 2016

Persaingan antara taksi konvensional dengan “taksi” berbasiskan aplikasi menjadi perbincangan hangat belakangan ini. Hal tersebut menjadi isu yang melibatkan stakeholders dalam industri transportasi seperti perusahaan transportasi, para karyawan, perusahaan aplikasi, dan tentunya pemerintah. Isu berkembang akibat gagapnya pemerintah akan regulasi dan lambannya perusahaan transportasi untuk beradaptasi.

Sejak demonstrasi pertama para pengemudi taksi dilakukan (14 Maret 2016), isu tersebut terkesan gagal diantisipasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan sehingga menjadi tidak terkontrol dan berdampak pada kenyamanan konsumen. Pemerintah terkesan kebingungan dan tidak kompak dalam menghadapi isu ini. Terbukti ketika di akhir tahun lalu, Menteri Perhubungan melalui Ditjen Hubdat melarang beroperasinya ojek berbasiskan aplikasi yang kemudian larangan tersebut dibatalkan atas instruksi Presiden Jokowi.

Isu merupakan sebuah kondisi yang jika berlanjut akan mempunyai efek signifikan pada performa organisasi di masa yang akan datang (Regester & Larkin, 2008). Isu terjadi karena ada gap antara harapan publik untuk mendapatkan transportasi yang nyaman, yang selama ini tidak dapat diakomodir oleh pemerintah. Perubahan dan kemajuan teknologi kemudian menghadirkan layanan transportasi berbasiskan aplikasi yang oleh publik dianggap sebagai solusi atas permasalahan transportasi selama ini. Gerak cepat perubahan ini juga kurang diantisipasi oleh perusahaan transportasi konvensional.

Puncaknya, demontrasi pengemudi taksi konvensional terjadi lagi pada Selasa, 22 Maret 2016. Demonstrasi berkembang menjadi kerusuhan – memukuli ojek aplikasi, memaksa penumpang turun taksi yang beroperasi, membuat semakin macetnya Jakarta. Isu menjadi begitu liar dan menyebar luas dan cepat melalui berbagai media sosial. Aksi tersebut tampak tidak terantisipasi dengan baik oleh petugas keamanan sehingga menjadi sebuah civil clash.

Perusahaan taksi yang pengemudinya terlibat dalam aksi tersebut kemudian menjanjikan akan memberikan layanan gratis selama 24 jam pada 23 Maret 2016. Namun disayangkan perusahaan taksi tersebut mengatakan tidak bertanggung jawab terhadap aksi vandalisme yang melibatkan para pengemudinya. Satu lagi kegagapan perusahaan dalam mengantisipasi isu.

MEREDAM ISU BERBUAH KRISIS

Para konsumen transportasi yang menyaksikan – atau bahkan menjadi korban – aksi kerusuhan para pengemudi taksi tersebut telah antipati. Konsumen tentu akan berpikir ulang untuk menggunakan jasa sebuah perusahaan taksi yang para pengemudinya beringas dan arogan. Tindakan meng-gratis-kan layanan malah terkesan “menyogok” konsumen dan menggampangkan permasalahan yang terjadi. Saat itulah justru reputasi perusahaan yang telah dibangun bertahun-tahun dipertaruhkan.

Isu persaingan antara taksi konvensional dengan “taksi” aplikasi seharusnya telah dapat disadari oleh perusahaan semenjak tahapan awal. Jack Trour (2001) mengatakan “Differentiate or Die”. Siapapun yang tidak dapat berinovasi dalam sebuah kompetisi akan menjadi pecundang. Gelombang kemajuan teknologi dan digitalisasi membuat kompetisi semakin sengit – siapa yang tak mampu beradaptasi harus siap tersingkir.

Ketika para pengemudi taksi berdemonstrasi dengan cara kekerasan justru disitulah terlihat ketidakmampuan perusahaan untuk menghadapi kompetisi. Sesungguhnya yang dilawan oleh para pengemudi taksi tersebut adalah konsumennya sendiri – yang hanya membutuhkan sebuah kenyamanan dan keamanan.

Aksi demonstrasi pengemudi taksi yang disertai kekerasan sesungguhnya telah mengubah sebuah isu menjadi sebuah krisis bagi perusahaan mereka bekerja. Sebuah krisis yang dapat berdampak fatal bagi perusahaan. Kehilangan kepercayaan publik, kehilangan (lagi) market-share, anjloknya nilai saham dan yang paling buruk tutupnya perusahaan.

Dalam perspektif komunikasi krisis, cara meng-gratis-kan layanan justru akan menjadi bumerang bagi perusahaan. Apalagi perusahaan terkesan lepas tangan dengan mengatakan tidak bertanggung jawab atas aksi kekerasan yang dilakukan oleh para pengemudi taksi mereka – yang dalam keadaan normal justru menjadi identitas dan ambasador perusahaan taksi tersebut. Krisis yang telah terjadi terlihat membuat perusahaan dan shareholder panik.

KOMUNIKASI KRISIS DAN KRISIS KOMUNIKASI

Munculnya seorang CEO dalam sebuah krisis sudah merupakan hal yang tepat. Dalam keadaan krisis, munculnya seorang CEO merupakan tanda perusahaan serius dalam menangani krisis yang sedang terjadi. Yang kemudian harus diperhatikan adalah cara dan pesan komunikasi dari CEO tersebut. Publik dapat melihat hal tersebut dari komunikasi verbal dan non-verbal yang dilakukan.

Walau ada istilah “there is no bottom to apology” namun sebuah perencanaan dan diikuti oleh respon yang cepat sangatlah diperlukan dalam sebuah krisis. Sayangnya banyak CEO terkesan gagap menghadapi krisis sehingga bukan komunikasi krisis yang dilakukan, melainkan menjadi sebuah krisis komunikasi karena kesalahan perencanaan dan respon.

Dalam komunikasi krisis, hal yang perlu diperlihatkan adalah kejujuran dan transparansi. Perusahaan haruslah melakukan tindakan yang sesuai dengan harapan publik, bukan malah mengabaikannya. Dalam hal ini, segeralah membentuk tim komunikasi krisis dan melakukan media relations secara baik. Fakta-fakta dan rencana dari perusahaan selanjutnya akan menjadi sebuah news value bagi media. Kesempatan inilah yang harus digunakan oleh perusahaan untuk meng-update informasi secara reguler bagi publik.

Terakhir, diperlukan komitmen dari perusahaan agar semua informasi yang disampaikan ke publik dapat terealisasi dengan baik. Perubahan, adaptasi, evolusi perusahaan yang disertai komitmen menjadi peluang bagi perusahaan untuk dapat kembali mendapatkan reputasi, walau hal tersebut mungkin butuh kesabaran dan tidak dapat dicapai dalam waktu yang singkat.

Inco Hary Perdana
Dosen Public Relations FIKOM - UMN

19 July 2015

7 Langkah Menjadi Konsumen Media Online Yang Cerdas

Indonesia dengan rakyat ±250 juta jiwa memang pasar yang paling asyik buat menggoreng berita masalah konflik agama... Media online membuat hal tersebut lebih mudah dan cepat.

Apakah kita lantas menjadi anti dengan media online? Anti dengan berita? Tidak. Yang diperlukan adalah kemampuan melakukan literasi media. Lantas, bagaimana seharusnya kita mengonsumsi sebuah media online? Berikut adalah 7 langkah mudah dalam mengonsumsi media online yang dapat kita terapkan pada diri sendiri. Tidak mudah memang, namun dapat dilakukan.
  1. Saat kita membaca sebuah  media online, silakan cek bagian redaksionalnya. Media online yang kredibel akan secara jelas mencantumkan alamat dan kontak redaksi serta susunan Dewan Redaksi. Dalam dunia online, transparansi dan akuntabilitas media itu penting. Dalam komunikasi, isi pesan memang penting tapi kredibilitas komunikator juga tak kalah penting. Kita tak akan pernah tahu siapa yang menulis sebuah berita dan apa maksudnya… Jangan-jangan yang menulis itu jin atau dedemit. Mau kita percaya dengan dedemit?
  2. Tulisan berupa fakta harus jelas dapat dibedakan dengan interpretasi atau opini, sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik Pasal 5 “Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta mencampuradukkan fakta dan opini sendiri. Tulisan berisi interpretasi dan opini wartawan agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.” 
  3. Jika kita menerima sebuah foto atau gambar yang belum jelas sumbernya, silakan dicek melalui Google Image SearchKita akan menemukan situs mana saja yang telah memuat gambar tersebut dan bisa ditelusuri berita aslinya. Di era digital ini, bukan hanya manipulasi gambar semakin mudah, namun juga sebuah gambar seringkali ditambahkan kata-kata provokatif dan mengandung fitnah. 
  4. Jika sebuah berita di sebuah media online ternyata merupakan hasil saduran/kutipan dari media online lain, harap dicek pula sumber rujukan aslinya. Beberapa media online mainstream ternyata dengan mudah asal kutip dari media online abal-abal atau media online dengan berita-berita HOAX. Hal itu sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik Pasal 12 “Wartawan Indonesia meneliti kebenaran bahan berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita.”
  5. Jika ada media online yang secara nyata menampilkan gambar jenazah korban (kecelakaan, kriminal) secara jelas, sudah pasti media tersebut melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 3 “Wartawan Indonesia tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang menyesatkan, memutarbalikkan fakta, bersifat fitnah, cabul, sadis dan sensasi berlebihan.”
  6. Salah satu sifat prinsip dari media haruslah cover both sides. Jika sebuah media online secara tendensius hanya melihat dari satu sisi saja tanpa memperhatikan sisi lainnya maka sudah dipastikan media tersebut diragukan kredibilitasnya. Cara paling mudah bagaimana melihat apakah sebuah media memenuhi prinsip cover both sides adalah dengan melihat narasumber dari sebuah pemberitaan. Misalkan jika dalam sebuah peristiwa konflik dua kelompok, maka seharusnya narasumber berasal dari dua kelompok tersebut, tidak hanya satu kelompok saja. Berita tersebut akan tambah kredibel jika ditambahkan narasumber ahli dan mempunyai kompetensi dalam kasus tersebut, misalkan jika kasusnya tentang masalah hukum maka narasumber ahli harus berasal dari ahli hukum, bukan sosiolog ataupun politisi.
  7. Selalu bandingkan berita-berita kita dapatkan dengan media tradisional. Hirarki redaksional pada media tradisional membuat sebuah berita harus melalui beberapa tahapan verifikasi editor dan redaktur sebelum dipublikasikan. Media online memang mempunyai keunggulan masalah kecepatan berita, tapi belum tentu ketepatan berita.
Jika ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan media tersebut maka dengan mudah dapat melakukan HAK JAWAB atau meminta klarifikasi media tersebut. Jika dibutuhkan, media tersebut dapat dilaporkan ke Dewan Pers melalui tautan ini.

Kita semua bertanggung jawab atas semua informasi yang kita sebarkan. Kecerdasan bukan hanya masalah intelektual, namun juga emosi dan spiritual... Jadilah konsumen yang cerdas dan tidak malas...

07 July 2014

Tidak Mudah Menjadi Golput


Pemilu Presiden 2014 benar-benar menjadi 'pesta demokrasi' baik secara offline maupun online. Pesta yang seakan menyiapkan lengsernya SBY - yang selama sepuluh tahun ini membuat rakyat kompak buat mengritiknya - sekaligus menyiapkan karpet merah buat kedatangan presiden baru.

Terutama di social media, dukungan kepada masing-masing capres begitu terasa. Mulai dari pasang profile picture sampai share berita-berita yang memberi nilai plus pada capres dukungannya, dan juga segala keburukan kompetitornya. Sampai di sini saya masih oke.

'Pesta Demokrasi' perlahan berubah menjadi 'perang demokrasi' yang masing-masing beradu argumen, baik yang berupa fakta ataupun masih sebatas asumsi. Mulai terlihat debat di sana-sini... dan pastinya semua merasa benar dan tidak ada yang mau kalah. Oke, sampai di sini saya mulai jengah.

Sejak pemilu 1997 (jadi ketahuan deh umurnya...) sampai pemilu 2009 lalu saya tidak pernah sekalipun menjadi golput. Keluarga saya - keluarga PNS dan birokrat - punya jagoan yaitu Golkar. Tradisi itu diturunkan pada saya sehingga saya selalu mencoblos partai pilihan keluarga saya tersebut sampai 2009. Sekali pernah absen mencoblos Golkar yaitu saat euforia reformasi pada pemilu 1999 dan saya saat itu mencoblos PRD (Partai Rakyat Demokratik) serta PUDI (Partai Uni Demokrasi Indonesia). Sayangnya, partai-partai tersebut tidak menang bahkan isinya banyak yang hijrah ke partai-partai mainstream.

Lalu bicara tentang golput, maka dulu saya termasuk orang yang sebel sama orang yang golput. Saya berfikiran mereka itu orang-orang yang malas dan tidak berani memilih. Bahkan di tahun 2004 saya pernah ikut kompetisi iklan yang diadakan KPU untuk mengurangi angka golput, terutama di kalangan pemuda.

Namun hal itu berubah sejak 2010. Sejak saya sekolah lagi dan mengambil jurusan komunikasi politik. Dulu tak pernah terpikirkan bagi saya untuk mempelajari masalah politik. Bahkan dulu saya sering berasumsi bahwa hanya ada tiga kelompok orang yang suka bicara politik yaitu: (1) Politisi; (2) Orang yang kuliah politik; dan (3) Pengangguran atau orang yang gak ada kerjaannya. Namun semenjak maraknya social media, seakan politik menjadi topik yang menarik sehingga tiap orang senang bicara politik dan sering merasa paling ahli dalam hal politik.

Sejak Pemilukada DKI 2012 saya menyatakan untuk menjadi golput. Suatu hal yang dulu saya anggap tabu. Namun entah kenapa, semakin saya tahu masalah politik - secara akademis dan bukan dari media-media partisan - semakin sulit bagi saya untuk menentukan pilihan. Mungkin pula saya menjadi utopis, karena mengharapkan pemimpin yang ideal dan tanpa cela.

Beberapa teman bahkan mengingatkan saya, "Hei... kamu memilih pemimpin lho, bukan nabi." Tapi entah kenapa tetap saja membuat saya sulit untuk memilih. Begitu banyak keburukan politik yang telah kami bahas di kelas dan tak sampai ke media.

Derita menjadi golput adalah saya digencet kanan-kiri. Sering pula di caci pengecut dan dianggap 'buang body'. Ah, padahal saya baik-baik saja kok dengan pilihan orang lain. Beberapa tidak secara frontal, tapi menggiring opini saya untuk memilih salah satu kandidat. Menarik!

Ada juga yang menyinggung satir sambil mem-posting foto mahasiswa 98 yang sedang menduduki gedung DPR. Saya hanya bisa tersenyum... karena pihak yang saya anggap - ini asumsi - bertanggung jawab dalam kasus-kasus 98 justru ada di pihaknya. Ah, apa kata teman-teman yang gugur kalo saya memilih para pelakunya.

Faktanya memang masih banyak golput yang terjadi karena apatisme – ketidakpedulian pada politik yang ada. Kelompok golput ini beranggapan apapun hasil pemilu nanti tidak akan berpengaruh pada kehidupan pribadi mereka. Mereka akan tetap cari makan sendiri, berjuang sendiri. Implementasi pemikiran ini adalah kelompok ini tidak datang pada hari pencoblosan, memilih berdiam di rumah atau bahkan berwisata bersama keluarga.

Kelompok golput apatis ini yang seringpula disebut sebagai buta politik. Mereka tidak sadar bahwa politik hadir dalam berbagai sisi kehidupan mereka. Jalan raya, fasilitas umum, bahkan standar upah bagaimanapun adalah sebuah produk politik yang difaktualisasikan melalui hukum positif. Public policy adalah sebuah produk politik yang suka atau tidak suka akan dinikmati oleh setiap warga negara.

Kelompok lainnya dari golput ini saya sebut dengan golput rasional. Golput tidak dilakukan karena bentuk apatisme, bukan pula sebagai bentuk perlawanan seperti golput pada masa orde baru. Golput dalam kelompok ini justru merupakan perwujudan dari media literacy yang baik dan kelompok ini umumnya memiliki informasi yang berimbang, secara holistik melihat dan mengkomparasi beberapa sumber informasi untuk melihat validitas informasi yang didapat. Kelompok ini tidak mudah untuk meneruskan – share, retweet – informasi yang mereka dapat terutama dari social media sebelum mereka bisa melakukan check & re-check akan validitas informasi.

Golput rasional bukanlah merupakan sebuah bentuk perlawanan. Kelompok ini sadar bahwa yang mereka hadapi adalah sebuah sistem yang memang tidak dapat dilawan. Rasionalitas kelompok ini didasari bagaimanapun ada unsur transaksional dalam sebuah proses pemilu, dan kelompok ini memiliki kriteria dan standar tertentu yang harus dipenuhi oleh kontestan pemilu. Golput rasional akan sangat mungkin menjadi pemilih yang rasional – dan tidak membabi-buta – jika suatu saat kontestan pemilu memenuhi standar mereka.

Sekilas mungkin seperti utopia, namun kelompok golput rasional ini adalah orang-orang yang bisa diajak berdiskusi dan tidak fanatik akan ke-golput-annya. Pengetahuan mereka yang holistik dan netral membantu mereka untuk dapat berdiskusi dengan pihak lain tanpa harus memaksakan apalagi menyalahkan pendapat yang berseberangan.

Yang menarik adalah, kelompok golput rasional tidak akan menjadi kelompok yang anti terhadap hasil pemilu nantinya. Kelompok ini akan menghormati hasil pemilu namun memilih untuk tidak bekerja sama dengan produk hasil pemilu tersebut. Sikap ini dikenal dengan sebuah gerakan non-koorporatif, yang artinya kelompok ini tidak mau bergantung kepada sistem atau produk hasil pemilu nantinya – namun tidak pula menolak.

Gerakan non-koorporatif adalah pula sebuah gerakan kemandirian dalam berfikir dan bersikap. Artinya kelompok ini tidak akan terburu-buru menyalahkan pihak lain jika ada sebuah kondisi yang salah. Kelompok ini justru akan melakuan auto-critism, yang artinya mereka akan mencoba melakukan perbaikan dari dalam – dari pemikiran dan tindakan mereka sendiri. Hal yang sangat sulit dilakukan oleh para pendukung fanatik para kandidat pemilu – yang kemudian banyak menghasilkan negative campaign.

Kelompok golput rasional ini mengimplementasikan gagasan mereka dengan tetap datang pada hari pemilu. Mereka tetap bersemangat untuk melaksanakan pesta demokrasi tersebut, namun bukan untuk memilih salah satu kandidat. Mereka datang, masuk bilik suara, dan merusak surat suara mereka sehingga nantinya akan menjadi surat suara yang tidak sah, dengan memilih semua kandidat atau mencoblos gambar lain di kertas suara.

Bagi kelompok ini, tidak datang pada hari pemilu sama saja dengan membiarkan ‘penjahat’ mengambil alih dan memanfaatkan kertas suara mereka untuk kepentingan kandidat tertentu. Bagi golput rasional, tidak datang pada hari pemilu bukan hanya menjadi apatis, namun juga memasrahkan nasib dan bergantung pada sistem. Jauh dari konsep kemandirian para golput rasional.

Akhir kata, saya tentu tidak berani mengatakan bahwa teman-teman yang mendukung capres tertentu tidak baik – tentu tidak begitu. Saya menghormati apapun pilihan teman-teman karena itu semua juga merupakan bagian dari demokrasi dan dijamin oleh undang-undang. Janganlah karena kita berbeda membuat alasan kita untuk dapat saling menyerang. Berbeda pilihan bukan berarti kita menjadi musuh... karena kita masih hidup di negeri yang sama, menggunakan bahasa yang sama... Indonesia.


01 August 2013

Tentang Pluralisme

Indonesia itu bumi pluralisme...
Rakyat Indonesia sudah terbiasa melalukan aktivitas kepentingan bersama tanpa melihat latar belakang agama. Panen bersama, membangun balai warga bersama dan sebagainya.

Pluralisme itu bersifat aktif bukan pasif. Maksudnya adalah pluralisme tidak hanya sekedar toleransi, yang mau sholat silakan... yang mau ke gereja silakan. Tidak, tidak... Pluralisme lebih dari itu.

Aktif di sini berarti melakukan aktivitas bersama - membangun bersama - tanpa melihat perbedaan yang ada. Yang dilihat adalah tujuan bersama...

Pluralisme adalah ketika umat Muslim ada yang meninggal dunia, maka yang Kristen meminjamkan mobil untuk membawa jenazah... Menyiapkan makanan untuk para tamu, sekaligus menghibur keluarga yang ditinggalkan.

Pluralisme adalah ketika umat Kristen beribadah mingguan, maka yang Muslim membantu mengatur lalu-lintas... Meminjamkan kursi jika ada umat yang masih berdiri di luar.

Pluralisme adalah ketika semua umat beragama di Indonesia bekerja sama untuk membuat gapura untuk perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia.

Pluralisme adalah ketika semua umat beragama di Indonesia bahu-membahu ketika terjadi bencana alam. Sumbangkan tenaga, biaya dan juga doa...

Pluralisme tidak mengacaukan keimanan... tidak membaurkan kepercayaan... tidak menyamakan apa yang memang berbeda. Namun justru mampu membangun sesuatu di atas fondasi perbedaan...