23 September 2007

Berbagi Kebahagiaan dengan Busway Trans Jakarta


Trans Jakarta atau lebih dikenal dengan sebutan Busway telah menghiasi ibukota Jakarta empat tahun belakangan ini. Dimulai dengan trayek klasik Blok M - Kota, kemudian disusul dengan koridor-koridor lainnya yang dibuka awal tahun ini.


Terakhir adalah koridor Lebak Bulus - Harmoni (Koridor VIII), sepanjang 26 km dan Pinang Ranti - Pluit (Koridor IX) sepanjang 29,9 km. Dua koridor terakhir ini melewati perumahan mewah Pondok Indah (Koridor VIII) dan Pluit (Koridor IX) yang kemudian banyak didemo oleh penduduk sekitar dengan alasan mengambil jalur mobil pribadi yang akan mengakibatkan bertambahnya kemacetan.



Kita tahu bahwa Jakarta tanpa adanya busway pun akan tetap macet. Dari enam juta mobil yang ada di Indonesia, 4.5 juta-nya beredar di kawasan Jabotabek. Hal ini sangat tidak sebanding dengan kondisi jalan yang pembangunannya tidak sepesat angka penjualan mobil baru. Belum lagi mobil-mobil tua masih tetap boleh beredar di Jakarta. Selain mobil angka penjualan sepeda motor juga sangat tinggi dengan adanya kemudahan kredit kendaraan bermotor. Dengan uang muka hanya Rp 250.000 saja seseorang sudah bisa membawa pulang sepeda motor baru, bayar cicilan masalah kemudian. Menurut data, 90% sepeda motor yang beredar di Jakarta dibeli dengan cara kredit.

Pemda DKI tentunya pusing tujuh keliling dengan masalah ini. Ditambah lagi masalah sosial-sosial lainnya. Bukan hal mudah untuk membereskan masalah tata ruang kota mengingat penduduk Jakarta pada siang hari mencapai 15 juta orang. Enam jutanya berasal dari daerah-daerah sub-urban di sekitar Jakarta.

Di luar konteks penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pengadaan proyek busway, seperti KKN dan juga ketertiban lalu lintas, busway menjadi salah satu sarana transportasi pilihan penduduk menengah ke bawah di Jakarta.  Dengan biaya cuma Rp 3500 bisa menikmati seluruh koridor yang dilewati oleh busway. Walau pun busway menjadi kurang nyaman pada jam-jam sibuk karena tetap harus berdesak-desakan, paling tidak hal itu menjadi lebih baik alih-alih berada di dalam bus reguler non-ac.

Penduduk setempat yang wilayahnya dilewati oleh busway kemudian melakukan demo kepada Pemda DKI untuk menolak pembangunan busway diteruskan. Jika dilihat dari strata sosial maka dapat dilihat bahwa orang-orang yang komplain dengan keberadaan busway adalah para pengendara mobil pribadi yang sewot karena jalurnya diambil oleh pembangunan busway. Padahal sesungguhnya mereka harus tetap dapat bersyukur akan apa yang mereka miliki saat ini yaitu ruang privasi di dalam sebuah mobil pribadi. Ketika orang lain harus berdiri dan berdesak-desakan di dalam bus, mereka masih bisa menikmati macet dengan ac yang dingin sambil mendengarkan alunan musik dari radio tape mereka. Tak maukah mereka berbagi sedikit kebahagiaan dengan orang-orang yang lebih membutuhkan transportasi semacam busway? Karena orang-orang tersebut hidupnya sangat lelah berada di jalan saat pergi dan berangkat kerja.

Dari orang-orang yang komplain terhadap keberadaan busway yang saya kenal kebanyakan adalah pengguna mobil pribadi atau minimal taksi. Padahal dari pengamatan awam saya, busway sangat diminati dan disukai oleh kalangan menengah ke bawah. Belum lagi buat sebagian keluarga yang pas-pasan, busway dapat dijadikan sarana hiburan di hari libur untuk mengajak keluarga mereka berjalan-jalan mengelilingi Jakarta. Padahal di waktu yang bersamaan, kalangan menengah ke atas biasanya berada di mal bersama keluarganya untuk sekedar jalan-jalan dengan makan siang di McD.

Untuk Bang Foke yang akan memimpin Jakarta, pesan saya: "Teruskan membangun busway dan sarana transportasi massa lainnya untuk masyarakat kecil Jakarta! Karena Jakarta untuk semua."