30 April 2011

Terorisme di Indonesia: Antara TNI & Kegagalan Polri

Terorisme di Indonesia: Antara TNI & Kegagalan Polri[1]
Oleh: Inco Harper[2]

“Terorisme adalah satu ancaman dan negara-negara harus melindungi warganegaranya dari ancaman itu. Negara tidak hanya mempunyai hak namun juga kewajiban untuk melakukan itu. Tetapi Negara juga harus sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa tindakan-tindakan melawan terorisme tidak berubah menjadi tindakan-tindakan untuk menutupi atau membenarkan pelanggaran HAM.”[3]

Pendahuluan
Terorisme lahir sejak ribuan tahun silam dan telah menjadi legenda dunia. Cara-cara teror digunakan oleh suatu kelompok untuk memperlemah lawannya lewat pembunuhan diam-diam menggunakan racun sampai pemberontakan. Saat ini, terorisme terjadi di berbagai tempat di seluruh dunia dengan berbagai alasan. Terorisme merupakan akibat dari ketidaksepakan suatu kelompok dengan kelompok lain (yang mungkin berkuasa) yang berbeda ideologi kepercayaan/agama, politik dan lain sebagainya.
            Terorisme memiliki  pengaruh yang kuat di masyarakat, terutama jika dipublikasikan secara berlebihan oleh media massa. Aksi-aksi seperti terorisme sangat menarik perhatian media massa terutama televisi. Dengan siaran langsung dari tempat kejadian, jutaan khalayak ikut mendengarkan bahkan melihat para teroris beraksi. Setiap aksi teroris merupakan event yang mahal dan “menguntungkan” bagi media. Televisi memiliki pengaruh yang sangat kuat. Di samping itu sistem komunikasi yang tersedia dan cepat – elektronik dan media cetak – telah melahirkan falsafah Cina yang terkenal: “Bunuh satu dan menakut-nakuti 10.000”, dan melalui media massa dapat diartikan sebagai “Bunuh satu dan menakut-nakuti 10.000.000”.
            Masalah terorisme seringkali disebut sebagai masalah sensasional, karena kenyataannya adalah lebih banyak orang meninggal di jalanan setiap tahun daripada yang dibunuh oleh teroris. Hal itu mungkin benar secara kuantitatif, namun terorisme tidak dapat diukur dengan hitungan banyaknya korban tewas, jumlah yang luka atau nilai materi dari kerusakan. Terorisme tidak dapat dikatakan sebagai perang, karena berada jauh dari peperangan: perang gerilya, perang revolusioner atau perang konvensional. Perang bertujuan untuk penghancuran secara total, manusia dan material secara fisik. Sedangkan terorisme cenderung menginginkan hasil kerusakan secara psikologis.
            Terorisme di Indonesia semakin ramai pasca runtuhnya Orde Baru 1998. Sejak tahun 2000, sejumlah pemboman telah terjadi di Indonesia, seperti bom di beberapa gereja pada malam Natal 2000, bom di Sari Club dan Paddy’s CafĂ© pada Oktober 2002 dan bom di Hotel J.W. Marriott yang meledak dua kali, yakni pada Agustus 2003 dan Juli 2009. Belakangan, aksi-aksi teror sering dilakukan secara terbuka dan terang-terangan kepada pihak yang dianggap berbeda pendapat atau keyakinan, misalnya dalam peristiwa penyerangan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten yang menewaskan tiga orang.  Juga aksi penusukan anggota majelis Gereja HKBP Bekasi. Sejumlah aksi kekerasan lainnya juga tercatat dilakukan secara terang-terangan oleh ormas agama terhadap pihak yang berbeda keyakinan. Hal ini dapat dikategorikan sebagai aksi teror karena membuat resah dan mengintimidasi masyarakat umum.

Terorisme dan Insurjensi
Berbicara tentang terorisme, seringkali kita dihadapkan pada masalah definisi. Sejauh ini belum ada definisi yang seragam tentang terorisme karena terorisme bervariasi tergantung waktu dan kondisi. Terorisme dapat dipandang sebagai tindakan yang mendekati perlawanan gerilya karena dianggap sebagai tindakan yang berada di tengah perang gerilya dan aksi frustasi golongan tertentu. Tujuan utama para teroris adalah menghancurkan sistem ekonomi, politik dan sosial masyarakat suatu negara untuk digantikan oleh struktur yang baru secara total.
            Dalam teori terorisme, tindakan terorisme dapat diklasifikasikan dalam: terorisme yang memiliki motivasi politis dan terorisme yang memiliki motovasi kriminal[4]. Kelompok yang memiliki motivasi politik  menganggap dirinya sebagai instrumen pengadilan dan sama sekali tidak beroperasi untuk tujuan kriminal. Walau sering terlihat sebagai aksi kriminal seperti perampokan dan penjarahan, jenis terorisme ini tidak bertujuan untuk memperkaya diri sendiri, tetapi untuk biaya operasional kelompoknya seperti pembelian senjata. Sedangkan terorisme dengan motivasi kriminal semata-mata untuk kriminal yang berkaitan dengan perolehan uang dan dinyatakan sebagai gerombolan kriminal yang menculik atau melakukan teror demi uang tebusan.
            Adjie dalam bukunya menyebutkan definisi terorisme sebagai berikut[5]:
·         Terorisme: Suatu mazab/aliran kepercayaan melalui pemaksaan kehendak guna menyuarakan pesan, asas dengan cara melakukan tindakan ilegal yang menjurus ke arah kekerasan, kebrutalan bahkan pembunuhan.
·         Teroris: Pelaku atau pelaksana bentuk-bentuk terorisme, baik oleh individu, golongan atau kelompok dengan cara tindak kekerasan sampai pembunuhan disertai berbagai penggunaan senjata, mulai dari sistem konvensional hingga medern.
·         Teror: Bentuk-bentuk kegiatan dalam rangka pelaksanaan terorisme melalui penggunaan/cara ancaman, pemerasan, agitasi, fitnah, pengeboman, penghancuran/perusakan, penculikan, intimidasi, perkosaan dan pembunuhan.
·         Alat Peralatan Teror: Telepon, selebaran surat, bom (waktu), peledak, kendaraan darat/laut/udara, dengan menggunakanfasilitas bandara, pelabuhan, tempat-tempat umum ataupun gedung-gedung vital.
·         Tujuan Terorisme: Melumpuhkan otoritas pemerintah sehingga dapat menerapkan mazab atau aliran yang dianut kelompok terorisme.
Terorisme sangat dekat dengan insurjensi atau gerakan revolusioner yang memiliki struktur, yang terkadang tidak tampak di permukaan tapi khususnya di Indonesia seringkali pula terlihat begitu terang-terangan. Insurjensi sering dianggap sebagai gerakan subversif, ilegal, di bawah komando golongan tertentu yang ingin menggantikan pemerintahan yan sah. Insurjensi dapat diartikan sebagai suatu keadaan tidak menentu dalam suatu negara yang disebabkan oleh berbagai kelompok organisasi yang melawan (tidak menyetujui/menentang) politik pemerintah yang sah.
Aksi yang ditimbulkan mengakibatkan ketegangan di dalam negara sehingga dapat mempengaruhi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Adapun bentuk-bentuk insurjensi antara lain perampokan (bersenjata) dan perlawanan terhadap angkatan bersenjata/polisi. Contoh kekerasan yang dilakukan anggota Jemaah Islamiyah dalam mencapai tujuan politiknya selain pengeboman, adalah perampokan Bank CIMB Niaga di Medan pada September 2010. Dalam berbagai macam bentuk kegiatan/aksi terorisme dan insurjensi, apabila pemerintah terlambat atau tidak segera mengatasi maka akan berkembang dan mengakibatkan low intensity conflict.
Di Indonesia, aksi insurjensi ini sering menggunakan cara-cara teror dan intimidasi dalam melakukan aksinya dan terlihat eksistensinya di depan publik. Seringkali ormas-ormas agama yang sebenarnya legal malah memunculkan aksi insurjensi ini seperti dapat dilihat pada Front Pembela Islam dan Hizbut Tahrir Indonesia yang jelas menolak demokrasi dan NKRI. Pada beberapa kejadian, kelompok-kelompok radikal ini sangat tidak toleran terhadap perbedaan yang ada di Indonesia yang akhirnya malah melahirkan tindakan-tindakan kekerasan, intimidasi dan juga penyerangan kepada kelompok lain.
Kelompok-kelompok ini bahkan berani menantang untuk menggulingkan pemerintah yang sah ketika presiden memberikan pernyataan bahwa kelompok-kelompok radikal di Indonesia harus dibubarkan. Tindakan ini menjadi propaganda kelompok ini bahwa pemerintah tidak mampu menguasai keadaan sehingga hanya menciptakan suatu suasana yang tidak aman untuk masyarakat. Belakangan isu tentang Negara Islam Indonesia yang telah banyak melakukan brainwash pepada banyak mahasiswa tampaknya ditanggapi setengah hati oleh pemerintah. Padahal kita tau Presiden SBY merupakan pemerintahan eksekutif yang sah melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Tidak main-main hasilnya pun 61% pemilih mendukung SBY. Namun terlihat presiden terlalu berhati-hati bahkan cenderung lamban (atau tidak berani?) dalam menanggapi aksi-aksi insurjensi ini.
Masyarakat sudah lelah oleh aksi-aksi kekerasan dan teror yang dilakukan oleh ormas-ormas ini. Namun pemerintah seperti tidak ada di saat rakyatnya membutuhkan perlindungan dan rasa aman. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa pemerintah telah gagal menciptakan rasa aman untuk warga negaranya.
Penanggulangan Terorisme
Pada masa Orde Baru, TNI dan Polri saling bekerjasama dalam masalah keamanan nasional. Namun semenjak TNI keluar dari fungsi sosial politiknya pada tahun 2004 melalui UU No.34/2004 maka bisa dibilang bahwa fungsi dan kekuatan keamanan negara diserahkan kepada Polri, sedangkan TNI lebih berperan kepada ketahanan negara. Dalam kaitannya dengan terorisme, Indonesia sudah mengawali penanggulangan terorisme dengan adanya Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kemudian atas rekomendasi Komisi I DPR pada 12 Juni 2006 dan 31 Agustus, diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 46 tahun 2010 tentang Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). BNPT adalah lembaga non-kementrian yang bertanggungjawab langsung kepada presiden dan dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
            Polri diberikan kekuatan khusus untuk menanggulangi terorisme dengan dibentuknya Detasemen Khusus atau Densus 88 pada 26 Agustus 2004. Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk penanggulangan teroris di Indonesia. Pasukan khusus berompi merah ini dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa anggota juga merupakan anggota tim Gegana.
Densus 88 dirancang sebagai unit antiteroris yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan. Densus 88 di pusat (Mabes Polri) berkekuatan diperkirakan 400 personel ini terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom), dan unit pemukul yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu. Selain itu masing-masing kepolisian daerah juga memiliki unit anti teror yang disebut Densus 88, beranggotakan 45 - 75 orang, namun dengan fasilitas dan kemampuan yang lebih terbatas. Fungsi Densus 88 Polda adalah memeriksa laporan aktivitas teror di daerah.Melakukan penangkapan kepada personil atau seseorang atau sekelompok orang yang dipastikan merupakan anggota jaringan teroris yang dapat membahayakan keutuhan dan keamanan negara RI.
Densus 88 adalah salah satu dari unit anti teror di Indonesia, disamping Detasemen C Gegana Brimob, Detasemen Penanggulangan Teror (Dengultor) TNI AD alias Grup 5 Anti Teror, Detasemen 81 Kopassus TNI AD (Kopasus sendiri sebagai pasukan khusus juga memiliki kemampuan anti teror), Detasemen Jalamangkara (Denjaka) Korps Marinir TNI AL, Detasemen Bravo (Denbravo) TNI AU dan satuan anti-teror BIN.
Ketika TNI telah menarik diri dari peran sosial politiknya di masyarakat, maka tugas untuk keamanan dalam negeri sepenuhnya diemban oleh pihak kepolisian. Sayangnya Polri dapat dikatakan gagal dalam menangani aksi-aksi terorisme dan radikalisme di Indonesia. Walau telah berhasil menangkap atau menembak mati beberapa pucuk pimpinan dari teroris namun terlihat bahwa aksi-aksi teror tetap terulang dan terjadi di masyarakat.
Untuk aksi-aksi teror yang lebih tertutup memang Polri agak berhasil dalam mengatasinya. Para “dedengkot” dari gerakan terorisme di Indonesia seperti Dr. Azhari dan Noordin M. Top telah berhasil dilumpukan sehingga jaringan teroris tercerai-berai dan mengurangi kekuatannya. Dibunuhnya para pemimpin atau “otak” dari kelompok teror seperti beberapa nama yang disebutkan di atas menunjukan bahwa sebenarnya pemerintah memalui Polri telah menunjukan komitmen serius dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.
Bila dilihat dari penanganan terhadap aksi terorisme, terjadi perbedaan sebelum dan setelah tahun 2000. Sebelum tahun 2000, saat itu marak adanya gerakan separatisme, seperti gerakan Fretilin di Timor Timur (sekarang Timor Leste), Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan kelompok separatis lainnya, maka penanganan terhadap gerakan ini dilandasi oleh UU No.23/ tahun 1959 mengenai Keadaan Bahaya. Dalam undang-undang ini, di mana suatu wilayah dalam kondisi darurat sipil, maka kekuasaan di tangan Gubenur, sedangkan penanggung jawab militer adalah TNI. Kekuatan militer digunakan karena menganggap kelompok separatis ini  berusaha memisahkan diri dari NKRI.
            Sedangkan penanganan kontra dan anti terorisme setelah tahun 2000 berbeda. Setiap peristiwa teror seperti penembakan hingga pengeboman dianggap kasus kriminal. Meskipun banyak korban jiwa yang jatuh akibat aksi tersebut, namun perangkat hukum yang dikenakan atas tindakan ini hanya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Maka pemberantasannya pun diserahkan ke kepolisian.
            Akan tetapi setelah eskalasi terorisme di Indonesia meningkat, yang mencapai puncaknya saat terjadinya Bom Bali 1, 12 oktober 2002 yang menewaskan 202 orang, pemerintah dan DPR baru mengeluarkan perundangan khusus mengenai tindak terorisme. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.15 tahun 2003 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, terorisme baru dianggap kejahatan yang serius oleh pemerintah dan bangsa Indonesia. Di dalam undang-undang ini secara jelas pelaku terorisme adalah:
1.      Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).
2.      Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang  strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).
            Meski Polri tetap bertanggung jawab dalam pemberantasan terorisme, namun  undang-undang ini turut membidani departemen khusus pemberantasan teroris, yakni Detasemen khusus (Densus) 88. Selain melakukan penyelidikan dan penindakan yakni penangkapan terhadap teroris dan jaringannya, Densus 88 juga dapat menjalankan survaillance atau berbagai tindakan intelijen.
            Densus 88 dinilai berhasil dalam melakukan operasi pengungkapan jaringan teroris di Indonesia. Diantaranya penyerbuan tempat jaringan teroris Jamaah Islamiyah yang juga menewaskan teroris nomor 1 , Dr. Azhari di Malang, 9 November 2005, pada 8 Agustus 2009 penggrebekan salah satu tersangka pengeboman Bom Marriot II, Ibrahim, lalu pada 17 September 2009, penangkapan yang berakhir tewasnya teroris yang juga rekan dari Dr. Azhari, yakni Noordin Top serta sejumlah operasi penangkapan tokoh dan pengungkapan jaringan terorisme yang terkait dalam Jamaah Islamiyah dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).
            Pada 16 Juli 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keppres No. 46 tahun 2010. Keppres ini menelurkan lagi sebuah lembaga khusus untuk menanggulangi terorisme, yakni Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Selain  penindakan, BNPT memiliki tugas yang lebih luas, yakni mulai dari pencegahan, perlindungan, hingga deradikalisasi.
Tabel 1. Penanganan Terorisme Sebelum Tahun 2000


Tabel 2. Penanganan Terorisme Setelah Tahun 2000



            Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa sebenarnya negara melalui Polri telah melakukan usaha yang sungguh-sungguh dalam menanggulangi terorisme. Penulis juga mengakui keberhasilan tersebut. Namun penulis beranggapan bahwa Polri telah gagal menanggulangi aksi-aksi teror dalam bentuk lain yang juga ada di masyarakat dan anehnya aksi-aksi ini terlihat cukup terbuka dan lebih mudah diantisipasi karena dilakukan oleh kelompok-kelompok yang seharusnya lebih mudah diawasi melalui intelejen Polri.
            Polri seakan terlalu berhati-hati dalam menindak kelompok-kelompok radikal ini karena bersinggungan dengan nilai-nilai keyakinan agama. Di beberapa kesempatan, malah terlihat Polri mencoba merangkul kelompok-kelompok ini dengan berdialog dan bekerjasama. Misalkan ketika Kapolri dan Gubernur DKI Fauzi Bowo hadir pada acara Milad FPI di Jakarta. Kehadiran ini dianggap bahwa pemerintah dan Polri berkompromi dan menghalalkan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok ini. Namun lagi-lagi di kemudian hari, kelompok ini kembali melakukan berbagai macam aksi kekerasan yang seakan didiamkan oleh Polri. Padahal menurut UUD 1945 yang dimaksud dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
            Kegagalan Polri lainnya dapat dilihat pada saat penanganan peristiwa Cikeusik yang berakibat jatuhnya korban jiwa 3 orang tewas dari pihak Ahmadiyah. Bahkan awalnya sebelum didesak oleh masyarakat dan media, Polri mengumumkan ini sebagai bentrokan dan bukan penyerangan. Harusnya pihak intel Polri mampu mengantisipasi hal ini karena melihat bahwa rencana penyerangan ini sudah direncanakan dan bukan aksi spontanitas warga setempat. Walau kemudian ada 15 orang yang ditangkap, terlihat bahwa Polri tidak mampu untuk mengungkap siapa aktor intelektual penyerangan ini karena hanya mampu menangkap sampai pada pelaku di lapangan saja. Padahal penyerangan ini terlihat sekali pola direncanakannya oleh pihak-pihak tertentu.
            Peristiwa terakhir aksi bom bunuh diri di Masjid Al-Zikra Polresta Cirebon juga jelas menunjukkan kegagalan Polri karena teroris mampu masuk langsung ke daerah markas pertahanan Polri dan Polri kecolongan. Masyarakat semakin khawatir bahwa aksi terorisme dapat menjangkau siapapun dan kapanpun. Seperti dijelaskan di atas bahwa hal-hal seperti inilah yang memang diinginkan oleh teroris. Yang dirusak adalah psikologis dari masyarakat Indonesia.
            Melihat dari contoh kegagalan Polri di atas, penulis kemudian mempunyai pertanyaan yaitu, “Apakah dengan kegagalan Polri menciptakan rasa aman di masyarakat, TNI perlu kembali ke fungsi sosial politiknya?” Tampaknya pertanyaan itu terlalu naif dan memudahkan persoalan. Bukankah pemerintah telah mengatur dengan jelas instrumen-instrumen hukum dalam penanggulangan terorisme?
            Ikrar Nusa Bhakti menyebutkan bahwa dalam diri prajurit TNI ditanamkan prinsip kompetensi, di mana mereka merasa bahwa militer lebih kompeten daripada sipil dalam mengelola negara[6]. Intervensi TNI kembali dalam masalah keamanan nasional dan penanganan terorisme ini mungkin saja terjadi karena terlihat bahwa Polri terlalu berlarut-larut dalam menangani berbagai macam aksi teror dan kekerasan yang ada selama ini di masyarakat. Dalam suatu sistem demokrasi di mana negara berperan sebagai pelindung masyarakat dari ancaman dan gangguan, maka posisi militer di dalam sebuah negara sudah semestinya berfungsi agar ancaman dan gangguan itu dapat diatasi, apalagi ketika Polri dinilai gagal.
            Niat untuk mengembalikan peranan TNI dalam kestabilan keamanan negara juga pernah terucap pada saat SBY masih menjabat sebagai Menkopolkam pada pada 5 Agustus 2003 yang hendak merevisi Undang-undang Anti Terorisme agar TNI dapat berperan dalam penanggulangan terorisme pasca peledakan bom di Hotel Marriot. SBY mengatakan:
“...aparat kepolisian terbatas dan harus menghadapi masalah yang tersebar di seluruh Indonesia. Pemisahan TNI dan Polri dilakukan pada tahun 2000 melalui Ketetapan MPR Nomor VI. Menurut aturan itu, TNI adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara dan Kepolisian RI adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan. Ketetapan itu juga mengatur, dalam hal terdapat keterkaitan kegiatan keamanandan pertahanan, TNI dan Kepolisian RI harus bekerjasama dan saling membantu[7].
Adalah otoritas rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara untuk mendefinisikan posisi dan peran militer. Rakyat, yang merupakan entitas politik sipil, berwenang menentukan dan sekaligus mengontrol peran dan fungsi militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Janusz, kontrol sipil atas kekuatan militer merupakan aksioma demokrasi. Hal ini sebenarnya sejalan dengan doktrin TNI yang setiap saat kita dengar: Yang terbaik untuk rakyat adalah terbaik untuk TNI. Dengan begitu kita sesungguhnya berharap profesionalisme militer dapat segera terwujud di negara yang baru melek demokrasi termasuk itu Indonesia.
Namun jika melihat sejarah peranan TNI dalam sosial politik pada masa Orde Baru, tentu akan menjadi dilema tersendiri dari masyarakat. Di satu sisi, Polri dinilai gagal dan kekurangan personel untuk dapat menciptakan rasa aman untuk masyarakat. Di sisi yang lain ketika kemudian TNI kembali ke fungsi  keamanan negara bekerjasama dengan Polri bukan tidak mungkin peristiwa-peristiwa kekerasan yang justru dilakukan oleh TNI di masa lalu dapat terjadi kembali.
Pada masa Orde Baru, TNI sering melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat. Beberapa kasus yang terjadi pada masa ini adalah: Orde Baru melakukan pembunuhan terhadap ratusan ribu anggota PKI dan pendukung Sukarno, serta memenjarakan ribuan lainnya tanpa proses pengadilan (1966-1971), pembunuhan massal terhadap anggota kelompok Islam di Tanjung Priok (1984); kasus tanah petani di Jenggawah (1989); pelaksanaan operasi militer di Aceh (1989-1999), Timor Lorosae (1980-199) dan Papua (1960-an-199); penggusuran dan intimidasi penduduk di Kedung Ombo, Jawa Tengah (1989); penembakan penduduk di sekitar waduk Nipah, Madura (1993), intimidasi terhadap pendukung non-Golkar menjelang setiap pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1987), penyerangan terhadap kantor PDI (1996), penculikan aktivis pro demokrasi (1997), penembakan empat mahasiswa Trisakti (1998), tragedi Semanggi (1998) dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa lainnya, yang karena terjadi di wilayah pedalaman dan jumlah korbannya sedikit sehingga tidak diberitakan secara luas.
Melihat penjelasan di atas – bahwa TNI penuh dengan kekerasan di masa lalu – kita bisa melihat apakah kembalinya TNI dalam penanganan keamanan negara bisa menjadi solusi? Penulis melihat bahwa TNI tetap harus dipisahkan secara fungsinya dengan Polri dalam menangani masalah terorisme karena sesungguhnya Polri telah memiliki posisi dan peran yang sangat jelas dalam hal ini yang didukung oleh instrumen hukum yang telah ada. Yang diperlukan adalah memaksimalkan fungsi dari Polri dalam masalah keamanan negara dan bukan kembali melibatkan TNI dalam masalah ini.
Deradikalisasi: Memaksimalkan Fungsi Polri
Melalui keputusan untuk membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sebenarnya pemerintah Indonesia secara tidak langsung telah mengakui bahwa fokus pada penghancuran jaringan kelompok teroris saja sebenarnya tidaklah cukup. Pemerintah menyadari kebutuhan akan adanya sebuah tindak lanjut yang bersifat komprehensif dalam penanganan terorisme dengan berpusat pada penghancuran ideologi, atau dalam bahasa yang lebih familiar, sebuah program deradikalisasi kepada kelompok-kelompok terorisme di Indonesia.
            Walau banyak pemimpin Jamaah Islamiyah yang terlibat dalam terorisme, seperti Dr. Azhari, Noordin Moh Top, serta Dulmatin telah tewas dalam sejumlah operasi Densus 88, namun, hingga kini masih banyak terpidana terorisme yang masih ditahan di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) di Indonesia. Berdasarkan laporan dari International Crisis Group (ICG), hingga tahun 2007 sebanyak 170 orang yang terindikasi terlibat dalam jaringan teroris, dimana setengahnya adalah anggota Jamaah Islamiyah ditahan. Mereka mendapat masa tahanan dari 4 tahun sampai seumur hidup.[8]
            Meski berhasi ditahan, mereka inilah yang harus diwaspadai dan menjadi perhatian khusus dari Pemerintah dan Bangsa Indonesia. Karena jika tidak ditangani dengan baik, keterlibatan mereka kembali dalam terorisme setelah keluar dari Lapas, bukanlah suatu hal yang tidak mungkin.
            Salah satu mantan narapidana yang kembali ke “dunia” terorisme adalah  Abu Tholut alias Mustofa. Dalam jumpa pers pada tanggal 20 September 2009, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri menjelaskan Abu Tholut adalah narapidana kasus Bom Kedubes Australia 2004 yang telah bebas setelah menjalankan hukuman selama 4 tahun. Kini ia masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena terlibat dalam perampokan bersenjata Bank CIMB di Medan, Sumatera Utara, Agustus 2010.[9]                                                    
            Berdasarkan laporan dari International Crisis Group (ICG), pada tahun 2007 lalu sekitar 150 narapidana yang terlibat baik langsung maupun hanya kaki tangan dalam tindakan terorisme dalam rentang tahun 2006 sampai dengan tahun 2007 telah dibebaskan[10]. Untuk menangkal kembalinya para terpidana ini kembali ke jaringan terorisme, diperlukan upaya deradikalisasi.
         Dr. Petrus Reinhard Golose membeberkan tiga kunci dalam program deradikalisasi para mantan teroris, yakni humanis, soul approach, dan menyentuh akar rumput.
Humanis adalah pendekatan deradikalisiasi pertama yang langsung menyentuh teroris dan keluarganya. Ketika teroris ditangkap, mereka langsung diamankan dengan cara yang manusiawi, dan keluarga mereka juga diperhatikan kesejahteraannya. Pendekatan ini belum bisa berjalan dengan baik karena sejauh ini pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak serius menangani isu terorisme (terbukti dari pernyataan beliau bahwa terorisme adalah murni kriminalitas, tidak ada unsur politik). Faktor utama terorisme adalah deprivasi: kemiskinan, rendahnya pendidikan dan marginalisasi politik. Kesejahteraan keluaga teroris tidak diperhatikan. Salah satu contoh sasaran pendekatan dalam koridor humanity adalah keluarga Ali Ghufron, Imam Samudra dan Amrozi Nurhasyim atau yang lebih dikenal sebagai trio Bom Bali. Sejak ketiganya tertangkap sampai kini, dua tahun setelah mereka dihukum mati di Nusa Kambangan, anak-anak ketiga teroris tersebut harus berpindah-pindah karena stigma anak teroris. Ini tentu berpengaruh pada mental mereka.
Soul Approach adalah pendekatan dimana kekerasan dan intimidasi untuk menghentikan terorisme tidak digunakan. Sebaliknya, soul approach memperlakukan narapidana terorisme sebagai manusia, metode counseling oleh BNPT  (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang menuju kepada re-orientasi dan re-edukasi. Dalam re-orientasi dan re-edukasi, mantan terorisme yang sudah bertobat diberdayakan untuk menyadarkan teman-teman teroris yang belum bertobat. Salah satu success stories dalam soul approach ini adalah Ali Imron, salah satu perakit Bom Bali yang pertama yang terjadi pada 2002. Dalam bukunya “Ali Imron Sang Pengebom”, Ali Imron mengakui terjun ke dalam terorisme merupakan kesalahan dan di akhir bukunya dia meminta maaf pada keluarga korban, keluarganya sendiri (dia menyatakan menyesal telah meninggalkan istrinya saat hamil, dan ketiga anaknya lahir tanpa kehadirannya) dan masyarakat pada umumnya. Ali Imron kini giat membantu polisi dalam memerangi terorisme dan memberikan counseling bagi teroris yang belum sadar.
Menyentuh Akar Rumput, program ini tidak hanya ditujukan kepada para tersangka maupun terpidana terorisme, akan tetapi program ini juga diarahkan kepada simpatisan dan anggota masyarakat yang telah terekspos paham-paham radikal, serta menanamkan multikulturalisme kepada masyarakat luas. “Radikalisme” berasal dari kata bahasa Yunani “radix” yang berarti akar. Jadi “akar” dalam radikalisme menjelaskan indoktrinasi yang ditanamkan pada bibit-bibit teroris. Indoktrinasi susah diberantas karena dia mengakar di dalam bibit teroris sejak dini, contohnya melalui pesantren. Dalam kasus pesantren radikal seperti pesantren di Ngruki, diperlukan peran Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua departemen tersebut sebaiknya bekerja sama dalam menyeleksi bahan-bahan pendidikan agama (membuang unsur radikalisme) dan para gurunya[11].
            Beruntung Indonesia selama tiga tahun terakhir ini telah menjalankan program Deradikalisasi ini. Elemen kunci dari program yang dijalankan di Indonesia adalah komunikasi dan perhatian terhadap narapidana terorisme serta menanggapi keperluan khusus mereka, yang seringkali berkaitan dengan kebutuhan ekonomi keluarga mereka.[12]
            Dalam kasus berbagai aksi kekerasan dan teror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang bersifat insurjensi seperti FPI dan HTI, maka Polri juga harus lebih tegas. Kelompok ini mungkin tidak perlu dibubarkan, namun ketika terjadi kekerasan, harus diambil tindakan yang tegas dan juga hukuman yang berat. Polri juga harus meningkatkan kualitas intelejennya sehingga dapat memprediksi segala aksi kekerasan yang akan terjadi di masyarakat. Demonstrasi yang menjurus kepada aksi kekerasan harus segera disikapi dengan tegas oleh Polri. Janganlah keragu-raguan akan melanggar HAM menjadi hambatan akan hal ini. Selama dilakukan berdasarkan SOP yang tepat maka kemungkinan itu akan dapat diperkecil walau mungkin akan tetap terjadi juga. Namun Polri harus juga bisa melihat prioritas kepentingan bahwa kepentingan masyarakat luas yaitu terciptanya rasa aman jauh lebih penting daripada kepentingan kelompok-kelompok tertentu saja.
            Hal yang perlu diingat adalah bahwa Polri tidak mendeskriditkan agama apalagi sampai mengekang kebebasan beragama pihak tertentu. Namun yang dilakukan oleh Polri adalah bahwa ketika hak tersebut telah masuk dan mengganggu ke ranah hak orang lain dan terciptanya rasa khawatir dan tidak aman maka Polri harus bertindak tegas. Bahwa rasa aman adalah hak setiap warna negara Indonesia dan tidak mengenal perbedaan.


[1] Makalah Mata Kuliah “Media dan Dinamika Kekuatan Politik”, Program Pascasarjana Manajemen Komunikasi, Universitas Indonesia.
[2] Mahasiswa Peminatan Komunikasi Politik FISIP UI 2010.
[3] Pidato Kofi Anan, Sekretaris Jenderal PBB pada tanggal 21 November 2011.
[4] Adjie S., MSc. Terorisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005. Hal. 9
[5] Adjie S., MSc. Terorisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005. Hal. 11
[6] Ikrar Nusa Bhakti. Reformasi Setengah Tiang. Jakarta: Mizan, 2005. Bab 5: Agenda dan Tujuan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, Hal. 150
[7] “Hadapi Terorisme, Pemerintah Ingin Peran TNI Diperbesar”, Koran Tempo, 15 Agustus 2003.
[8] International Crisis Group (ICG) reports “Deradicalisation and Indonesian Prisons, Executive Summary and Recommendation” Crisis Group Asia No. 142, 19 November 2007.
[9] Abu Tholut Pernah Divonis 8 Tahun, Bebas Karena Remisi, detikNews, 20 September 2010.
[10] Ibid, ICG ReportNo. 142, 19 November 2007.
[11] Dr. Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terorisme, Yayasan Pengembangan Ilmu Kepolisian, 2009.
[12] Ibid, ICG Report No. 142, 19 November 2007.

19 April 2011

TANDA TANYA: Pluralisme dalam Konteks Komunikasi Antar Budaya


            Membicarakan tentang pluralisme tentu tak akan lepas dari sisi komunikasi antar budaya di dalamnya. Penulis beranggapan bahwa sebuah agama (apapun itu) adalah sebuah hasil dari budaya manusia yang dinamis dan tidak terbentuk begitu saja dalam waktu yang singkat. Dalam kepercayaan penulis – Katolik Timur – agama tidaklah muncul pada suatu masa dan kemudian menggantikan sebuah budaya yang telah berlangsung sebelumnya. Agama tidak lepas dari unsur-unsur asimilasi dengan budaya yang telah ada dan menuju sebuah arah – yang lebih baik tentunya.
            Sisi komunikasi antar budaya pada pluralisme berarti tidak sekedar toleransi, namun lebih jauh lagi adalah adanya interaksi di antara unsur-unsur di dalamnya. Unsur pluralisme sendiri tidak sekedar agama melainkan juga yang dimaksud dengan suku, ras dan antar golongan – SARA. Pluralisme harus ditarik lebih jauh lagi dari sekedar toleransi yaitu mampu menjalin komunikasi dengan tujuan yang sama dan dari persamaan-persamaan yang ada, tanpa harus mempertentangkan perbedaan-perbedaan yang ada menjadi sebuah konflik. Sulitnya pada komunikasi antar budaya, kendala menjadi lebih besar daripada proses komunikasi pada kelompok yang homogen. Pada komunikasi antar budaya terdapat perbedaan nilai-nilai yang harus saling dimengerti satu sama lain, membutuhkan keterbukaan dan juga kejujuran. Pada komunikasi antar budaya, ketidakpastian dan ambiguitas sangatlah tinggi. Maka dibutuhkan kemauan untuk menahan diri agar tidak menilai pihak lain dengan cepat dan permanen. Kebanyakan yang terjadi pada komunikasi antar budaya adalah sebuah stereotyping – menggeneralisasikan sebuah kelompok dan mengesampingkan keunikan yang ada pada tiap-tiap individu.

Tanda Tanya menurut “Wolfson’s Bulge Model of Politeness”
Wolfson’s (dalam Devito, 2007) menyimpulkan bahwa tingkat kesopanan berubah, terdapat tiga identitas hubungan dalam model ini; orang yang tidak dikenal (strangers), teman (friends) dan teman dekat (intimates). Semua itu tertuang dalam Wolfson’s Bulge Model of Politeness, di mana model tersebut menggambarkan untuk pola hubungan kepada orang yang tidak dikenal (strangers) tingkat kesopanan menunjukan tingkat yang sangat rendah dan semakin meningkat untuk orang yang semakin dikenal dan mencapai puncaknya pada saat tingkat hubungan berubah menjadi teman (friends), lalu tingkat kesopanan tersebut akan menurun kembali ketika status hubungan relasional dari teman meningkat ke teman dekat (intimates).
Menurut Wolfson dalam Wilkinshaw (2009:67) kesopanan yang sangat bertolak belakang saat seseorang berkomunikasi dengan friends dibandingkan dengan strangers dan intimate disebabkan oleh derajat kepastian dalam hubungan di antara ketiga tingkat hubungan tersebut. Saat berhadapan dengan strangers, kita tahu persis posisi dan tingkat hubungan kita, begitu pula saat berkomunikasi dengan intimate, kita sudah mendapat semacam jaminan kepastian mengenai hubungan kita dengan orang tersebut dan karena sudah akrab/intim, kita pun sudah merasa nyaman dan diterima oleh orang tersebut. Sedangkan ketika berkomunikasi dengan friends, seseorang masih belum bisa memperkirakan tingkat kenyamanan lawan bicaranya. Kategori friends, yaitu teman, rekan kerja, kolega, relasi dan lain sejenisnya sangat luas rentangnya sehingga tidak ada kepastian dan kestabilan pada hubungan tersebut. Karena itu, orang cenderung menggunakan bahasa dengan tingkat kesopanan tinggi agar bisa diterima oleh lawan bicara.
Pada pembukaan film Tanda Tanya, kita diperlihatkan dengan adegan konflik yang melibatkan benturan antara sekelompok pemuda Islam dengan Ping Hen atau Hendra, putra dari pemilik restoran masakan Cina, Tan Kat Sun. Dalam konflik tersebut memang terlontar kata-kata yang cukup kasar seperti “cino” dan “teroris” yang keluar dari dua belah pihak dan terlihat penggunaan stereotyping pada bentuk konflik tersebut. Awalnya penulis menduga bahwa kedua pihak ini tidaklah saling kenal atau strangers satu sama lain. Namun setelah itu penulis melihat bahwa setting cerita berada pada sebuah perkampungan di Semarang yang sepertinya semua orang di kampung tersebut kenal satu sama lain, seperti ditunjukkan pada adegan malam takbiran. Setting tempat juga berputar-putar dan bisa diduga antara gereja, masjid dan klenteng tak saling berjauhan. Dari kajian komunikasi antar budaya, maka terlihat keanehan bahwa orang yang saling kenal harusnya bisa mempunyai rasa hormat yang lebih tinggi lagi sesuai dengan model Wolfson. Kenapa dua pihak yang saling kenal yang harusnya saling bertegur sapa secara hormat malah saling memaki dan pukul-pukulan? Dalam komunikasi antar budaya, umumnya low politeness terjadi pada strangers (tidak kenal sama sekali) atau intimates (sangat akrab) sehingga bentuk makian dan umpatan tersebut dapat dikategorikan sebagai  canda tanpa ada unsur benci.
Namun Hanung tampaknya cukup jeli untuk mengangkat fakta bahwa hal-hal seperti itu masih ada di masayarakat kita walau terkadang kita malu untuk mengakuinya. Beberapa kali penulis mendengar hal serupa di masa kecil, umpatan “cina lo” dibalas dengan makian “tiko lo” yang baru pada saat penulis dewasa bisa memahami apa artinya. Namun Hanung harusnya memasukkan film ini pada rating LSF “dewasa” dan bukan “remaja” karena masa-masa remaja jauh lebih rentan untuk mencontoh hal-hal yang buruk pada sebuah komunikasi visual.

Pluralisme dan proses komunikasi
            Dalam film ini, penulis melihat ada tiga kelompok yang menjalin sebuah proses komunikasi yaitu kelompok Islam, Katolik (mungkin mewakili Kristen) dan juga keturunan Tionghoa yang berkeyakinan Kong Hu Cu. Penulis juga melihat pada film ini, kelompok Islam sebagai mayoritas mampu berkomunikasi dengan baik dengan kelompok minoritas Katolik dan Kong Hu Cu. Sampai di sini, Hanung berhasil menghadirkan berbagai macam dialog yang penuh keselarasan dalam proses komunikasi. Terjadi efek (sesuai dengan model Laswell) yang diinginkan dalam proses tersebut yaitu saling pengertian dan toleransi pada masing-masing kelompok. Penulis juga tidak melihat adanya upaya-upaya untuk mempengaruhi pihak lain pada saat ketiga kelompok ini saling berkomunikasi. Bahkan tokoh Rika sama sekali tidak mempengaruhi atau memaksa anaknya untuk ikut dengan keyakinannya dalam proses komunikasi yang terjadi di film ini.
            Menurut penulis, tokoh Tan Kat Sun juga sangat kuat karakternya. Mampu berkomunkasi secara baik kepada kelompok lain tanpa harus kehilangan identitasnya sendiri. Mampu menjawab salam dari Menuk sebagai proses belajar dan mengenali perbedaan dalam komunikasi antar budaya. Tan Kat Sun bahkan mampu menjaga tradisi-tradisi yang ia pegang teguh sampai ia wafat. Sayang hal itu tidak penulis lihat pada tokoh Ping Hen yang kemudian pindah agama setelah ayahnya wafat. Penulis melihat adanya “pemaksaan” pada kejadian tersebut karena tidak adanya alasan yang cukup kuat untuk hal itu. Dugaan tersebut malah diperkuat dengan alur mundur yang menunjukkan bahwa Ping Hen pernah berpacaran dengan Menuk, seakan-akan setelah Soleh wafat maka hal itu dilakukan Ping Hen untuk kembali mendekati Menuk. Penulis juga menafsirkan bahwa kejadian penyerangan restoran itu yang menjadi titik balik Ping Hen pindah agama. Sepertinya dengan kejadian vandalisme tersebut, kelompok minoritas “dipaksa” harus berdamai dengan kelompok mayoritas. Apalagi penulis tidak melihat bahwa Soleh dan teman-temannya mendapatkan hukuman atau ditangkap pihak yang berwajib. Pluralisme harusnya mampu menghadirkan sebuah bentuk komunikasi antar budaya yang harmonis tanpa harus luruh dan menjadi bagian dari kelompok lain, seperti yang bisa dilihat pada tokoh Tan Kat Sun. Tapi hal itu adalah murni penafsiran dari penulis saja. Mungkin Hanung tidak bermaksud demikian.

Riset sosial dan komunikasi sebagai landasan yang kuat
            Hal terakhir yang sedikit mengganggu penulis pada sisi teknis pembuatan film ini mungkin adalah masalah riset sosial dan komunikasi pada saat sebelum Hanung memproduksi film ini. Sejauh dan sedalam mana riset tersebut telah dilakukan? Karena penulis melihat ada sebuah kekeliruan pada saat adegan drama Kisah Sengsara Tuhan Yesus (atau disebut Passio) yang dilakukan pada Malam Jumat Agung. Sebagai seorang Katolik, penulis belum pernah menemukan gereja yang melakukan hal tersebut pada malam hari. Selama ini penulis mengetahui bahwa Passio dilakukan oleh Gereja Katolik pada siang hari menjelang pukul 3 sore bersamaan dengan mengenang wafatnya Yesus Kristus. Atau mungkin Hanung punya referensi lain akan hal ini?
            Penulis juga melihat bahwa beberapa situasi dan properti pada film ini tidak sesuai dengan lini waktu film ini yaitu 2010 – 2011. Terlihat tokoh Rika masih menggunakan telepon putar yang saat ini mungkin telah menjadi barang langka dan hanya ada untuk dikoleksi. Tapi lagi-lagi penulis melihat dari konteks orang Jakarta yang modern dan tidak mengetahui bagaimana kondisi di daerah Semarang.
            Penggunaan lagu-lagu Sheila On 7 yang dibawakan oleh sekelompok pemusik di depan sebuah barber shop juga terlihat aneh dan menjadikan penulis terganggu sebagai penonton.  Belum pernah penulis menemukan kejadian tersebut di dunia nyata sehingga menjadi sebuah hal yang janggal dan malah membuat penulis tertawa saat menonton film ini.
Pada film-film selanjutnya mungkin Hanung perlu lebih memperdalam riset sosial dan komunikasi pada saat sebelum pembuatan  filmnya guna menghindari hal-hal kecil yang seharusnya tidak terjadi pada film ini. Sudah saatnya film Indonesia menggunakan riset yang lebih serius pada produksi sebuah film. Kekuatan riset akan sangat mendukung plot dan cerita sebuah film yang memang sudah bagus. Walau film memang mempunyai khalayak yang luas, perlu juga lebih dipahami bagaimana karakteristik dari khalayak tersebut sehingga akan semakin mendekatkan film tersebut dengan penontonnya dan penonton merasa bahwa film tersebut dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari dan tidak jauh di awang-awang.
Secara keseluruhan, penulis memberikan nilai 8/10 pada film buatan Hanung Bramantyo ini yang mampu menghadirkan potret dan realitas yang ada di masyarakat Indonesia pada masa-masa belakangan ini. Sebuah film yang mampu memberikan kita pembelajaran arti indahnya keberagaman dalam damai dan mampu bertoleransi pada setiap perbedaan tersebut tanpa harus kehilangan identitas diri sendiri...

Jakarta, 20 April 2011

Salam,
FN Inco Harper
- Mahasiswa Program Pascasarjana Komunikasi Politik Universitas Indonesia.
- Dosen paruh waktu Prodi Ilkom & DKV Universitas Multimedia Nusantara.

07 April 2011

Model Pemasaran Partai Politik

Pemilu Legislatif 9 April 2009 diikuti oleh 38 partai politik nasional dan 6 partai lokal. Pemilu Legislatif kemudian diikuti oleh Pemilu Presiden putaran pertama 5 Juli 2009. Pemilu Presiden putaran kedua 22 Oktober 2009 ditiadakan karena Presiden sudah terpilih pada putaran pertama. Dari Pemilu Legislatif, lahirlah 9 partai yang dapat mengisi kursi DPR RI yaitu: Partai Demokrat (150 kursi), Partai Golkar (107 kursi), PDI-Perjuangan (95 kursi), PKS (57 kursi), PAN (43 kursi), PPP (37 kursi), PKB (27 kursi), Gerindra (26 kursi) dan Hanura (18 kursi). Partai-partai tersebut memenuhi parlementary treshold 2,5%.
Dari 9 partai tersebut, saya memilih 3 partai untuk dijadikan kasus dan contoh partai politik yang cenderung berkarakter product-oriented party, sales-oriented party dan market-oriented party.

Gerindra
; product-oriented party
Menurut Lees-Marshment (2001), product-oriented party memiliki 5 stage (tahapan) pada proses pemasaran partainya. Stage tersebut adalah: [1] Product design, [2] Communication, [3] Campaign, [4] Election dan [5] Delivery. Pada karakter ini, partai sangat kental ideologi politiknya. Partai menjadi pemimpin pergerakan sosial, namun tidak responsif terhadap perubahan sosial itu sendiri. Partai berkarakter ini juga beranggapan bahwa sukses elektoral bukanlah merupakan tujuan partai itu sendiri. Partai mempunyai desain mekanik sehingga bersifat sentralistik dan tunduk pada tokoh tertentu. Tujuan dari karakter partai seperti ini adalah memobilisasi para pendukungnya.
Pada stage [1] partai di-design sesuai dengan keinginan dari seorang tokoh sentral atau sekelompok anggota inti. Proses design ini sama sekali tidak membutuhkan masukan dari luar partai yang didapatkan melalui market research  ataupun polling. Karena mempunyai desain mekanik dan sentralistik, maka partai akan berubah jika diinstruksikan berubah oleh tokoh sentral.

Sebagai contoh kasus dari model product-oriented party ini adalah Gerindra. Tokoh sentral pada partai ini bukanlah ketua umumnya, melainkan ketua dewan pembina yaitu Letjen. (Purn) Prabow Soebianto. Gerindra didirikan pada Februari 2008. Walau Prabowo baru bergabung pada 12 Juli 2008 sebagai anggota, namun sebenarnya bahwa Prabowo-lah yang ada di belakang layar pendirian partai ini. Nama Prabowo tidak dikeluarkan di awal karena saat itu masih tercatat sebagai pengurus Partai Golkar. Setelah melepaskan keanggotaannya secara resmi dari Partai Golkar, barulah Prabowo ditampilkan ke publik. Partai ini menyita perhatian publik ketika mereka melakukan promosi melalui media massa (terutama tekevisi) secara terus-menerus. Publik menduga bahwa ada “orang kuat” di balik partai ini karena mempunyai sumber dana yang besar. Dugaan itu terjawab ketika nama Prabowo dimunculkan.

Sesuai dengan karakter dengan model product-oriented party, Gerindra dibangun bukan berdasarkan kebutuhan pasar, melainkan sesuai dengan keinginan tokoh sentralnya, Prabowo. Tidak ada tokoh lain yang bisa menyaingi sentralistik Prabowo di partai ini. Partai ini stabil karena tingkat kepatuhan yang tinggi secara mekanik kepada Prabowo. Sumber dana partai ini pun diduga hampir seluruhnya berasal dari kantong pribadi Prabowo. Tanpa sumber dana yang besar dari kantong Prabowo, partai ini yang baru pertama kali ikut pemilu berhasil melewati batas parlementary treshold 2,5% dan berhasil mendapatkan peringkat ke-8 Pemilu dengan peroleh 4,46% yang mendapat 26 kursi di DPR RI.

Dari sisi perolehan suara, Gerindra dapat dikatakan berhasil karena mampu melewati partai-partai lama yang lolos parlementary treshold sebelumnya seperti PBB, PBR dan PDS. Namun jika dihitung dari efektivitas biaya kampanye, maka Gerindra dikatakan kurang berhasil karena mengeluarkan biaya paling besar untuk setiap pemilihnya.

Partai Golkar
; sales-oriented party.
Lees-Marshment (2001) menyebutkan bahwa sales-oriented party memiliki 6 stage (tahapan) pada proses pemasaran partainya. Stage tersebut sama dengan product-oriented party namun setelah stage product design ada stage market intelegence. Pada stage market intelegence inilah digunakan market research, advertising, dan teknik-teknik komunikasi lainnya untuk menjual partai dan kebijakannya. Pada model ini, partai menjadi lebih terbuka oleh pandangan dari luar. Namun masalah perubahan, adalah keputusan internal yanng bisa saja tidak dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh luar.
Partai Golkar, partai yang berkuasa pada orde baru, banyak diprediksikan orang akan hancur pada era reformasi ini. Namun, setelah kalah dari PDIP pada pemilu 1999, Partai Golkar memenangkan kembali Pemilu 2004 dan berada di posisi ke-2 pada Pemilu 2009 yang lalu. Selain menang pengalaman, partai ini juga banyak melakukan perubahan-perubahan internal yang dimulai pada saat kepemimpinan Akbar Tanjung. Setelah lengsernya Soeharto, Partai Golkar tidak lagi menjadi partai yang bersifat sentralistik. Banyak sekali tokoh-tokoh politik partai ini yang mengkilap. Partai Golkar seakan tak pernah kekurangan kader yang brilian. Partai Golkar yang dulunya kaku, sekarang menjadi lebih dinamis.



Sesuai dengan model sales-oriented party, Partai Golkar juga melakukan stage market intelegence. Pada stage ini, partai banyak mengadakan pendekatan-pendekatan persuasif kepada electorate. Namun mungkin karena masih banyak sisa-sisa orang orde baru di partai ini, maka Partai Golkar terasa melangkah setengah kaki pada era reformasi ini. Di satu sisi, partai ingin melakukan reformasi dan berpihak kepada rakyat, di satu sisi lain partai masih terbelenggu oleh nikmatnya kekuasaan dan selalu berpihak pada pemerintah. Hal itu menjadikan partai hanya melakukan stage market intelegence namun tak mengikuti kebutuhan pasar politik dan melakukan adjustment.
Partai Keadilan Sejahtera
; market-oriented party.
Salah satu ciri dari model market-oriented party ini adalah adaptasi kepada kebutuhan pasar politik. Menurut Lees-Marshment (2001), yang membedakan model ini dengan sales-oriented party adalah model ini didahului oleh stage market intelegence yang kemudian diikuti oleh stage product design. Pada model ini juga terdapat stage product adjustment dan implementation.
Pada Pemilu 2009, PKS yang telah ikut 2 kali pemilu sebelumnya (1999 dengan nama PK), melakukan model ini untuk mengembangkan partainya. Partai yang sebelumnya berasaskan Islam, tidak menerima kader selain muslim dan mempunyai slogan berbahasa Arab, kini setelah Mukernas PKS di Bali Februari 2008, beberapa bulan sebelum Pemilu legislatif, PKS mengumumkan menjadi partai terbuka bagi non-muslim dan bahkan berdialog dengan Dubes AS tentang Islam pada Munas ke-2 yang diadakan di Hotel Ritz Carlton, Jakarta.

Dapat dilihat bahwa, walau tidak secara mendadak, terdapat perubahan pada PKS yang pada awalnya sempat dicurigai sebagai partai garis keras beraliran kanan. Pada bulan April 2009, sebuah buku bertajuk Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia diterbitkan oleh The Wahid Institute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, Maarif Institute, dan Libforall Foundation. Buku ini kontroversial karena melukiskan PKS sebagai agen kelompok garis keras Islam transnasional. Dalam buku ini, PKS dilukiskan melakukan infiltrasi ke sekolah dan perguruan tinggi negeri dan berbagai institusi yang mencakup pemerintahan dan ormas Islam antara lain Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Buku ini dikatakan akan diperbanyak di empat negara. Buku ini juga disebarkan secara cuma-cuma di Internet di situs resmi Gerakan Bhinneka Tunggal Ika. Buku yang beredar beberapa  bulan sebelum pemilu legislatif ini dianggap sebagai propaganda dari lawan-lawan politik PKS agar PKS kehilangan suara di Pemilu 2009. Hasilnya, PKS bersama Partai Demokrat malah menjadi partai yang mengalami kenaikan jumlah presentase perolehan suara.



Sebenarnya gelagat product adjustment ini mulai terlihat ketika PKS berani memasang spanduk yang menyebutkan bahwa Soeharto adalah guru bangsa dan pantas dianugrahi gelar Pahlawan Nasional. Gerakan itu mungkin untuk menarik simpati dari para pendukung orde baru. Seiring dengan bergesernya platform partai – PKS yang awalnya merupakan partai dakwah yang berasal dari kampus-kampus – menjadi partai yang terbuka, terjadi konflik internal partai. Walau disangkal pihak partai secara resmi, disinyalir PKS terbagi menjadi dua faksi yaitu Faksi Keadilan dan Faksi Sejahtera. Faksi Keadilan adalah golongan yang ikut dalam awal pendirian awal partai yang tetap ingin PKS menjadi partai yang eksklusif dan menjunjung ideologi ke-Islam-an. Faksi Sejahtera adalah golongan muda yang ingin PKS lebih besar dan berkembang. Tujuan ini bisa diwujudkan hanya dengan menjadikan PKS partai terbuka dan dapat menampung kaum nasionalis. Kemungkinan besar bahwa faksi ini “iri” dengan perolehan suara partai-partai nasionalis yang lebih besar partai Islam.


Sedikit kegagalan PKS dalam menjalankan model market-oriented party ini mungkin adalah masih adanya sentralisasi tokoh KH Hilmi Aminuddin. Padahal Hilmi sendiri berkeinginan ada kader PKS lain yang bisa menggantikannya. Secara umum, walaupun dari luar terlihat sebagai partai yang eksklusif, penulis melihat bahwa PKS sedang menuju perubahan menjadi partai yang lebih terbuka. Tentunya hal itu bukan berarti tidak adanya tantangan dari pihak internal partai yang tetap menginginkan PKS menjadi partai yang eksklusif. Namun tampaknya PKS adalah partai yang sadar betul akan kebutuhan pasar politik dan mempunyai tujuan untuk melakukan adjustment dengan beradaptasi sesuai dengan kebutuhan pasar tersebut.