24 December 2010

MEDIA MASSA DAN ANAK-ANAK DI INDONESIA “Penggunaan Model Anak-Anak pada Iklan Televisi di Indonesia”

Periklanan: Sebuah Elemen Komunikasi dalam Proses Branding.
            Periklanan saat ini sedang mendapat sorotan tajam semenjak aspek informasi menjadi wacana penting dalam bisnis, terutama dalam proses membangun merek atau branding. Kegiatan periklanan yang efektif dipandang mampu mempengaruhi kecenderungan mengkonsumsi dalam masyarakat. Tindakan mengkonsumsi secara berulang (repeat buying) adalah salah satu tujuan dalam pemasaran. Periklanan yang efektif juga akan mengubah pengetahuan publik mengenai ketersediaan dan karakteristik sebuah produk (product knowledge). Seharusnya elastisitas permintaan produk akan sangat dipengaruhi aktivitas periklanan.
            Dalam setiap iklan, selalu ditentukan terlebih dahulu target audience-nya. Menurut McQuail, yang dimaksud dengan massa merupakan kolektivitas tanpa bentuk (McQuail, 2005:57), yang di dalamnya termasuk khalayak televisi dan radio. Namun untuk sebuah iklan, massa tersebut harus dikelompokkan lagi menjadi segmentasi sebelum dijadikan targeting. Rhenald Kasali mengatakan bahwa segmentasi adalah suatu strategi untuk memahami struktur pasar dan targeting adalah persoalan bagaimana memilih, menyeleksi dan menjangkau pasar (Kasali 1998:48). Dalam hal komunikasi, maka yang dimaksud pasar adalah audience ataulah khalayak. Maka yang disebut dengan target audience adalah sasaran khalayak tertentu yang ingin dijangkau oleh pengiklan dengan cara tertentu dalam suatu kampanye iklan (Santosa, 2002:105).
           
Periklanan: Kapitalisme Duri Lunak
            "Pemirsa, jangan ke mana-mana, kami akan kembali setelah pesan­pesan berikut". Pesan tersebut tidak asing lagi bagi para pemirsa televisi. Tak lama kemudian lewat televisi tampil lagi satu atau beberapa tayangan iklan suatu produk. Secara sengaja maupun tidak disengaja, kita setiap saat dibanjiri iklan lewat media televisi, radio, surat kabar, majalah, ataupun media-media lainnya; dan tampaknya, iklan telah menjadi bagian dalam kehidupan kita, bukan saja monopoli kaum urban tapi juga telah mencapai pelosok pedesaan.
Kata iklan (advertising) berasal dari bahasa Yunani, yang artinya kurang lebih adalah 'menggiring orang pada gagasan'. Adapun pe­ngertian iklan secara komprehensif adalah "semua bentuk aktivitas untuk menghadirkan dan mempromosikan ide, barang, atau jasa secara nonpersonal yang dibayar oleh sponsor tertentu..." Secara umum, iklan berwujud penyajian informasi nonpersonal tentang suatu produk, merek, perusahaan, atau toko yang dijalankan de­ngan kompensasi biaya tertentu. Dengan demikian, iklan merupa­kan suatu proses komunikasi yang bertujuan untuk membujuk atau menggiring orang untuk mengambil tindakan yang mengun­tungkan bagi pihak pembuat iklan.
Periklanan dipandang sebagai media yang paling lazim diguna­kan suatu perusahaan (khususnya produk konsumsi/consumer goods) untuk meng­arahkan komunikasi yang persuasif pada konsumen. Iklan dituju­kan untuk mempengaruhi perasaan, pengetahuan, makna, keper­cayaan, sikap, dan citra konsumen yang berkaitan dengan suatu produk atau merek. Tujuan ini bermuara pada upaya mempenga­ruhi perilaku konsumen dalam membeli. Meskipun tidak secara langsung berdampak pada pembelian, iklan menjadi sarana untuk membantu pemasaran yang efektif dalam menjalin komunikasi antara perusahaan dan konsumen, dan sebagai upaya perusahaan dalam menghadapi pesaing. Kemampuan ini muncul karena ada­nya suatu produk yang dihasilkan suatu perusahaan. Bagaimana­pun bagusnya suatu produk, jika dirahasiakan dari konsumen maka tidak ada gunanya. Konsumen yang tidak mengetahui keberadaan suatu produk tidak akan menghargai produk tersebut sehingga tidak akan membelinya.
Menurut Frank Jefkins kehidupan dunia modern saat ini sa­ngat bergantung pada iklan (Advertising, 1997:2). Tanpa iklan, para produsen dan distri­butor tidak akan dapat menjual barangnya. Sedangkan di sisi lain, para pembeli tidak akan mempunyai cukup informasi mengenai produk-produk barang dan jasa yang tersedia di pasaran.

Iklan Televisi: Dunia Khayal dalam Layar Kaca
            Semenjak televisi dipasarkan pertama kalinya pada tahun 1930, dunia larut ke dalam sebuah realitas yang terkungkung di dalam sebuah layar kaca. Kata "televisi" merupakan gabungan dari kata tele λε, "jauh") dari bahasa Yunani dan visio ("penglihatan") dari bahasa Latin. Sehingga televisi dapat diartikan sebagai telekomunikasi yang dapat dilihat dari jarak jauh. Walaupun iklan telah ada di media cetak lebih dari 100 tahun lalu, televisi baru mulai digunakan sebagai media penayangan iklan pertama kali pada tahun 1941. Tahun itu menjadi tahun pertama mengudaranya siaran televisi komersial. Perusahaan Bulova Watch Company menjadi perusahaan yang pertama kali iklannya ditayangkan di televisi dan membayar sekitar sembilan dolar.
            Keunggulan televisi sebagai media massa berbasis audio visual membuat perkembangan teknologi periklanan semakin meningkat. Selama beberapa dekade, televisi menjadi media massa yang hebat dengan jangkauan yang luas. Televisi yang awalnya hanya ada di rumah-rumah, kini juga telah tersedia di berbagai tempat umum. Hal ini membuat orang rata-rata menonton televisi selama empat jam sehari (Roman, 2003:105).
            Dalam kajian semiotika komunikasi, iklan televisi dapat dikaji melalui sistem tanda dalam iklan. Iklan televisi menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik yang verbal maupun yang berupa ikon (Sobur, 2004:116). Iklan televisi mempunyai 3 jenis pesan yaitu: (1) pesan linguistik (semua kata dan kalimat dalam iklan); (2) pesan ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam gambar iklan—yang hanya berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat), dan (3) pesan ikonik yang terkodekan (denotasi dalam gambar iklan) (Cobley & Jansz, 1999:47-48)
            Walau pada awalnya iklan televisi lebih banyak bersifat testomonial, maka seiring dengan berkembangnya teknologi dan kreativitas, iklan televisi telah berubah bentuk menjadi sebuah film dengan durasi yang sangat pendek (30 atau 60 detik). Dramatisasi pada iklan televisi bertujuan tidak hanya untuk membuat khalayak membeli produk yang diiklankan, melainkan juga menghibur dan mepermainkan sisi emosional dari khalayak. Yang kemudian terjadi adalah iklan televisi telah menjadi lebih dari sekedar informasi produk, melainkan berubah menjadi dunia khayal tersendiri dalam layar kaca. Dengan durasinya yang singkat, iklan televisi diharusnya mampu menarik perhatian khalayaknya secara cepat pula melalui kelebihan audio visualnya.
            Dalam waktu yang cepat, iklan televisi dengan berbagai macam kelebihannya menjadi primadona para pemasar untuk memasarkan produk-produknya melalui iklan televisi. Di Indonesia yang mempunyai penduduk 240 juta orang, kebanyakan setiap rumah tangga telah memiliki satu pesawat televisi. Iklan televisi yang beredar dalam setahun lebih dari 1000 iklan dan memakan biaya penayangan Rp 38 triliun. Selain dianggap mahal, iklan televisi juga dianggap sebagai penyebab ketidakteraturan (clutter) dalam persaingan. Para konsumen menganggap bahwa televisi merupakan media yang paling kacau (clutter) dari semua media iklan (Shimp, 2000:530).

Penggunaan Model Anak-Anak pada Periklanan
            Tak jarang dalam mencapai tujuan-tujuannya, periklanan juga menggunakan opinion leader sebagai model iklan yang merupakan salah satu bentuk kreativitasnya. Di Indonesia, opinion leader ini sering dikategorikan sebagai selebriti ataupun politisi. Pada bagian penjelasan Etika Pariwara Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan model ialah seseorang yang memainkan peran atau mencerminkan suatu peran dalam iklan. Peran ini dapat berupa gambar, foto, suara, tandatangan, maupun atribut lainnya yang dikenal publik, ataupun gabungan dari antaranya (EPI, 2005:52).
            Mungkin para pengiklan dan pembuat iklan, berusaha keluar dari clutter-nya televisi dengan menggunakan berbagai cara dan kreativitas. Salah satunya dengan menggunakan model anak-anak. Penggunaan model anak-anak ini tidak hanya terjadi di produk-produk untuk anak-anak, namun juga untuk produk-produk dewasa.
            Untuk produk anak-anak, iklan televisi yang paling sering menggunakan model anak-anak adalah jenis produk susu formula dan makanan ringan (snack). Jenis produk ini memang sangatlah potensial dan efektif jika menggunakan model anak-anak. Selain anak-anak sebagai khalayak akan tertarik, orangtua juga seringkali merasa gemas dengan akting dan gaya dari model anak-anak ini yang dalam kajian semiotika dapat ditangkap melalui pesan-pesan ikonik gambar-gambar iklan televisi. Namun di luar iklan yang memang berhubungan dengan anak-anak sebagai target market-nya, penulis mengamati, XL sebagai provider telekomunikasi juga telah membuat iklan tevisi dengan model anak-anak Baim pada beberapa seri iklan televisinya. Tercatat tak kurang dari 5 iklan televisi XL yang diperankan oleh Baim.
            Secara target market, kita dapat melihat bahwa XL tidak ditargetkan untuk anak-anak dan memang bukan produk untuk anak-anak, apalagi yang seusia dengan Baim. Sebuah buku yang berjudul Brand Child menyebutkan bahwa, walau sebuah merek tidak ditargetkan untuk anak-anak, namun menurut penelitian yang dilakukan bahwa anak-anak tertarik dengan merek yang ditujukan untuk orang dewasa (Lindstrom, 2000:62). Sekitar 70% anak laki-laki tertarik dengan merek-merek mobil dan sekitar 77% anak perempuan tertarik dengan merek-merek fashion. Walaupun anak-anak belum mempunyai kemampuan membeli (masih mendapatkan uang dari orangtua mereka), namun anak-anak bisa menggunakan rengekan (pester power) mereka untuk mendapatkan keinginan mereka. Ada kemungkinan XL melihat perlunya me-maintain anak-anak sebagai prospek target market mereka nantinya setelah dewasa.
            Dengan semakin banyak dan semakin mudanya usia anak-anak yang menggunakan telepon selular, mungkin pula XL telah menjadikan anak-anak sebagai target market mereka. XL juga melihat bahwa anak-anak mempunyai keterikatan dengan televisi karena menurut penelitian bahwa anak-anak tiga kali lebih mungkin mengingat merek yang mereka lihat di televisi (Lindstrom, 2000:69). Anak-anak terikat dengan televisi dengan cara seperti ini:
Þ    Televisi adalah bagian terpenting dalam hidup mereka—tolak ukur yang dipakai untuk menilai media lain. 85% dari anak-anak sangat suka menonton televisi;
Þ    Anak secara aktif memperhatikan apa yang mereka lihat di televisi dan menyerap lebih banyak detil dibanding orang dewasa—bahkan dari iklan yang tidak ditujukan untuk mereka;
Þ    Anak-anak memang menyukai iklan. Mereka dua kali lebih mungkin menyatakan menikmati dibanding orang dewasa;
Þ    Kehidupan mereka lebih tidak berantakan dibandingkan orang dewasa. Belanja dan memilih merek adalah pengalaman yang menyenangkan, bukan tugas.
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa televisi mempunyai keunggulan secara audio visual. Terlebih untuk anak-anak televisi memiliki keunggulan lainnya seperti:
Þ    Televisi mengirimkan pesan dengan cara mengkombinasikan elemenvisual yang sangat penting bagi dunia anak, dengan suara dan musik yang menyenangkan;
Þ    Televisi adalah pengalaman berbagi yang menyenangkan. Anak-anak bisa duduk bersama teman mereka dan mengomentari pertunjukkan;
Þ    Sebagai media penyiaran, televisi relatif mempermudah meraih anak-anak dan orangtua dengan saluran komunikasi yang sama.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat betapa kehebatan televisi menyampaikan pesan guna mencapai tujuan-tujuan para pemasar. Walau tidak ditujukan untuk anak-anak, XL sebagai provider telekomunikasi mulai membangun keterikatan dengan anak-anak sebagai generasi mendatang.
            Penggunaan Baim dalam iklan televisi XL tentu tidak hanya menarik perhatian dari orang dewasa (sebagai target market dari XL) melainkan juga menarik perhatian dari anak-anak. Dalam iklan televisi XL versi Tebak-tebakan malah bukan hanya Baim yang menjadi model anak-anak, melainkan semua modelnya adalah anak-anak (jumlahnya ada 8 orang termasuk Baim). Dari ceritanya juga berkisah tentang tebak-tebakan yang biasanya memang merupakan permainan dari anak-anak.
            Baim sebagai model anak-anak, pada setiap versi iklan televisi XL seorang yang meng-endorse penggunaan XL seakan-akan ia adalah seorang dewasa yang mengerti isi dari pesan yang ia endorse.

Masalah Etika dalam Periklanan
            Peran iklan dalam masyarakat telah diperdebatkan selama bertahun-tahun. Iklan dianggap para pembuatnya amat bertanggung jawab terhadap segala kejadian baik di dalam hidup dan dikritik lawan mereka sebagai penyebab sebagian besar hal yang buruk. Menurut Sumantri, iklan dapat dilihat menurut 3 perspektif atau sudut pandang yaitu: pembuat iklan, ahli mitos dan khalayak/pemirsa (Sumantri, 2001: 185-187).
            Dari perspektif khalayak (dewasa), iklan seringkali dianggap tidak jujur dan menipu. Penipuan dianggap terjadi ketika sebuah iklan salah merepresentasikan sebuah produk, dan konsumen mempercayainya sebagai representasi yang benar. Khalayak sasaran dengan segala keterbatasan pengetahuannya menangkap apa yang direpresentasikan dalam iklan sebagai sebuah realitas. Apalagi jika hal tersebut dilihat oleh khalayak non-sasaran yang mungkin akan mempunyai persepsi yang lebih berbeda.
            Iklan juga sering dituduh bersifat manipulatif. Kritik ini ditunjukkan karena iklan mempunyai kekuatan mempengaruhi orang untuk berperilaku tidak umum, atau melakukan sesuatu yang tidak akan mereka lakukan jika tidak ditunjukkan oleh iklan. Kata bawah sadar (subliminal) mengacu pada rangsangan di tingkat bawah ambang kesadaran (awareness). Perspektif khalayak menganggap bahwa metode-metode subliminal inilah yang dipakai para pembuat iklan dalam membuat iklan mereka (Shimp, 2000:484). Selain dua hal di atas, masih ada lagi beberapa tuduhan masyarakat (sebagai khalayak iklan) yang negatif terhadap iklan.
            Karena banyak sekali hal-hal yang dituduhkan massa terhadap etika dalam periklanan, maka para pelaku industri periklanan membuat sebuah aturan-aturan dan kode etik tertentu yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan etika di industri periklanan. Di Indonesia pada tanggal 17 September 1981, diikrarkan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI), sebuah kitab yang berisi aturan main tentang etika dalam industri periklanan di Indonesia. Seiring dengan berkembangnya waktu, terjadi banyak perubahan yang membuat TKTCPI ini menjadi kurang sesuai dan relevan lagi dipakai dalam kegiatan industri. Maka pada tahun 2002, diperkenalkanlah Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang kemudian direvisi beberapa kali sehingga menghasilkan format final pada taggal 1 Juli 2005. Disebutkan bahwa EPI masih mungkin terjadi perubahan atau revisi yang diakibatkan oleh berubahnya teknologi dan industri periklanan.
            Sayangnya, EPI yang dimaksudkan oleh Dewan Periklanan Indonesia sebagai aturan main industri periklanan malah sering kali dilanggar oleh anggota PPPI. Dalam kasus iklan televisi XL dapat dilihat pelanggaran dilakukan berulang kali dalam beberapa iklan televisi. Ada beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh XL dalam Tata Krama EPI. Pelanggaran tersebut adalah sebagai berikut:
3. Pemeran Iklan
            3.1 Anak-anak
                        3.1.1 Anak-anak tidak boleh digunakan untuk                              mengiklankan produk yang tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak, tanpa didampingi orang dewasa.
                        3.1.3 Iklan tidak boleh menampilkan anak-anak sebagai                                 penganjur bagi penggunaan suatu produk yang bukan untuk anak-anak.
Selain menyalahi EPI, ternyata iklan XL tersebut juga menyalahi UU RI NO. 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN Pasal 46 ayat 4.e. yang berbunyi: “Siaran iklan niaga dilarang melakukan: eksploitasi anak dibawah usia 18 tahun.” Walau masih dapat dipertentangkan, arti dari kata “eksploitasi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: (2) pemanfaatan untuk keuntungan sendiri; pengisapan; pemerasan (tt tenaga orang): -- atas diri orang lain merupakan tindakan yg tidak terpuji.
            Tampaknya iklan televisi XL tidak hanya melanggar sekali namun berkali-kali dan sistematis karena bisa dikatakan iklan tersebut dalam satu kesatuan payung thematic campaign. Namun kejadian tersebut seperti dianggap lalu, bukan hanya oleh masyarakat yang mungkin belum tau tentang EPI, namun juga oleh pihak-pihak yang berkepentingan di dalam industri periklanan itu sendiri seperti PPPI dan DPI.
            Penulis merasa prihatin dengan kondisi tersebut karena jika tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelanggar EPI (bahkan UU Penyiaran), bukan tak mungkin akan terjadi kasus yang serupa di masa mendatang. Bahwa kita semua harus menjalankan aturan main dan beretika dalam menjalankan bisnis apapun. Apalagi mengingat sebuah iklan ditayangkan pada media massa yang dilihat oleh masyarakat luas. Jika hal ini diteruskan, tampaknya periklanan harus siap untuk menerima kritik-kritik lebih tajam lagi di masa mendatang. Alih-alih membuktikan bahwa kritik sebelumnya tidaklah benar, malah akan membuat orang semakin anti dan menolak iklan.
            Peraturan dan etika yang dibuat dalam EPI tentu tidaklah dibuat tanpa ada alasan dan tujuannya. Maka dari itu, saya menghimbau kepada semua praktisi periklanan agar kembali kepada peraturan dan etika dalam setiap pekerjaannya. Kreativitas bukanlah alasan untuk melanggar peraturan dan etika tersebut. Kreativitas harusnya bisa lahir dan tercipta dalam segala bentuk peraturan yang beretika, karena itulah kreativitas yang sesungguhnya.

*****





DAFTAR PUSTAKA


Buku:

Cobley, Paul dan Litza Jansz. Introducing Semiotics, New York: Icon Books – Totem Books, 1999
Jefkins, Frank. Advertising, Edisi Ketiga, London: Pitman Publishing, 1994
Kasali, Rhenald. Membidik Pasar Indonesia: Segmentasi, Targeting, Positioning, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998
Lindstrom, Martin., dan Patricia B. Seybold. BrandChild, London: Kogan Page Limited, 2000
McQuail, Denis. McQuail’s Mass Communication Theory, London; SAGE Publications Ltd, 2005
Roman, Kenneth., et.al. How To Advertise, New York: St. Martin's Press, 2005
Santosa, Sigit. Advertising Guide Book, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001
Shimp, Terence A. Periklanan Promosi, Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu, Jakarta: Erlangga, 2003
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004
Sumantri-Zaimar, Okke Kusuma. Ideologi dalam Pariwara, Yogyakarta: Yayasan bentang Budaya, 2001
Sutherland, Maz., dan Alice K. Sylvester. Advertising and The Mind of the Consumer, London: Kogan Page Limited, 2000
Sutojo, Siswanto., dan Friz Kleinsteuber, Strategi Manajemen Pemasaran, Edisi Pertama, Jakarta: Damar Mulia Pustaka, 2002
Trisnanto, Adhy. Cerdas Beriklan, Yogyakarta: Galangpress, 2007

Wibowo, Wahyu. Sihir Iklan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001

Widyatama, Rendra. Bias Gender Dalam Iklan Televisi, Yogyakarta: Media Pressindo, 2006



Peraturan:

Dewan Pers Indonesia. ETIKA PERIKLANAN INDONESIA: Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, Jakarta: 2005


Internet:




01 December 2010

Sudah siapkah kita berdemokrasi?

Mengamati kasus demokrasi versi monarki yang digulirkan oleh SBY sangatlah menarik. Kasus yang bermula dari ucapan SBY yang mengatakan bahwa dalam negara demokrasi tak seharusnya ada sistem monarki pada Jumat 26 Nopember 2010 yang lalu kian bergulir menjadi isu-isu hangat bahkan sampai kepada isu referendum Yogyakarta. Namun saya tak ingin ikut terbawa pada hal tersebut. Saya malah lebih tertarik mengamati bagaimana sebenarnya sistem monarki yang ada di Indonesia mulai dari jaman kerajaan, jaman penjajahan sampai kepada jaman kemerdekaan.


Menurut wikipedia, Monarki berasal dari bahasa Yunani monos (μονος) yang berarti satu, dan archein (αρχειν) yang berarti pemerintah. Dapat dikatakan bahwa monarki merupakan sejenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki. Menurut wikipedia pula, bahwa penguasa monarki (Inggris: monarch) adalah seorang kepala negara yang jabatannya biasanya diwariskan dan memerintah seumur hidup. Namun menurut saya, sistem monarki ini tak hanya lekat ciri khasnya di masalah pemerintahan negara saja. Jika dikembangkan, sistem ini bisa terlihat dari kondisi sosio-kultural sebuah bangsa. Mari kita lihat satu-persatu.


Pertama, Indonesia, yang sebelum penjajah Eropa datang ke nusantara pada abad ke-16 merupakan bangsa yang memang menganut sistem monarki. Sistem monarki ini terdapat di seluruh kerajaan di nusantara. Siapa yang tak kenal dengan kebesaran Kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan juga Mataram. Semuanya itu bisa dibilang sukses menjalankan sistem monarki dan membuat rakyat sejahtera, bahkan mampu mengembangkan wilayah kekuasaan sampai keluar nusantara. Sampai kemudian datang Portugis dan Belanda, yang keduanya juga menganut sistem monarki pada pemerintahannya. Lagi-lagi nusantara diharuskan menjalankan sistem ini. Dan yang terakhir saudara tua Asia, Jepang, datang menjajah kita. Ternyata Jepang pun menganut sistem monarki pula. Sejarah berlanjut... Sampai saat ini, ternyata negara-negara bekas penjajah kita pun masih mempertahankan sistem monarki ini walau cuma sebatas simbol belaka karena untuk pemerintahan tak lagi dipegang oleh raja namun oleh perdana menteri.


Kedua, merdekanya Indonesia sebagai negara republik ternyata masih tetap terasa kental nuansa monarkinya yang terlihat dari munculnya tokoh-tokoh nasional yang dianggap sebagai 'raja' oleh para pendukungnya. Mulai dari tokoh nasionalis seperti Soekarno sampai tokoh agama seperti KH Hasyim Asyarie dan KH Ahmad Dahlan. Tak bisa dipungkiri bahwa dinasti Soekarno dan Wahid masih sangat lekat di hati rakyat Indonesia masa kini walau sudah semakin memudar pengkultusannya. Di PDIP kita bisa melihat bahwa yang namanya ketua umum (sampai saat ini) tak bisa tidak haruslah Megawati yang masih membawa nama dinasti Soekarno. Sampai pertikaian PKB Alm. Gus Dur dengan PKB Muhaimin juga nuansa dinasti Wahid masih sangat kental dan menjadi modal 'jualan' politik partai tersebut. Sekali lagi kita lihat bahwa sistem monarki ternyata memang dekat dengan kondisi sosio-kultural bangsa Indonesia.


Ketiga, walau Soeharto merupakan presiden terpilih melalui MPR tapi tak dapat dipungkiri bahwa gaya pemerintahannya selama 32 tahun sangatlah bersifat monarki. Kata-katanya dapat dikatakan sebagai hukum. Semua orang-orang terdekatnya harus segera melaksanakannya. Sialnya, seringkali 'titah raja' ini malah dilebih-lebihkan oleh para pelaksana hariannya yang membuat nuansa 'monarki' Soeharto menjadi lebih terasa kental di kalangan rakyat biasa. Seperti gaya pemerintahan monarki, kita bisa melihat bahwa anak, keluarga dan kerabat dekat Soeharto juga mempunyai kekuasaan secara de facto walau secara de jure tak pernah tertuliskan. Hal ini bisa kita liat dari sebutan masyarakat kepada keluarga Soeharto dengan sebutan keluarga Cendana, yang merujuk kepada lokasi tempat tinggal pribadi mantan presiden RI ini. Kita bisa lihat bahwa dalam kondisi sebagai negara demokrasi pun, pada era orde baru ternyata Indonesia masih lekat dengsan sistem monarki.


Keempat, era reformasi bergulir, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Awalnya kita berharap bisa belajar berdemokrasi dengan lebih baik pada era ini. Namun lagi-lagi saya melihat sistem monarki masih sangat kental dalam perpolitikan di Indonesia. Lihat saja PAN, partai yang berdiri di awal era reformasi masih saja tak bisa lepas dari bayang-bayang seorang Amien Rais. Bahkan ketika seorang Amin Rais mengatakan bahwa ia sudah tak ingin ikut campur pada partai, masih saya seorang ketua umum baru terpilih atas 'restunya'.  Aroma monarki juga tercium di Partai Demokrat. Walau SBY tak pernah menjadi ketua umum, namun ia selalu menjabat sebagai ketua dewan pembina. Jabatan yang sampai periode ini tidak tergoyahkan. Belum lagi isu tentang keharusan mendapat 'restunya' untuk mencapai posisi ketua umum Partai Demokrat. Walau UUD mengatur bahwa presiden hanya bisa dipilih maksimal sebanyak 2 kali, namun tak urung berhembus isu bahwa SBY mempersiapkan Ibu Negara sebagai calon penggantinya pada pemilu 2014. Dan jangan lupa bahwa Ibas, putra kedua SBY saat ini masuk di dalam posisi strategis partai walau harus dibuktikan lebih lanjut kepiawaiannya. Aroma monarki di politik pusat juga ternyata menyebar ke daerah-daerah. Tak sedikit kepala daerah yang kemudian mencalonkan istrinya sebagai kepada daerah selanjutnya. Atau seorang kepala daerah mendukung pencalonan adiknya untuk menjadi kepala daerah tingkat II yang masuk di dalam wilayah kekuasaannya.


Melihat kondisi politik dan sosio-kultural di atas saya mengamati bahwa sistem monarki masih dekat sekali dengan bangsa ini yang mengaku sebagai negara berdemokrasi. Jika memang demikian, mengapa kita seakan-akan alergi dengan sistem monarki tersebut dan selalu menyebut-nyebut negara demokrasi? Atau sesungguhnya pertanyaan yang lebih pahit kepada bangsa ini perlu ditanyakan: sudah siapkan kita untuk berdemokrasi?