19 December 2008

Sebuah refleksi Natal


Saat ini terdengar lantunan Jingle Bell Rock dari si anak ajaib Connie Talbot. Juga segelas kopi menunggu panasnya berkurang untuk dapat diminum. Ah, kiranya natal sudah semakin dekat. Natal yang selalu membawa haru biru di hati. Melekatkan lagi semua peristiwa demi peristiwa yang pernah terjadi pada diri ini. Seperti sedang merekatkan kepingan-kepingan puzzle yang berserakan di lantai. Mengingat-ingat letak demi letak, sudut demi sudut.

Ketika orang-orang lain merayakan natal dengan penuh keceriaan, tak tau kenapa aku selalu merasa sedih. Bukan sedih karena kesendirian ataupun kesepian. Buatku natal seperti mengingatkanku pada diri sendiri. Waktu yang benar-benar tepat untuk bercermin dan merefleksikan kejadian-kejadian yang pernah dialami. Baik diperbuat dengan sengaja ataupun dibawa oleh sebuah kebetulan.

Saat natal aku selalu melihat lagi, tahun ini sudah berbuat apa saja. Sudahkah melakukan yang baik? Sudahkan menjadi lebih berarti bagi orang lain? Atau tahun ini sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya? Tidak bertambah baik atau bahkan bertambah buruk?

Saat natal aku selalu berhitung dengan Tuhan. Berkat apa yang telah Dia berikan tahun ini kepadaku? Apakah sudah kusyukuri semua berkatnya? Apakah sudah kujalankan semuanya demi namaNya? Atau aku malah telah menyakiti hati kudusNya? Mengotori mulutku dengan menyebut namaNya secara tidak pantas?

Natal adalah sebuah cermin. Di mana aku bisa melihat gambaran diriku lagi secara utuh. Tidak terpotong-potong oleh amarah ataupun keragu-raguan. Di mana saatnya merangkum semua berkat dan menaruhnya di album pujian dan syukur. Di mana dosa dan kesalahan terkubur dalam sakramen tobat. Di mana kelegaan hati menjadi begitu lapang karena dimaafkan kembali.

Natal adalah sebuah teropong. Di mana aku bisa melihat gambaran tempat nanti kumenepi. Di mana arah dan tujuan kembali disusun. Menentukan satu tahun ke depan dengan segala rencana-rencana muluk. Yang mungkin saja akan terlupakan hilang bersama usainya musim penghujan. Di mana harapan terbentang luas kembali. Setelah tampaknya apa yang dicita-citakan tahun ini belum berhasil.

Ah, natal memang mencampurkan sejuta perasaan di hati... Hati yang percaya, yang rindu akan belai kasihNya. Hati si anak hilang yang kemudian lahir kembali...

***

Terima kasih Bapa telah menurunkan Roh KudusMu dan menjadi Firman Tuhan yang hidup. Terima kasih Santa Perawan Maria, Bunda Allah, hamba Tuhan yang selalu menuruti perkataanNya.

Terpujilan Yesus, Maria dan Yosef. Sekarang dan selama-lamanya...

Kol 'am wa antum bkheer, eid ul milad mubarak!

05 June 2008

Merokok Beretika


Di Jakarta makin lama makin susah buat merokok. Kalo dulu bisa di sembarang tempat, kini dengan adanya PERDA DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 maka para perokok disediakan tempat khusus untuk merokok. Smoking room istilahnya. Jadi gak bisa sembarangan lagi merokok di tempat umum.
Melihat dari bahaya yang ditimbulkan bagi para perokok pasif, sudah selayaknya kita mendukung PERDA tersebut. Saya sendiri merupakan perokok aktif dan setuju dengan hal tersebut walau terkadang suka merasa kerepotan mencari smoking room di tempat-tempat umum. Tapi sudah selayaknya kita para perokok juga memikirkan orang lain dan masyarakat luas.



Satu hal yang paling saya hindari adalah merokok di dekat ibu hamil dan anak-anak. Buat saya HARAM hukumnya. Cukup saya sendiri yang menanggung akibat buruk dari rokok yang saya hisap. Mereka yang belum pernah merokok sebaiknya tidak pernah memulai. Dengan kita merokok di dekat  ibu hamil dan anak-anak, saya beranggapan bahwa saya telah mengajari janin dan anak-anak untuk merokok. Sunguh memalukan...



Saya gak munafik dengan mengatakan ini berarti saya menentang para perokok. Saya sendiri perokok. Keluarga saya, ibu dan alm ayah saya merokok. Bahkan ayah saya meninggal karena kanker paru-paru yang disebabkan oleh rokok. Saya merasakan sendiri dampak negatif dari rokok. Tapi alangkah semakin buruknya saya jika saya cuek dan dengan sengaja merokok dekat ibu hamil dan anak-anak... Senang dan enaknya saya yang dapat, buruknya mereka yang dapat!

Tapi yang saya lihat di Jakarta tidaklah demikian. Dari beberapa orang yang saya kenal, mereka masih saja dengan cuek merokok di dekat ibu hamil. Memang sih, ibu hamil itu gak protes... Tapi kok ya tega berbuat seperti itu... apa gak mikir dampaknya buat si janin. Belum lagi jika yang merokok itu perempuan. Apa mereka gak bisa memikirkan bagaimana jika suatu saat nanti mereka hamil dan ada orang yang merokok di dekat mereka... Belum lagi para suami yang dengan cuek dan enaknya merokok dekat istrinya yan
g sedang hamil... keterlaluan! Seorang suami haruslah menjadi contoh yang baik dalam keluarga kan?


Mungkin bagi sebagian orang ini hal yang wajar dan mereka mungkin merasa saya terlalu membesar-besarkan masalah ini. Tapi prinsip saya untuk tidak merokok dekat ibu hamil dan anak-anak adalah HARGA MATI. Biarlah saya menjadi seorang perokok yang beretika. Yang juga bisa menghargai hak-hak orang lain. Termasuk di dalamnya hak hidup sehat bagi seorang manusia yang baru berusia beberapa saat di dalam kandungan...

18 May 2008

Mental Miskin Orang Kaya

Sebentar lagi harga BBM akan naik. Pro kontra terjadi di mana-mana. Kelompok yang pro menyebutkan bahwa dengan kenaikan tersebut akan memperbaiki kondisi ekonomi secara makro, mengingat harga minyak dunia sudah menembus angka $129 per barelnya dan berdampak kepada semakin melambungnya rupiah yang mesti disubsidi pemerintah untuk masalah BBM ini. Sedangkan yang kontra tentunya lebih memikirkan dampak ekonomi jangka pendek. Di saat krisis harga pangan yang masih terus berlanjut, naiknya harga BBM tentunya akan makin membuat rakyat menderita dengan kenaikan-kenaikan harga barang lainnya yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM ini.
Di satu sisi, banyak yang memanfaatkan momen ambang tunggu ini dengan menimbun BBM yang membuat antrean karena berkurangnya pasokan BBM terjadi di mana-mana. Para oknum ini berharap mereka akan mendapatkan keuntungan singkat pada saat harga BBM telah dinaikkan nantinya.
***
Jujur gw adalah orang yang gak terlalu peduli dengan kenaikan harga BBM ini. Gw cuma naik motor dan selalu menggunakan BBM non-subsidi swasta dari perusahaan asing Amerika yang makin lama makin mahal harganya, kini telah Rp10.000/liternya.  Puji Tuhan walaupun gw bukan orang yang berlebih dan gaji gw gak gede-gede amat tapi gw merasa malu untuk membeli BBM dengan harga subsidi. Bukan gengsi, tapi gw merasa masih banyak orang-orang dengan kemampuan minim yang lebih pantas dan berhak untuk mendapatkannya terutama angkutan umum non taksi.
Gw berfikir gw gak akan menjadi miskin hanya dengan membeli BBM non-subsidi setiap dua hari sekali. Tapi yang gw lihat malah sebaliknya, di sekeliling gw banyak teman yang gw anggap lebih mampu dari gw tapi selalu menggunakan BBM bersubsidi dan menjadi khawatir dengan kenaikan harganya nanti. Di SPBU Pertamina saja gw lihat mobil-mobil eropa keluaran terbaru ikut-ikutan mengantri mengisi BBM bersubsidi. Padahal mampu membeli mobil mewah harusnya juga mampu membeli BBM non-subsidi. Menjadikan mereka sebagai orang-orang kaya yang bermental miskin. Lebih baik menerima daripada memberi!
Ternyata mental miskin orang kaya ini juga terjadi pada hal-hal lain. Lihat saja di berbagai pertokoan banyak orang-orang kaya yang sibuk memilih-milih film DVD bajakan. Gw juga menjadi bagian dari hal ini. Dengan tenangnya dan tanpa merasa berdosa ikutan membeli produk bajakan secara terang-terangan.
Belum lagi gw melihat seorang bule dengan nyamannya menenteng dua plastik besar yang berisi game-game X-Box bajakan di sebuah pertokoan. Senang sekali tampaknya mereka, gaji ekspat tapi kok belanja dengan harga bajakan!
***
Untuk hal DVD buat gw ada sedikit pengecualian (bukan pembenaran). DVD bukan barang pokok. Boleh ada boleh nggak. Toh cuma hiburan dan kalo mau nonton yang lebih enak tinggal ke 21 cineplex yang saat ini makin murah harganya (thanks to Blitz!). Lain halnya dengan BBM yang merupakan hajat hidup orang banyak. Sudah saatnya membangun sebuah mental kaya orang kaya. Merasa malu telah merampas jatah rakyat kecil.
Pemerintah juga harusnya membuat sebuah sistem subsidi yang lebih jelas. Jadi subsidi tetap diperlukan untuk rakyat kecil dan tak boleh diselewengkan oleh orang-orang kaya. Atau jika bisa menggunakan BBM alternative yang tidak tergantung dari harga minyak dunia. Seperti sistem konversi dari minyak tanah menjadi LPG yang saat ini sudah bisa dirasakan manfaatnya oleh banyak rakyat kecil.

02 April 2008

Pajak oh Pajak

Awal Februari lalu, gw mendapatkan sekantong amplop cokelat yang berisi form SPT atau Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak. Duh, gw bingung setengah mati... Dulu bokap gw niy yang biasa ngisi-ngisi ginian... Gw mah mana ngerti, hehehe...

Akhirnya gw bilang aja ke bagian finance kantor dan kemudian gw dibantu untuk menguisinya. Karena kan yang tau itung-itungannya mereka... Dan ternyata kata mereka, gw ini udah punya NPWP atau Nomor Pokok Wajib Pajak Pribadi—karena udah dikirimin SPT.

Tanggal 31 Maret 2008 kemaren adalah batas penyerahan terakhir SPT di Kantor Pelayanan Pajak—bertempat di KPP Kebon Jeruk Jl. Arjuna selatan. Tadinya gw sih mau menyerahkan pas tanggal 31-nya. Tapi setelah gw buka www.pajak.go.id gw tau bahwa mereka buka juga di sabtu kemaren tanggal 29 Maret 2008. Daripada takut ngantri berat pas hari terakhir, gw bela-belain deh buat nyerahin SPT sabtu kemaren.

Persepsi gw bahwa birokrasi yang sulit akan terjadi di sana. Ngantri lama, kurang koordinasi dan diping-pong sana-sini. Gw sampai sekitar jam 10 pagi. Dari parkiran aja udah terlihat banyak orang... wah, kayaknya bakal ngantri berat niy. Dan ternyata bener aja... gak ada nomor antrian dan gw harus ngantri duduk di kursi. Jadi mesti geser-geser gitu deh menuju ke depan. Gw ngantri mulai dari bagian belakang. Ada kira-kira 35 orang yang ikutan ngantri. Geser demi geser... akhirnya gw sampe deh di bagian depan. Gw itung-itung ternyata yang memeriksa lebih dari 10 orang. Makanya antrian terasa cepat dan gak bertele-tele. Lebih cepet dari nyetor duit di BCA sepertinya!

Begitu berkas-berkas gw diperiksa gw bilang sama pemeriksanya bahwa ini baru kali pertama gw berurusan dengan pajak-pajakan kayak gini jadi tolong dibantu ya. Pemeriksanya berusia sekitar 27 tahunan dan sangat ramah. Dia menjelaskan prosedur penyerahan SPT yang gw tanyakan. Bahkan dia dengan santainya mohon maaf karena bekerja sambil makan roti. Belum sarapan tampaknya, kasihan... hehehe.

Setelah pemeriksaan beres, gw menyerahkan berkas di loket untuk kemudian menerima Tanda Terima penyerahan SPT. Belum juga gw membuka PSP gw buat menunggu antrian nama gw udah dipanggil. Gw ke loket dan menerima Tanda Terima-nya. Selesai deh... Semuanya sangat cepat dan memakan waktu gak sampe 20 menit!

Bayangan awal gw tentang kantor pajak dengan kenyataannya sangat berbeda. Tampaknya pemerintah sedang benar-benar melakukan pembenahan dalam instansi ini... Harus banget siy, mengingat pajak merupakan sumber pendapatan terbesar pemerintah. Sudah saatnya tak dipersulit dengan permasalahan ini...

Saatnya kita semua gak usah takut dengan yang namanya perpajakan. Dan untuk pemerintah juga harus lebih memperhatikan dengan tuntutan masyarakat... Jangan cuma menuntut kewajiban masyarakat untuk bayar pajaknya doang... Tapi juga mesti memperhatikan hak-hak masyarakat yang sudah taat bayar pajak. Jadi mestinya fasilitas umum dan sosial dan ada tuh yang terbengkalai lagi... karena itu merupakan hak dari masyarakat sebagai wajib pajak. Gak boleh lagi ada jalanan bolong dan rusak apalagi di jalan protokol... dan mestinya seorang Gubernur DKI gak boleh lagi nyalahin dan melempar tanggung jawab ke pemerintah pusat tentang masalah perbaikan ini. Harusnya malah koordinasi yang bener dong, bukan malah saling lempar tanggung jawab. Masak Jakarta mau dibiarkan kayak kubangan kerbau siy?

Masyarakat harus mengawasi penggunaan pajak untuk masyarakat itu sendiri... Awas ya kalo sampe ada penyelewengan! Kita sikat...!!!

17 March 2008

Balada Si Pasca Bayar


Gw gak abis pikir dengan perang tarif provider telko akhir-akhir ini... Mau apa siy mereka? Dimulai dengan XL yang bilang Rp 25/detik... gak lama kemudian turun menjadi Rp 10/detik... kemudian anjlok jadi Rp 1/detik... dan SIMPATI gak mau kalah ngeluarin promo Rp 0,5/detik (setelah satu menit tentunya)... XL kebakaran jenggot dan gak mau kalah dengan mengeluarkan iklan kawin dengan monyetnya Rp 0,1/detik... IM3 menggeber dengan Rp 0,001/detik... dan baru seminggu IM3 mengeluarkan program itu, XL membalas lagi dengan Rp 0,000...1 sampe puas atau Rp 600/pemakaian (pada jam tertentu). IM3 gak mau kalah lagi... ngeluarin Rp 0,00000000001 gak tau per detik ato sekali pemakaian. Belum lagi Mentari yang tereak-tereak dengan 1 menit gratis (10x pemakaian maksimal per hari).

Setelah Esia mempelopori telepon murah dan mengkomparasi langsung CDMA dengan GSM. Padahal secara sistem dan kemampuan juga beda. Mulailah perang tarif semua provider yang ada di Indonesia. Sialnya, semua kemudahan (baca: kemurahan) tersebut hanya didapat oleh kartu pra-bayar. Lalu gimana nasib pasca-bayar? Tak tentu nasibnya... Yang dulu katanya bahwa tarif pasca-bayar itu lebih murah dari pra-bayar kini hanya menjadi kenangan indah di masa lalu. Karena saat ini bukannya masanya untuk kartu pasca-bayar!

Padahal, pra-bayar lebih rawan untuk melakukan tindak penipuan. Walau DEPKOMINFO sudah mewajibkan registrasi sebelum pengaktifan kartu, namun tampaknya masih saja ada SMS berisi penipuan. Karena sesungguhnya provider tak pernah mengecek validitas data registrasi sebelum kartu diaktifkan.

Sedangkan pasca-bayar lebih jelas, siapa pemilik dan data-datanya. Telat bayar sedikit saja bisa ditelponin terus atau dikasih surat peringatan. Tak sedikit pelayanan yang tidak mengenakkan diterima oleh pengguna kartu pasca-bayar jika sedang melakukan komplain kepada customer service provider.

Sudah saatnya para provider melihat dengan lebih obyektif lagi. Para pengguna kartu pasca-bayar tentunya mempunya kesahihan data serta kemampuan finansial daripada pengguna kartu pra-bayar. Bisa dilihat dari rata-rata pembayaran minimal bulanan Rp 100.000 - Rp 200.000 per bulannya. Bandingkan dengan banyak pengguna pra-bayar yang cuma mengisi pulsa Rp 25.000 untuk satu bulan!

Pengguna pasca-bayar juga adalah konsumen yang loyal dan setia. Yang biasanya stay pada satu nomor selama bertahun-tahun, bahkan dari saat mulai menggunakan ponsel. Banyak dari pengguna pasca-bayar yang telah menggunakan nomornya lebih dari 10 tahun! Sebuah loyalitas konsumen yang luar biasa yang saat ini dibalas dengan perang tarif kartu pra-bayar. Seakan-akan para pengguna pasca-bayar lah yang "mensubsidi" kartu pra-bayar sehingga tarif mereka bisa menjadi lebih murah. Kurang ajarnya lagi para konsumen pra-bayar ini adalah konsumen kutu loncat yang sangat tidak setia. Bisa berganti nomor setiap bulan, berpindah ke provider yang promonya lebih menguntungkan.

Sampai kapan perang tarif ini akan terjadi? Mungkin sampai para pengguna pasca-bayar berhenti karena bangkrut dan pindah menjadi pra-bayar... Karena gw gak melihat tentang status sosial di sini. Memang pasca-bayar terlihat menjadi lebih hi-class... Tapi siapapun orangnya—kaya atau tidak—akan lebih senang mendapatkan tarif murah dalam bertelepon ketimbang tarif "normal" pasca-bayar saat ini...