27 April 2009

Kolom agama pada KTP. Masih perlukah?

Sering saya bertanya-tanya, apakah kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk masih diperlukan? Hal-hal inilah yang menjadi dasar pertanyaan saya tersebut:

- Pada masa lalu, di saat ada kerusuhan/pertikaian antar agama di Maluku, sering terjadi razia KTP di jalan oleh kelompok yang bertikai. Jika tercantum agama yang berbeda dengan kelompok tersebut, maka orang tersebut akan dibantai beramai-ramai.


- Jika seseorang mengalami kecelakaan di jalan, kolom golongan darahnya akan lebih bermanfaat ketimbang kolom agama karena dengan demikian dapat diketahui dengan cepat jika dibutuhkan pertolongan transfusi darah.


- Jika negara memang membebaskan rakyatnya dalam memeluk keyakinan (seperti tercantum dalam pasal 29 UUD  1945) maka harusnya boleh ditulis selain dengan 5 agama yang diajarkan di sekolah, misalkan Konfusianisme, Taoisme, Shinto, Sikh, Saintologi, Zoroastrianisme atau bahkan yang gampang sajalah... Kejawen. Tapi tampaknya hal itu tidak pernah terjadi.


- Untuk warga negara yang atheis atau agnostik juga akan membingungkan mengisi kolom tersebut. (walau memang tak sesuai dengan UUD 45 Pasal 29 ayat 1).


Hal-hal tersebut yang menyebabkan saya berfikir apakah sebaiknya kolom tersebut dihilangkan saja?

Saya pernah protes ketika mengisi sebuah formulir di bank yang mencantumkan kolom agama. Saya bilang kepada petugasnya, buat apa ini kolom agama? Emang ada hubungannya sama rekening seseorang?

Untunglah petugas tersebut memberikan saya jawaban yang memuaskan. Katanya... itu nanti untuk mengirimkan kartu ucapan kepada nasabah pada hari besar keagamaan yang bersangkutan. Make sense!


Lalu di KTP untuk apa? Toh pemda tak pernah mengirimkan kartu ucapan kepada warga yang merayakan hari besar keagamaannya...



*gambar diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/KTP

21 April 2009

Pemerintah dan Ponsel


Di suatu pagi ketika saya hendak berangkat ke kantor, jalanan sudah mulai ramai. Di depan saya tambak sebuah motor skutik yang jalan mengsal-mengsol, kenceng nggak pelan juga nggak. Padahal di depannya tidak tampak kendaraan lain. Karena tak sabar, saya kemudian berusaha mendahului motor tersebut dan saat itu saya melihat si pengendara motor sedang asyik membalas SMS sambil tetap berkendara.
***
Pada hari minggu pagi, ketika saya sedang berada di gereja dan misa baru saja dimulai. Kitab suci baru saja dibacakan dan tepat saat itu pula terdengar sayup-sayup lagu Kris Dayanti yang makin lama makin keras di belakang saya. Dengan penasaran saya menengok ke belakang dan tampaklah seorang ibu yang sedang panik merogoh tasnya. Ternyata lagu tersebut berasal dari panggilan ponselnya yang lupa disilent sebelum misa dimulai.
***
Di sebuah pasar swalayan, saya sedang melihat-lihat rak untuk mencari barang yang saya akan beli. Tiba-tiba... bruk!!! Seorang ibu menabrak saya dan membuat keranjang belanja yang saya pegang terjatuh. Ibu tersebut juga mengelus-ngelus kepalanya yang secara reflek terkena tangan saya. Tanpa bicara apa-apa dan malahan sambil merengut ibu tersebut berlalu dari hadapan saya sambil meneruskan ber-sms ria.
***
Saat itu kebetulan saya sedang naik transjakarta untuk berangkat ke kantor. Karena sudah lumayan siang maka semua penumpang kebagian tempat duduk. Tepat di depan saya ada seorang ibu yang tampak keletihan, tak tau dia dari mana, dan tampaknya sangat mengantuk. Tiba-tiba seorang bapak di samping ibu tersebut mendapat panggilan dari ponselnya. Tak mengerti apa yang dibicarakan, karena bicara dalam bahasa daerah, si bapak berbicara dengan volume yang kencang sekali sampai-sampai si ibu terkaget-kaget dan lepas dari rasa kantuknya. Hampir setiap orang yang ada di bus melihat ke arah si bapak tersebut, namun dengan cueknya si bapak melanjutkan bicaranya di ponsel... tetap dengan suara kerasnya.
***
Sepertinya masih banyak lagi kejadian yang kita alami sehari-hari yang berhubungan dengan ponsel dan kita merasa terganggu dengannya. Bisa di jalan, di masjid atau yang paling dekat di ruang mitinglah. Kejadian tersebut sering membuat saya bertanya-tanya dalam hati... Itu orang gak tau atau sengaja sih? 
Ponsel seharusnya menjadi wilayah privat seseorang yang harusnya pula tidak mengganggu wilayah publik. Kesadaran individu yang masih kurang sehingga terjadi benturan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum.
Tidak sedikit kejadian yang kemudian merugikan di penelpon. Risiko kecelakaan lalu lintas juga meningkat seiring dengan penggunaan ponsel di jalan raya. Mungkin karena hal tersebut akhirnya Pemda DKI mengeluarkan Perda tentang larangan menggunakan ponsel di jalan raya (ada yang tau Perda nomor berapa?). Namun tampaknya keseriusan aparat dalam menjalankan Perda tersebut masih sangat kurang. Saya adalah orang yang awam hukum, sehingga tau aparat mana yang berwenang untuk menindak ketika terjadi pelanggaran Perda tersebut. Apakah pihak kepolisian atau pihak pemda atau DLLAJR?
Mungkin pula Perda tersebut tidak jalan karena kurangnya sosialiasi ke masyarakat. Karena sampai saat ini saya masih menyaksikan pelanggaran Perda tersebut di mana-mana, bahkan oleh orang-orang terdekat saya.
Mungkin selain Perda perlu adanya kesadaran dari masing-masing individu tentang hal tersebut. Selain mengganggu orang lain, juga bisa berbahaya buat dirinya sendiri. Sesuatu yang baik (walau kadang sulit) memang harus dimulai. Minimal dari diri saya sendiri...

Pelanggaran Kolektif

Hidup di Jakarta mesti sabar. Walau pun sudah ada banyak peraturan yang dikeluarkan oleh pihak PEMDA, tapi ternyata masih banyak juga yang secara kolektif melanggarnya. Pelanggaran kolektif ini seakan biasa yang terjadi di mana-mana. Para pelanggar merasa berbagi "rasa berdosa" bersama terhadap para pelanggar lainnya. Dan jika suatu saat tertangkap oleh petugas, para pelanggar malahan menyalahkan petugas karena tidak menindak pelanggar yang lain.


Lihat saja para orang kaya berpendidikan yang sampai hari ini masih mengendarai mobilnya melalui lajur busway. Kemacetan selalu menjadi alasan. Padahal dengan melanggar peraturan tersebut bukan berarti juga menghilangkan kemacetan yang ada. Anehnya, lajur buway yang awalnya kosong bisa tiba-tiba menjadi ramai jika satu mobil saja masuk ke dalamnya... Spontan mobil-mobil lain ikutan melanggar dan masuk ke lajur busway. Dari yang tadinya pelanggaran personal menjadi pelanggaran kolektif.


Para pejalan kaki juga suka sembarangan menyeberang jalan. Tak peduli apakah zebra cross ada di sana. Padahal (terutama malam hari) hal itu sangatlah membahayakan pejalan kaki itu sendiri. Tak sedikit para penyebrang liar yang akhirnya tertabrak oleh mobil yang melintas. Beberapa tahun yang lalu saya menyaksikan sendiri seorang anak sekolah yang tergeletak penuh luka setelah tertabrak kencang oleh sebuah sedan saat dia sedang menyebrang secara liar.


Yang paling parah adalah sepeda motor. Produsen sepertinya kelupaan menaruh rem di produk yang dijualnya sehingga motor-motor itu melaju seenaknya seakan tak mempunyai rem. Salib sana salib sini tanpa memperdulikan pengguna jalan lain. Di beberapa daerah malahan sering tampak sepeda motor tak berlampu yang mengebut di malam hari. Dan yang sunggu ajaib adalah... beberapa hari yang lalu saya dan teman-teman sedang menunggu taksi di trotoar jalan depan kantor. Tiba-tiba dari arah kanan saya dikagetkan oleh sepeda motor yang melaju begitu saja... kocaknya sepeda motor lain di belakangnya mengikuti dengan membunyikan klanson.. tin tiiiinnn... sepertinya itu memang jalur kendaraan bermotor. Sepertinya di Jakarta berjalan di trotoar bukan lagi menjadi hal yang aman...


Gambar diambil dari http://media.vivanews.com/images/2008/10/10/55406_macet_jakarta.jpg

16 April 2009

Menegaskan kembali arti Pancasila

Menanggapi maraknya tulisan tentang Khilafah Islamiyah membuat saya tergelitik untuk mempelajari lebih lanjut tentang hubungan antara agama dengan kekuasaan (negara). Mempelajari sejarah adalah salah satu metode untuk mengetahui sejauh mana praktek hubungan antara agama dengan kekuasaan yang pernah terjadi di muka bumi ini.

Fakta berbicara bahwa agama akan kehilangan fungsi prophetis atau kenabiannya setelah ”berselingkuh” dengan kekuasaan. Agama yang berada dalam subordinasi kekuasaan akan menjadi “alat legitimasi” dari kekuatan politik yang berkuasa. Sedangkan agama seringkali meminjam tangan kekuasaan untuk memaksakan kebenaran teologisnya.

Ketika Kaisar Konstantin mendeklarasikan bahwa Kristen menjadi agama negara, maka saat itu pula Kristen naik kelas dari agama rakyat menjadi agama negara dengan segala atribut kebanggaannya. Pada saat itulah sejarah membuktikan bahwa terjadi penindasan demi penindasan yang dilakukan oleh Kristen yang satu terhadap Kristen lain yang dianggap berseberangan aliran dengan dinyatakan sebagai sesat. Bahkan banyak terjadi pula penindasan secara fisik terutama di Gereja-Gereja Timur. Pada saat itulah tentara Arab Muslim menjadi pembebas bagi gereja-gereja yang tertindas.

Sayangnya kemudian sejarah terulang, ketika akhirnya Islam menjadi status quo yang mendukung dinasti Ummayah, seperti pada pemerintahan Kalifah Umar bin Abd al-Aziz yang terkenal adil di kalangan rakyat jelata, tetapi dalam masalah agama sangat diskriminatif terhadap orang-orang Yahudi dan Kristen saat itu.

Kemudian muncullah ide pemisahan agama dengan negara yang sering dicap dengan sebutan ”sekuler”. Penerapan ”sekuler” dunia barat ini menjadi ekstrem dengna benar-benar mensterilkan penyelenggaraan negara dari moral dan nilai-nilai agama. Pada awalnya, istilah sekularisasi ditujukan untuk ”menghantam” kekuasaan yang mendewakan raja dan negara. Dalam kekuasaan absolut tersebut, agama dijadikan justifikasi untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan. Raja sudah menjadi tuhan-tuhan kecil begitu juga Paus mempunyai kekuasaan seperti raja.

Mengingat dua hal tersebutlah kemudian para Bapak Bangsa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia. Dalam hal ini, Pancasila dimaksudkan untuk menghindari ”sekularisme” dan juga negara agama. Dalam hal ini sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa diartikan oleh Th. Van Leewen sebagai ”hubungan antara negara dan agama dapat dipertahankan tanpa harus memproklamasikan sebuah negara Islam.”

Melalui Pancasila pula Indonesia dapat keluar dari blok kapitalis dan komunis yang saat itu pernah dirasakan sebagai ”raksasa” yang menggencet negara-negara berkembang. Kita juga dapat melihat dari sejarah bahwa isu agama bisa memecah-belah. Lihatlah perpecahan Belanda dengan Belgia yang terjadi karena faktor perbedaan agama. Pakistan juga telah memisahkan diri dari India karena alasan yang sama.

Sejarah membuktikan bahwa tidak ada kejahatan yang melebihi kejahatan yang digerakkan oleh sentimen keagamaan. Sebut saja perang salib, inkuisisi Gereja Katolik di Spanyol pada abad ke-15 M, dan yang terakhir adalah gerakan terorisme yang digerakkan oleh paham fundamentalis Islam yang masih marak beberapa tahun belakangan ini.

Kembali ke Indonesia, bahwa saatnya kita menegaskan kembali arah kebangsaan kita melalui Pancasila yang secara ideologi jelas ”bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler”. Hal ini dapat dilihat dengan kenyaataan bahwa walaupun jumlah Islam di Indonesia adalah mayoritas namun tidak mencantumkan Islam sebagai ”agama negara” sekaligus memberlakukan syariat-syariatnya sebagai undang-undang kenegaraan.

Sebaliknya yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah ”bukan negara sekuler” adalah dengan dibentuknya Departemen Agama yang tujuannya adalah untuk memayungi semua agama yang ada di Indonesia. Dengan lembaga ini, negara bukanlah tidak memberikan tempat sama sekali kepada agama namun pada batas-batas tertentu memberikan fasilitas dan jaminan kepada warga negaranya untuk melaksanakan keyakinan agamanya masing-masing.

Perlu ditekankan bahwa Negara Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan penegakan syariah, asalkan ditempatkan pada konteks ”wilayah privat” warga negara karena Indonesia ”bukan negara sekuler”. Sebaliknya karena Indonesia ”bukan negara agama” maka kanonisasi syariah atau pemberlakuan syariah sebagai hukum positif (undang-undang) oleh tangan kekuasaan negara haruslah dihindari.

Semoga kita semua makin menghargai hubungan antara agama dengan negara secara tepat tanpa memikirkan kepentingan pribadi atau golongan belaka.

14 April 2009

Kenapa saya memilih Golkar?

Banyak teman-teman yang mempertanyakan kebenaran hal tersebut. Dan dengan yakin saya menjawab, Ya benar! Kenapa memangnya? Dalam demokrasi sah-sah saja kan mempunyai political view-nya masing-masing... Walau pun 14 tahun yang lalu saya memang tercatat sebagai anggota DPC Golkar Jakarta Barat, namun saat ini saya sama sekali tidak aktif dalam parpol apapun...

Ada beberapa hal yang menyebabkan saya memilih Golkar

1. Saya HANYA akan memilih parpol yang berasaskan Pancasila dalam AD/ART-nya. Bisa apa saja... Golkar, Demokrat, PDIP bahkan Gerindra atau Hanura. Buat saya, bukan sebuah pilihan tepat untuk menggabungkan antara agama (ruang pribadi) dengan politik (ruang publik) di saat Indonesia adalah negara yang plural.

2. Saya HANYA akan memilih parpol yang tidak mengkultuskan individu. Kaderisasi dalam Golkar sudah jalan dan tidak bergantung kepada ketenaran-ketenaran semu individu di dalamnya. Siapa pun bisa keluar dari Golkar kapan saja, dan Golkar tak akan mati karena itu. Sebut saja, nama Edi Sudrajat yang keluar dari Golkar saat kalah dalam pemilihan Ketua Umum melawan Akbar Tandjung, yang kemudian mendirikan PKP (sekarang PKPI).

3.
Saya HANYA akan memilih parpol yang berjiwa besar. Golkar pernah berbuat kesalahan di masa lampau. Akbar Tandjung pernah menyatakan itu di depan umum dan meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas kesalahan-kesalahan tersebut. Dalam pandangan saya, Golkar sudah jauh berubah ketimbang masa Orde Baru. Dan dalam hal tersebut, Golkar sudah menunjukkan jiwa yang besar serta berusaha memperbaiki Indonesia.

4. Saya HANYA akan memilih parpol yang secara kualitas dan pengalaman mampu menjadi penyeimbang kekuasaan eksekutif. Buat saya, SBY masih pas untuk melanjutkan pemerintahan 5 tahun ke depan. Dalam hal ini, Golkar menjadi penyeimbang kekuasaan legislatif terhadap eksekutif. Sangat disayangkan jika eksekutif dan legislatif dipegang oleh partai yang sama. Jangan sampai ada Golkar Orde Baru jilid 2. Eksekutif dia, legislatif dia juga. Kecenderungan kong kalikong akan semakin tinggi.

5. Saya HANYA akan memilih parpol yang saya kenal track record politik dan sikap nasionalis para tokohnya. Dalam hal ini saya melihat ada beberapa nama yang saya kagumi (ini sangat subyektif) antara lain Sri Sultan Hamengkubuwono X, Muladi SH dan Sarwono Kusumaatmadja (yang ini saya ragu apakah masih aktif di Golkar).

Dengan demikian, saya masih yakin seyakin-yakinnya untuk memilih Golkar dalam pemilu legislatif kemarin. Tapi untuk pemilihan presiden nanti, saya masih yakin bahwa SBY lah yang terbaik dari yang ada saat ini...

Rujukan http://incoharper.multiply.com/journal/item/135/Partai_Golkar_Dari_Mana_Mau_Kemana