Menanggapi maraknya tulisan tentang Khilafah Islamiyah membuat saya tergelitik untuk mempelajari lebih lanjut tentang hubungan antara agama dengan kekuasaan (negara). Mempelajari sejarah adalah salah satu metode untuk mengetahui sejauh mana praktek hubungan antara agama dengan kekuasaan yang pernah terjadi di muka bumi ini.
Fakta berbicara bahwa agama akan kehilangan fungsi prophetis atau kenabiannya setelah ”berselingkuh” dengan kekuasaan. Agama yang berada dalam subordinasi kekuasaan akan menjadi “alat legitimasi” dari kekuatan politik yang berkuasa. Sedangkan agama seringkali meminjam tangan kekuasaan untuk memaksakan kebenaran teologisnya.
Ketika Kaisar Konstantin mendeklarasikan bahwa Kristen menjadi agama negara, maka saat itu pula Kristen naik kelas dari agama rakyat menjadi agama negara dengan segala atribut kebanggaannya. Pada saat itulah sejarah membuktikan bahwa terjadi penindasan demi penindasan yang dilakukan oleh Kristen yang satu terhadap Kristen lain yang dianggap berseberangan aliran dengan dinyatakan sebagai sesat. Bahkan banyak terjadi pula penindasan secara fisik terutama di Gereja-Gereja Timur. Pada saat itulah tentara Arab Muslim menjadi pembebas bagi gereja-gereja yang tertindas.
Sayangnya kemudian sejarah terulang, ketika akhirnya Islam menjadi status quo yang mendukung dinasti Ummayah, seperti pada pemerintahan Kalifah Umar bin Abd al-Aziz yang terkenal adil di kalangan rakyat jelata, tetapi dalam masalah agama sangat diskriminatif terhadap orang-orang Yahudi dan Kristen saat itu.
Kemudian muncullah ide pemisahan agama dengan negara yang sering dicap dengan sebutan ”sekuler”. Penerapan ”sekuler” dunia barat ini menjadi ekstrem dengna benar-benar mensterilkan penyelenggaraan negara dari moral dan nilai-nilai agama. Pada awalnya, istilah sekularisasi ditujukan untuk ”menghantam” kekuasaan yang mendewakan raja dan negara. Dalam kekuasaan absolut tersebut, agama dijadikan justifikasi untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan. Raja sudah menjadi tuhan-tuhan kecil begitu juga Paus mempunyai kekuasaan seperti raja.
Mengingat dua hal tersebutlah kemudian para Bapak Bangsa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia. Dalam hal ini, Pancasila dimaksudkan untuk menghindari ”sekularisme” dan juga negara agama. Dalam hal ini sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa diartikan oleh Th. Van Leewen sebagai ”hubungan antara negara dan agama dapat dipertahankan tanpa harus memproklamasikan sebuah negara Islam.”
Melalui Pancasila pula Indonesia dapat keluar dari blok kapitalis dan komunis yang saat itu pernah dirasakan sebagai ”raksasa” yang menggencet negara-negara berkembang. Kita juga dapat melihat dari sejarah bahwa isu agama bisa memecah-belah. Lihatlah perpecahan Belanda dengan Belgia yang terjadi karena faktor perbedaan agama. Pakistan juga telah memisahkan diri dari India karena alasan yang sama.
Sejarah membuktikan bahwa tidak ada kejahatan yang melebihi kejahatan yang digerakkan oleh sentimen keagamaan. Sebut saja perang salib, inkuisisi Gereja Katolik di Spanyol pada abad ke-15 M, dan yang terakhir adalah gerakan terorisme yang digerakkan oleh paham fundamentalis Islam yang masih marak beberapa tahun belakangan ini.
Kembali ke Indonesia, bahwa saatnya kita menegaskan kembali arah kebangsaan kita melalui Pancasila yang secara ideologi jelas ”bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler”. Hal ini dapat dilihat dengan kenyaataan bahwa walaupun jumlah Islam di Indonesia adalah mayoritas namun tidak mencantumkan Islam sebagai ”agama negara” sekaligus memberlakukan syariat-syariatnya sebagai undang-undang kenegaraan.
Sebaliknya yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah ”bukan negara sekuler” adalah dengan dibentuknya Departemen Agama yang tujuannya adalah untuk memayungi semua agama yang ada di Indonesia. Dengan lembaga ini, negara bukanlah tidak memberikan tempat sama sekali kepada agama namun pada batas-batas tertentu memberikan fasilitas dan jaminan kepada warga negaranya untuk melaksanakan keyakinan agamanya masing-masing.
Perlu ditekankan bahwa Negara Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan penegakan syariah, asalkan ditempatkan pada konteks ”wilayah privat” warga negara karena Indonesia ”bukan negara sekuler”. Sebaliknya karena Indonesia ”bukan negara agama” maka kanonisasi syariah atau pemberlakuan syariah sebagai hukum positif (undang-undang) oleh tangan kekuasaan negara haruslah dihindari.
Semoga kita semua makin menghargai hubungan antara agama dengan negara secara tepat tanpa memikirkan kepentingan pribadi atau golongan belaka.
1 comment:
Anda tidak pernah membuka buku sejarah..
jangan puas dengan yang anda dapat saat ini...jangan langsung ambil keputusan...
Kebenaran itu milik Allah...
Salaam..
Post a Comment