24 December 2010

MEDIA MASSA DAN ANAK-ANAK DI INDONESIA “Penggunaan Model Anak-Anak pada Iklan Televisi di Indonesia”

Periklanan: Sebuah Elemen Komunikasi dalam Proses Branding.
            Periklanan saat ini sedang mendapat sorotan tajam semenjak aspek informasi menjadi wacana penting dalam bisnis, terutama dalam proses membangun merek atau branding. Kegiatan periklanan yang efektif dipandang mampu mempengaruhi kecenderungan mengkonsumsi dalam masyarakat. Tindakan mengkonsumsi secara berulang (repeat buying) adalah salah satu tujuan dalam pemasaran. Periklanan yang efektif juga akan mengubah pengetahuan publik mengenai ketersediaan dan karakteristik sebuah produk (product knowledge). Seharusnya elastisitas permintaan produk akan sangat dipengaruhi aktivitas periklanan.
            Dalam setiap iklan, selalu ditentukan terlebih dahulu target audience-nya. Menurut McQuail, yang dimaksud dengan massa merupakan kolektivitas tanpa bentuk (McQuail, 2005:57), yang di dalamnya termasuk khalayak televisi dan radio. Namun untuk sebuah iklan, massa tersebut harus dikelompokkan lagi menjadi segmentasi sebelum dijadikan targeting. Rhenald Kasali mengatakan bahwa segmentasi adalah suatu strategi untuk memahami struktur pasar dan targeting adalah persoalan bagaimana memilih, menyeleksi dan menjangkau pasar (Kasali 1998:48). Dalam hal komunikasi, maka yang dimaksud pasar adalah audience ataulah khalayak. Maka yang disebut dengan target audience adalah sasaran khalayak tertentu yang ingin dijangkau oleh pengiklan dengan cara tertentu dalam suatu kampanye iklan (Santosa, 2002:105).
           
Periklanan: Kapitalisme Duri Lunak
            "Pemirsa, jangan ke mana-mana, kami akan kembali setelah pesan­pesan berikut". Pesan tersebut tidak asing lagi bagi para pemirsa televisi. Tak lama kemudian lewat televisi tampil lagi satu atau beberapa tayangan iklan suatu produk. Secara sengaja maupun tidak disengaja, kita setiap saat dibanjiri iklan lewat media televisi, radio, surat kabar, majalah, ataupun media-media lainnya; dan tampaknya, iklan telah menjadi bagian dalam kehidupan kita, bukan saja monopoli kaum urban tapi juga telah mencapai pelosok pedesaan.
Kata iklan (advertising) berasal dari bahasa Yunani, yang artinya kurang lebih adalah 'menggiring orang pada gagasan'. Adapun pe­ngertian iklan secara komprehensif adalah "semua bentuk aktivitas untuk menghadirkan dan mempromosikan ide, barang, atau jasa secara nonpersonal yang dibayar oleh sponsor tertentu..." Secara umum, iklan berwujud penyajian informasi nonpersonal tentang suatu produk, merek, perusahaan, atau toko yang dijalankan de­ngan kompensasi biaya tertentu. Dengan demikian, iklan merupa­kan suatu proses komunikasi yang bertujuan untuk membujuk atau menggiring orang untuk mengambil tindakan yang mengun­tungkan bagi pihak pembuat iklan.
Periklanan dipandang sebagai media yang paling lazim diguna­kan suatu perusahaan (khususnya produk konsumsi/consumer goods) untuk meng­arahkan komunikasi yang persuasif pada konsumen. Iklan dituju­kan untuk mempengaruhi perasaan, pengetahuan, makna, keper­cayaan, sikap, dan citra konsumen yang berkaitan dengan suatu produk atau merek. Tujuan ini bermuara pada upaya mempenga­ruhi perilaku konsumen dalam membeli. Meskipun tidak secara langsung berdampak pada pembelian, iklan menjadi sarana untuk membantu pemasaran yang efektif dalam menjalin komunikasi antara perusahaan dan konsumen, dan sebagai upaya perusahaan dalam menghadapi pesaing. Kemampuan ini muncul karena ada­nya suatu produk yang dihasilkan suatu perusahaan. Bagaimana­pun bagusnya suatu produk, jika dirahasiakan dari konsumen maka tidak ada gunanya. Konsumen yang tidak mengetahui keberadaan suatu produk tidak akan menghargai produk tersebut sehingga tidak akan membelinya.
Menurut Frank Jefkins kehidupan dunia modern saat ini sa­ngat bergantung pada iklan (Advertising, 1997:2). Tanpa iklan, para produsen dan distri­butor tidak akan dapat menjual barangnya. Sedangkan di sisi lain, para pembeli tidak akan mempunyai cukup informasi mengenai produk-produk barang dan jasa yang tersedia di pasaran.

Iklan Televisi: Dunia Khayal dalam Layar Kaca
            Semenjak televisi dipasarkan pertama kalinya pada tahun 1930, dunia larut ke dalam sebuah realitas yang terkungkung di dalam sebuah layar kaca. Kata "televisi" merupakan gabungan dari kata tele λε, "jauh") dari bahasa Yunani dan visio ("penglihatan") dari bahasa Latin. Sehingga televisi dapat diartikan sebagai telekomunikasi yang dapat dilihat dari jarak jauh. Walaupun iklan telah ada di media cetak lebih dari 100 tahun lalu, televisi baru mulai digunakan sebagai media penayangan iklan pertama kali pada tahun 1941. Tahun itu menjadi tahun pertama mengudaranya siaran televisi komersial. Perusahaan Bulova Watch Company menjadi perusahaan yang pertama kali iklannya ditayangkan di televisi dan membayar sekitar sembilan dolar.
            Keunggulan televisi sebagai media massa berbasis audio visual membuat perkembangan teknologi periklanan semakin meningkat. Selama beberapa dekade, televisi menjadi media massa yang hebat dengan jangkauan yang luas. Televisi yang awalnya hanya ada di rumah-rumah, kini juga telah tersedia di berbagai tempat umum. Hal ini membuat orang rata-rata menonton televisi selama empat jam sehari (Roman, 2003:105).
            Dalam kajian semiotika komunikasi, iklan televisi dapat dikaji melalui sistem tanda dalam iklan. Iklan televisi menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik yang verbal maupun yang berupa ikon (Sobur, 2004:116). Iklan televisi mempunyai 3 jenis pesan yaitu: (1) pesan linguistik (semua kata dan kalimat dalam iklan); (2) pesan ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam gambar iklan—yang hanya berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat), dan (3) pesan ikonik yang terkodekan (denotasi dalam gambar iklan) (Cobley & Jansz, 1999:47-48)
            Walau pada awalnya iklan televisi lebih banyak bersifat testomonial, maka seiring dengan berkembangnya teknologi dan kreativitas, iklan televisi telah berubah bentuk menjadi sebuah film dengan durasi yang sangat pendek (30 atau 60 detik). Dramatisasi pada iklan televisi bertujuan tidak hanya untuk membuat khalayak membeli produk yang diiklankan, melainkan juga menghibur dan mepermainkan sisi emosional dari khalayak. Yang kemudian terjadi adalah iklan televisi telah menjadi lebih dari sekedar informasi produk, melainkan berubah menjadi dunia khayal tersendiri dalam layar kaca. Dengan durasinya yang singkat, iklan televisi diharusnya mampu menarik perhatian khalayaknya secara cepat pula melalui kelebihan audio visualnya.
            Dalam waktu yang cepat, iklan televisi dengan berbagai macam kelebihannya menjadi primadona para pemasar untuk memasarkan produk-produknya melalui iklan televisi. Di Indonesia yang mempunyai penduduk 240 juta orang, kebanyakan setiap rumah tangga telah memiliki satu pesawat televisi. Iklan televisi yang beredar dalam setahun lebih dari 1000 iklan dan memakan biaya penayangan Rp 38 triliun. Selain dianggap mahal, iklan televisi juga dianggap sebagai penyebab ketidakteraturan (clutter) dalam persaingan. Para konsumen menganggap bahwa televisi merupakan media yang paling kacau (clutter) dari semua media iklan (Shimp, 2000:530).

Penggunaan Model Anak-Anak pada Periklanan
            Tak jarang dalam mencapai tujuan-tujuannya, periklanan juga menggunakan opinion leader sebagai model iklan yang merupakan salah satu bentuk kreativitasnya. Di Indonesia, opinion leader ini sering dikategorikan sebagai selebriti ataupun politisi. Pada bagian penjelasan Etika Pariwara Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan model ialah seseorang yang memainkan peran atau mencerminkan suatu peran dalam iklan. Peran ini dapat berupa gambar, foto, suara, tandatangan, maupun atribut lainnya yang dikenal publik, ataupun gabungan dari antaranya (EPI, 2005:52).
            Mungkin para pengiklan dan pembuat iklan, berusaha keluar dari clutter-nya televisi dengan menggunakan berbagai cara dan kreativitas. Salah satunya dengan menggunakan model anak-anak. Penggunaan model anak-anak ini tidak hanya terjadi di produk-produk untuk anak-anak, namun juga untuk produk-produk dewasa.
            Untuk produk anak-anak, iklan televisi yang paling sering menggunakan model anak-anak adalah jenis produk susu formula dan makanan ringan (snack). Jenis produk ini memang sangatlah potensial dan efektif jika menggunakan model anak-anak. Selain anak-anak sebagai khalayak akan tertarik, orangtua juga seringkali merasa gemas dengan akting dan gaya dari model anak-anak ini yang dalam kajian semiotika dapat ditangkap melalui pesan-pesan ikonik gambar-gambar iklan televisi. Namun di luar iklan yang memang berhubungan dengan anak-anak sebagai target market-nya, penulis mengamati, XL sebagai provider telekomunikasi juga telah membuat iklan tevisi dengan model anak-anak Baim pada beberapa seri iklan televisinya. Tercatat tak kurang dari 5 iklan televisi XL yang diperankan oleh Baim.
            Secara target market, kita dapat melihat bahwa XL tidak ditargetkan untuk anak-anak dan memang bukan produk untuk anak-anak, apalagi yang seusia dengan Baim. Sebuah buku yang berjudul Brand Child menyebutkan bahwa, walau sebuah merek tidak ditargetkan untuk anak-anak, namun menurut penelitian yang dilakukan bahwa anak-anak tertarik dengan merek yang ditujukan untuk orang dewasa (Lindstrom, 2000:62). Sekitar 70% anak laki-laki tertarik dengan merek-merek mobil dan sekitar 77% anak perempuan tertarik dengan merek-merek fashion. Walaupun anak-anak belum mempunyai kemampuan membeli (masih mendapatkan uang dari orangtua mereka), namun anak-anak bisa menggunakan rengekan (pester power) mereka untuk mendapatkan keinginan mereka. Ada kemungkinan XL melihat perlunya me-maintain anak-anak sebagai prospek target market mereka nantinya setelah dewasa.
            Dengan semakin banyak dan semakin mudanya usia anak-anak yang menggunakan telepon selular, mungkin pula XL telah menjadikan anak-anak sebagai target market mereka. XL juga melihat bahwa anak-anak mempunyai keterikatan dengan televisi karena menurut penelitian bahwa anak-anak tiga kali lebih mungkin mengingat merek yang mereka lihat di televisi (Lindstrom, 2000:69). Anak-anak terikat dengan televisi dengan cara seperti ini:
Þ    Televisi adalah bagian terpenting dalam hidup mereka—tolak ukur yang dipakai untuk menilai media lain. 85% dari anak-anak sangat suka menonton televisi;
Þ    Anak secara aktif memperhatikan apa yang mereka lihat di televisi dan menyerap lebih banyak detil dibanding orang dewasa—bahkan dari iklan yang tidak ditujukan untuk mereka;
Þ    Anak-anak memang menyukai iklan. Mereka dua kali lebih mungkin menyatakan menikmati dibanding orang dewasa;
Þ    Kehidupan mereka lebih tidak berantakan dibandingkan orang dewasa. Belanja dan memilih merek adalah pengalaman yang menyenangkan, bukan tugas.
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa televisi mempunyai keunggulan secara audio visual. Terlebih untuk anak-anak televisi memiliki keunggulan lainnya seperti:
Þ    Televisi mengirimkan pesan dengan cara mengkombinasikan elemenvisual yang sangat penting bagi dunia anak, dengan suara dan musik yang menyenangkan;
Þ    Televisi adalah pengalaman berbagi yang menyenangkan. Anak-anak bisa duduk bersama teman mereka dan mengomentari pertunjukkan;
Þ    Sebagai media penyiaran, televisi relatif mempermudah meraih anak-anak dan orangtua dengan saluran komunikasi yang sama.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat betapa kehebatan televisi menyampaikan pesan guna mencapai tujuan-tujuan para pemasar. Walau tidak ditujukan untuk anak-anak, XL sebagai provider telekomunikasi mulai membangun keterikatan dengan anak-anak sebagai generasi mendatang.
            Penggunaan Baim dalam iklan televisi XL tentu tidak hanya menarik perhatian dari orang dewasa (sebagai target market dari XL) melainkan juga menarik perhatian dari anak-anak. Dalam iklan televisi XL versi Tebak-tebakan malah bukan hanya Baim yang menjadi model anak-anak, melainkan semua modelnya adalah anak-anak (jumlahnya ada 8 orang termasuk Baim). Dari ceritanya juga berkisah tentang tebak-tebakan yang biasanya memang merupakan permainan dari anak-anak.
            Baim sebagai model anak-anak, pada setiap versi iklan televisi XL seorang yang meng-endorse penggunaan XL seakan-akan ia adalah seorang dewasa yang mengerti isi dari pesan yang ia endorse.

Masalah Etika dalam Periklanan
            Peran iklan dalam masyarakat telah diperdebatkan selama bertahun-tahun. Iklan dianggap para pembuatnya amat bertanggung jawab terhadap segala kejadian baik di dalam hidup dan dikritik lawan mereka sebagai penyebab sebagian besar hal yang buruk. Menurut Sumantri, iklan dapat dilihat menurut 3 perspektif atau sudut pandang yaitu: pembuat iklan, ahli mitos dan khalayak/pemirsa (Sumantri, 2001: 185-187).
            Dari perspektif khalayak (dewasa), iklan seringkali dianggap tidak jujur dan menipu. Penipuan dianggap terjadi ketika sebuah iklan salah merepresentasikan sebuah produk, dan konsumen mempercayainya sebagai representasi yang benar. Khalayak sasaran dengan segala keterbatasan pengetahuannya menangkap apa yang direpresentasikan dalam iklan sebagai sebuah realitas. Apalagi jika hal tersebut dilihat oleh khalayak non-sasaran yang mungkin akan mempunyai persepsi yang lebih berbeda.
            Iklan juga sering dituduh bersifat manipulatif. Kritik ini ditunjukkan karena iklan mempunyai kekuatan mempengaruhi orang untuk berperilaku tidak umum, atau melakukan sesuatu yang tidak akan mereka lakukan jika tidak ditunjukkan oleh iklan. Kata bawah sadar (subliminal) mengacu pada rangsangan di tingkat bawah ambang kesadaran (awareness). Perspektif khalayak menganggap bahwa metode-metode subliminal inilah yang dipakai para pembuat iklan dalam membuat iklan mereka (Shimp, 2000:484). Selain dua hal di atas, masih ada lagi beberapa tuduhan masyarakat (sebagai khalayak iklan) yang negatif terhadap iklan.
            Karena banyak sekali hal-hal yang dituduhkan massa terhadap etika dalam periklanan, maka para pelaku industri periklanan membuat sebuah aturan-aturan dan kode etik tertentu yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan etika di industri periklanan. Di Indonesia pada tanggal 17 September 1981, diikrarkan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI), sebuah kitab yang berisi aturan main tentang etika dalam industri periklanan di Indonesia. Seiring dengan berkembangnya waktu, terjadi banyak perubahan yang membuat TKTCPI ini menjadi kurang sesuai dan relevan lagi dipakai dalam kegiatan industri. Maka pada tahun 2002, diperkenalkanlah Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang kemudian direvisi beberapa kali sehingga menghasilkan format final pada taggal 1 Juli 2005. Disebutkan bahwa EPI masih mungkin terjadi perubahan atau revisi yang diakibatkan oleh berubahnya teknologi dan industri periklanan.
            Sayangnya, EPI yang dimaksudkan oleh Dewan Periklanan Indonesia sebagai aturan main industri periklanan malah sering kali dilanggar oleh anggota PPPI. Dalam kasus iklan televisi XL dapat dilihat pelanggaran dilakukan berulang kali dalam beberapa iklan televisi. Ada beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh XL dalam Tata Krama EPI. Pelanggaran tersebut adalah sebagai berikut:
3. Pemeran Iklan
            3.1 Anak-anak
                        3.1.1 Anak-anak tidak boleh digunakan untuk                              mengiklankan produk yang tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak, tanpa didampingi orang dewasa.
                        3.1.3 Iklan tidak boleh menampilkan anak-anak sebagai                                 penganjur bagi penggunaan suatu produk yang bukan untuk anak-anak.
Selain menyalahi EPI, ternyata iklan XL tersebut juga menyalahi UU RI NO. 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN Pasal 46 ayat 4.e. yang berbunyi: “Siaran iklan niaga dilarang melakukan: eksploitasi anak dibawah usia 18 tahun.” Walau masih dapat dipertentangkan, arti dari kata “eksploitasi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: (2) pemanfaatan untuk keuntungan sendiri; pengisapan; pemerasan (tt tenaga orang): -- atas diri orang lain merupakan tindakan yg tidak terpuji.
            Tampaknya iklan televisi XL tidak hanya melanggar sekali namun berkali-kali dan sistematis karena bisa dikatakan iklan tersebut dalam satu kesatuan payung thematic campaign. Namun kejadian tersebut seperti dianggap lalu, bukan hanya oleh masyarakat yang mungkin belum tau tentang EPI, namun juga oleh pihak-pihak yang berkepentingan di dalam industri periklanan itu sendiri seperti PPPI dan DPI.
            Penulis merasa prihatin dengan kondisi tersebut karena jika tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelanggar EPI (bahkan UU Penyiaran), bukan tak mungkin akan terjadi kasus yang serupa di masa mendatang. Bahwa kita semua harus menjalankan aturan main dan beretika dalam menjalankan bisnis apapun. Apalagi mengingat sebuah iklan ditayangkan pada media massa yang dilihat oleh masyarakat luas. Jika hal ini diteruskan, tampaknya periklanan harus siap untuk menerima kritik-kritik lebih tajam lagi di masa mendatang. Alih-alih membuktikan bahwa kritik sebelumnya tidaklah benar, malah akan membuat orang semakin anti dan menolak iklan.
            Peraturan dan etika yang dibuat dalam EPI tentu tidaklah dibuat tanpa ada alasan dan tujuannya. Maka dari itu, saya menghimbau kepada semua praktisi periklanan agar kembali kepada peraturan dan etika dalam setiap pekerjaannya. Kreativitas bukanlah alasan untuk melanggar peraturan dan etika tersebut. Kreativitas harusnya bisa lahir dan tercipta dalam segala bentuk peraturan yang beretika, karena itulah kreativitas yang sesungguhnya.

*****





DAFTAR PUSTAKA


Buku:

Cobley, Paul dan Litza Jansz. Introducing Semiotics, New York: Icon Books – Totem Books, 1999
Jefkins, Frank. Advertising, Edisi Ketiga, London: Pitman Publishing, 1994
Kasali, Rhenald. Membidik Pasar Indonesia: Segmentasi, Targeting, Positioning, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998
Lindstrom, Martin., dan Patricia B. Seybold. BrandChild, London: Kogan Page Limited, 2000
McQuail, Denis. McQuail’s Mass Communication Theory, London; SAGE Publications Ltd, 2005
Roman, Kenneth., et.al. How To Advertise, New York: St. Martin's Press, 2005
Santosa, Sigit. Advertising Guide Book, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001
Shimp, Terence A. Periklanan Promosi, Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu, Jakarta: Erlangga, 2003
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004
Sumantri-Zaimar, Okke Kusuma. Ideologi dalam Pariwara, Yogyakarta: Yayasan bentang Budaya, 2001
Sutherland, Maz., dan Alice K. Sylvester. Advertising and The Mind of the Consumer, London: Kogan Page Limited, 2000
Sutojo, Siswanto., dan Friz Kleinsteuber, Strategi Manajemen Pemasaran, Edisi Pertama, Jakarta: Damar Mulia Pustaka, 2002
Trisnanto, Adhy. Cerdas Beriklan, Yogyakarta: Galangpress, 2007

Wibowo, Wahyu. Sihir Iklan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001

Widyatama, Rendra. Bias Gender Dalam Iklan Televisi, Yogyakarta: Media Pressindo, 2006



Peraturan:

Dewan Pers Indonesia. ETIKA PERIKLANAN INDONESIA: Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, Jakarta: 2005


Internet:




01 December 2010

Sudah siapkah kita berdemokrasi?

Mengamati kasus demokrasi versi monarki yang digulirkan oleh SBY sangatlah menarik. Kasus yang bermula dari ucapan SBY yang mengatakan bahwa dalam negara demokrasi tak seharusnya ada sistem monarki pada Jumat 26 Nopember 2010 yang lalu kian bergulir menjadi isu-isu hangat bahkan sampai kepada isu referendum Yogyakarta. Namun saya tak ingin ikut terbawa pada hal tersebut. Saya malah lebih tertarik mengamati bagaimana sebenarnya sistem monarki yang ada di Indonesia mulai dari jaman kerajaan, jaman penjajahan sampai kepada jaman kemerdekaan.


Menurut wikipedia, Monarki berasal dari bahasa Yunani monos (μονος) yang berarti satu, dan archein (αρχειν) yang berarti pemerintah. Dapat dikatakan bahwa monarki merupakan sejenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki. Menurut wikipedia pula, bahwa penguasa monarki (Inggris: monarch) adalah seorang kepala negara yang jabatannya biasanya diwariskan dan memerintah seumur hidup. Namun menurut saya, sistem monarki ini tak hanya lekat ciri khasnya di masalah pemerintahan negara saja. Jika dikembangkan, sistem ini bisa terlihat dari kondisi sosio-kultural sebuah bangsa. Mari kita lihat satu-persatu.


Pertama, Indonesia, yang sebelum penjajah Eropa datang ke nusantara pada abad ke-16 merupakan bangsa yang memang menganut sistem monarki. Sistem monarki ini terdapat di seluruh kerajaan di nusantara. Siapa yang tak kenal dengan kebesaran Kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan juga Mataram. Semuanya itu bisa dibilang sukses menjalankan sistem monarki dan membuat rakyat sejahtera, bahkan mampu mengembangkan wilayah kekuasaan sampai keluar nusantara. Sampai kemudian datang Portugis dan Belanda, yang keduanya juga menganut sistem monarki pada pemerintahannya. Lagi-lagi nusantara diharuskan menjalankan sistem ini. Dan yang terakhir saudara tua Asia, Jepang, datang menjajah kita. Ternyata Jepang pun menganut sistem monarki pula. Sejarah berlanjut... Sampai saat ini, ternyata negara-negara bekas penjajah kita pun masih mempertahankan sistem monarki ini walau cuma sebatas simbol belaka karena untuk pemerintahan tak lagi dipegang oleh raja namun oleh perdana menteri.


Kedua, merdekanya Indonesia sebagai negara republik ternyata masih tetap terasa kental nuansa monarkinya yang terlihat dari munculnya tokoh-tokoh nasional yang dianggap sebagai 'raja' oleh para pendukungnya. Mulai dari tokoh nasionalis seperti Soekarno sampai tokoh agama seperti KH Hasyim Asyarie dan KH Ahmad Dahlan. Tak bisa dipungkiri bahwa dinasti Soekarno dan Wahid masih sangat lekat di hati rakyat Indonesia masa kini walau sudah semakin memudar pengkultusannya. Di PDIP kita bisa melihat bahwa yang namanya ketua umum (sampai saat ini) tak bisa tidak haruslah Megawati yang masih membawa nama dinasti Soekarno. Sampai pertikaian PKB Alm. Gus Dur dengan PKB Muhaimin juga nuansa dinasti Wahid masih sangat kental dan menjadi modal 'jualan' politik partai tersebut. Sekali lagi kita lihat bahwa sistem monarki ternyata memang dekat dengan kondisi sosio-kultural bangsa Indonesia.


Ketiga, walau Soeharto merupakan presiden terpilih melalui MPR tapi tak dapat dipungkiri bahwa gaya pemerintahannya selama 32 tahun sangatlah bersifat monarki. Kata-katanya dapat dikatakan sebagai hukum. Semua orang-orang terdekatnya harus segera melaksanakannya. Sialnya, seringkali 'titah raja' ini malah dilebih-lebihkan oleh para pelaksana hariannya yang membuat nuansa 'monarki' Soeharto menjadi lebih terasa kental di kalangan rakyat biasa. Seperti gaya pemerintahan monarki, kita bisa melihat bahwa anak, keluarga dan kerabat dekat Soeharto juga mempunyai kekuasaan secara de facto walau secara de jure tak pernah tertuliskan. Hal ini bisa kita liat dari sebutan masyarakat kepada keluarga Soeharto dengan sebutan keluarga Cendana, yang merujuk kepada lokasi tempat tinggal pribadi mantan presiden RI ini. Kita bisa lihat bahwa dalam kondisi sebagai negara demokrasi pun, pada era orde baru ternyata Indonesia masih lekat dengsan sistem monarki.


Keempat, era reformasi bergulir, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Awalnya kita berharap bisa belajar berdemokrasi dengan lebih baik pada era ini. Namun lagi-lagi saya melihat sistem monarki masih sangat kental dalam perpolitikan di Indonesia. Lihat saja PAN, partai yang berdiri di awal era reformasi masih saja tak bisa lepas dari bayang-bayang seorang Amien Rais. Bahkan ketika seorang Amin Rais mengatakan bahwa ia sudah tak ingin ikut campur pada partai, masih saya seorang ketua umum baru terpilih atas 'restunya'.  Aroma monarki juga tercium di Partai Demokrat. Walau SBY tak pernah menjadi ketua umum, namun ia selalu menjabat sebagai ketua dewan pembina. Jabatan yang sampai periode ini tidak tergoyahkan. Belum lagi isu tentang keharusan mendapat 'restunya' untuk mencapai posisi ketua umum Partai Demokrat. Walau UUD mengatur bahwa presiden hanya bisa dipilih maksimal sebanyak 2 kali, namun tak urung berhembus isu bahwa SBY mempersiapkan Ibu Negara sebagai calon penggantinya pada pemilu 2014. Dan jangan lupa bahwa Ibas, putra kedua SBY saat ini masuk di dalam posisi strategis partai walau harus dibuktikan lebih lanjut kepiawaiannya. Aroma monarki di politik pusat juga ternyata menyebar ke daerah-daerah. Tak sedikit kepala daerah yang kemudian mencalonkan istrinya sebagai kepada daerah selanjutnya. Atau seorang kepala daerah mendukung pencalonan adiknya untuk menjadi kepala daerah tingkat II yang masuk di dalam wilayah kekuasaannya.


Melihat kondisi politik dan sosio-kultural di atas saya mengamati bahwa sistem monarki masih dekat sekali dengan bangsa ini yang mengaku sebagai negara berdemokrasi. Jika memang demikian, mengapa kita seakan-akan alergi dengan sistem monarki tersebut dan selalu menyebut-nyebut negara demokrasi? Atau sesungguhnya pertanyaan yang lebih pahit kepada bangsa ini perlu ditanyakan: sudah siapkan kita untuk berdemokrasi?

08 August 2010

Kemacetan Jakarta, Dosa Bersama

Membaca tulisan dari Widianto H Didiet tentang sterilisasi busway, membuat saya tergelitik untuk menulis hal yang sama dari sudut pandang saya. Mungkin saya orang yang sangat menyambut baik sterilisasi busway tersebut dan merasa senang karena akhirnya doa saya dikabulkan. Sudah sejak lama saya gerah dengan masuknya kendaraan lain ke lajur busway, mulai dari motor, mobil pribadi, angkutan umum sampai mobil dinas menteri.
Dari semua koridor busway yang ada, lajur di Jl. Sudirman menurut saya paling sukses melakukan sterilisasi tersebut. Bahkan sejak dari awal ada, lajur itu nyaris tidak pernah dimasuki kendaraan lain, meskipun jam operasional busway telah lewat. Bandingkan dengan koridor lain yang semua kendaraan berebut masuk ke "lajur eksklusif" tersebut.
Busway memang dikeluhkan oleh para pengendara kendaraan pribadi menjadi biang kemacetan di Jakarta dengan memakai sebagian dari lajur mereka. Padahal, tujuan utama dari busway adalah mengkonversi pengguna kendaraan pribadi untuk naik busway itu sendiri. Alih-alih naik busway, pengendara pribadi malah memilih masuk ke lajur busway dengan kendaraan pribadinya sendiri.
Mari kita berandai-andai... Menurut data dari Dinas Perhubungan DKI jumlah mobil di Jakarta mencapai 2,2 juta unit sedangkan motor 3,5 juta unit. Kendaraan umum mencapai 860 ribu unit mungkin itu telah termasuk unit TransJakarta. Andai saja setengah dari pengendara mobil dapat dikonversikan menggunakan kendaraan umum dan jumlah kendaraan umum ditambah menjadi 1,5 juta unit, maka kemacetan dapat berkurang. Berkumpulnya para pekerja Jakarta di titik-titik tertentu memang masih akan menimbulkan kemacetan, tapi paling tidak akan bisa dikurangi.
Masalahnya ialah adakah kemauan dari pengendara mobil untuk kemudian pindah ke angkutan umum? Masalah kemacetan bukan hanya masalah Pemprov DKI, tapi perlu semua elemen masyarakat untuk membantu menyelesaikannya. Bagaimana bisa kita mengeluh macet (di antara banyak pengendara mobil lainnya) sedang kita tak ada usaha apa-apa dan merupakan bagian dari masalah itu sendiri? Pengendara mobil di Jakarta pun tak lepas dari dosa-dosanya tersendiri seperti yang pernah saya tulis sebelumnya.
Kembali ke masalah sterilisasi lajur busway, benarkah hanya alasan macet sehingga para pengendara mobil di Jakarta nekat menerobos lajur tersebut? Mari kita perhatikan bersama, nanti saat libur Idul Fitri tiba dan jalanan legang, masih saja ada pengendara mobil yang masuk lajur busway. Masalahnya adalah kedisiplinan berlalu-lintas dan kurangnya rasa berbagi untuk sesama pengguna jalan. Menyalahkan supir pribadi? Ah, sebagai majikan harusnya bisa dong memberi tahu supirnya. Bukankah biasanya seorang majikan lebih berpendidikan dari sang supir?
Intinya ketika pengendara mobil menjadi bagian dari kemacetan Jakarta, carilah solusi yang bukan solusi instan seperti masuk lajur busway. Jakarta tak akan pernah berubah kalau pribadi-pribadi masyarakatnya juga tak mau berubah dan mau enaknya sendiri! Di satu sisi, Pemprov DKI juga harus membenahi fasilitas angkutan umum di Jakarta. Infrastruktur Koridor 9 dan 10 yang telah selesai sejak tahun 2008 malah menjadi suatu hal yang mubazir. Halte dan lajur menjadi rusak karena tidak terpakai. Juga realisasi dari monorel harus segera diwujudkan. Apa harus tiang pancang yang sudah dibangun sepanjang Senayan dan Kuningan saat ini hanya menjadi monumen kegagalan Pemprov DKI dalam menangani kemacetan Jakarta?
Kemacetan Jakarta merupakan masalah yang sangat kompleks dan membutuhkan dukungan semua lapisan masyarakat untuk dapat menyelesaikannya. Jangan cuma enak-enakan duduk diam dalam mobil dingin berAC lalu berharap mukjizat datang untuk membuat Jakarta bebas macet. Selama masyarakat juga tak peduli dan membantu, maka kemacetan akan menjadi kutukan seumur hidup buat Jakarta!

01 August 2010

5 Dosa Pengendara Mobil di Jakarta

Wacana perpindahan ibukota dalam rangka mengatasi kemacetan di Jakarta sepertinya bukan barang baru. Sekali lagi, dalam masalah kemacetan Jakarta, pemerintah (lagi-lagi) disalahkan oleh masyarakat. Padahal jika saja wacana ini diwujudkan, tentu yang mengalah mesti ‘angkat kaki’ dari Jakarta adalah pemerintah, dalam hal ini tentunya pemerintah pusat. Hal ini juga menjadi tamparan tersendiri untuk pemerintah daerah karena mengindikasikan kegagalannya dalam mengatasi kemacetan Jakarta.
Walau masih banyak yang harus dibenahi di sana-sini, sebenarnya pemerintah telah memberikan beberapa solusi untuk kemacetan di Jakarta. Sebut saja TransJakarta dan Kereta Rel Listrik Commuter Jabodetabek yang setiap harinya mengangkut pulang pergi pekerja yang tinggal di sekeliling Jakarta. Sayangnya kebijakan transportasi massal tersebut tidak diikuti dengan pemeliharaan infra-struktur yang baik. Sebut saja TransJakarta Koridor 9 dan 10 yang telah selesai pembuatan jalur dan haltenya namun busnya tak kunjung beroperasi. Juga pemeliharaan KRL yang awalnya nyaman namun secara pelan-pelan menjadi tak terawat.
Namun tulisan saya kali ini bukanlah mengomentari kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut. Kali ini saya akan melihat pada sisi kendaraan pribadi khususnya mobil yang sebenarnya merupakan bagian dari masalah kemacatan Jakarta. Menurut MetroTV, setiap harinya beredar 240 mobil baru di jalanan, ditambah lagi sekitar 870 sepeda motor baru yang beredar setiap harinya. Sedang pertumbuhan jalan cuma 0,01% saja. Jika ini dibiarkan, diperkirakan Jakarta akan mengalami kelumpuhan lalu lintas pada tahun 2014.
Nah, jika dilihat setiap harinya Jakarta selalu penuh dengan mobil, mulai dari yang seri terbaru sampai yang terbilang kuno. Di bawah ini saya akan menuliskan ‘dosa-dosa’ dari pengendara mobil di Jakarta yang sering kali tak disadari atau bahkan dianggap biasa oleh mereka. Ironisnya, para pengendara mobil ini selalu menuntut haknya sebagai warna negara dengan solusi-solusi kebijakan dari pemerintah. Padahal jika saja mereka mau lebih jujur, mereka bisa menjadi solusi dari masalah mereka sendiri. Inilah ‘dosa-dosa’ tersebut:

1.  Menggunakan BBM bersubsidi.
Mobil-mobil keluaran terbaru masih saja asyik-asyik mengantri BBM bersubsidi di SPBU. Pemandangan ini kita bisa saksikan setiap harinya di setiap wilayah di Jakarta. Mulai dari daerah pinggiran sampai pusat kota. Padahal harusnya subsidi lebih tepat untuk angkutan umum massal. Dengan ‘murah’-nya BBM ini, maka siapapun akan lebih senang naik mobil sendiri yang nyaman ber-AC alih-alih berdesak-desakan naik kendaraan umum. Toh, bagi mereka BBM masih terbeli...

2.  Menggunakan jasa joki 3in1.
Setiap pagi dan sore kita melihat para joki 3in1 berjejer di jalan-jalan menuju kawasan 3in1. Bahkan mereka sering kali mengambil satu lajur tersendiri, berdiri di tengah-tengah jalan untuk bersaing dengan sesama mereka. Dengan membayar Rp10-20 ribu (tergantung jarak & nego), para pengendara mobil bisa menggunakan jasa mereka untuk melewati kawasan 3in1 di Jakarta. Jika dilihat setiap hari, selalu ada saja yang menggunakan jasa para joki ini. Bahkan banyak dari para joki yang membawa anak kecil atau bayi untuk mendapatkan bayaran dobel. Kenapa joki ini semakin banyak dan semakin mengganggu pemakai jalan lainnya? Sesuai dengan hukum supply & demand, jika tidak ada yang menggunakan jasa mereka tentu lama-kelamaan mereka juga akan tidak ada. Padahal kebijakan 3in1 pada awalnya merupakan salah satu solusi dari pemerintah untuk mengatasi kemacetan Jakarta. Masyarakat banyak yang mengkritik bahwa kebijakan ini hanya memindahkan kemacetan saja dari kawasan 3in1 keluar kawasan tersebut. Jika memang dengan uang Rp10-20 ribu saja jalanan sudah bisa ‘dibeli’ apa lagi gunanya kebijakan ini?

3.  Masuk ke lajur busway.
Bicara tentang ketidakdisiplinan, masyarakat Jakarta mungkin juaranya. Bukan hanya masyarakat biasa yang nekat menerobos lajur busway, bahkan para pejabat dan menterinya pun ikut-ikutan. Saya mengamati ketika hari libur yang tidak macet pun, masih banyak kendaraan pribadi yang masuk ke lajur busway. Jadi buat saya alasan menghindari macet itu non-sense. Para pelanggar itu lebih ke mau enak sendirinya saja, mau serba instan! Di mana Polisi? Ah, lupakan polisi yang mungkin juga malas ikut-ikutan macet dan lebih baik ngadem di posnya. Padahal pada awalnya, keunggulan TransJakarta adalah karena lajur khususnya tersebut. Yang mampu menerobos, di tengah-tengah rimba kemacetan Jakarta. Alih-alih menggunakan TransJakarta, pengendara mobil malah masuk lajur khusus tersebut dengan mobil pribadinya...

4.  Menggunakan mobil-mobil tua.
Di Jakarta mobil-mobil terbaru sampai mobil berumur 30 tahun dengan bebas melenggang di mana pun, bahkan di jalan protokol. Mesti bisa dibedakan antara mobil antik dengan mobil tua. Mobil antik itu menjadi koleksi dan hanya dipakai jika ada event tertentu saja. Sedang di Jakarta lebih tepat disebut mobil tua karena dipakai untuk kebutuhan transportasi sehari-hari. Mobil tua di Jakarta ini beragam jenisnya, mulai dari sedan sampai pick-up pengangkut sayuran. Belum lagi jika ditambahkan angkutan umum macam Kopaja, Metro Mini dan angkot. Jika dilihat, banyak mobil tua ini yang sudah tidak layak jalan. Selain tidak nyaman juga membahayakan keselamatan penumpangnya. Di Jakarta, ajaibnya keselamatan sering kali diabaikan. Selain itu, mobil tua juga lebih boros secara bahan bakar dengan polusi yang ditimbulkannya. Mungkin idealnya, mobil yang ada di Jakarta tidak berumur lebih dari 10 tahun. Bisakah?

5.  Menggunakan alat komunikasi saat mengemudi
Mungkin hal ini dianggap sepele. Tapi dengan semakin maraknya kecelakaan lalu-lintas yang diakibatkan karena penggunaan alat komunikasi saat mengemudi mungkin masalah ini jadi semakin membesar. Apalagi media-media baru seperti Blackberry dan Twitter semakin banyak digunakan oleh masyarakat Jakarta. Kalau dilihat ada kemiripan dengan para pengendara sepeda motor. Yang naik motor SMS-an pakai Esia, yang naik mobil BBM-an atau Twitter-an pakai Blackberry. Padahal pemerintah juga telah membuat UU tentang hal ini, tapi ya lagi-lagi tetap saja dilanggar. Selain berisiko terjadinya kecelakaan lalu-lintas, penggunaan alat komunikasi saat mengemudi juga membuat bertambahnya kemacetan. Liat saja banyak mobil yang saat jalan kosong, jalan di tengah-tengah, kanan kiri goyang-goyang. Ternyata pengemudinya sedang asyik BBM-an. Ah, kiranya kemajuan teknologi malah membuat dampak yang buruk. Saya merindukan saat HP masih menjadi barang eksklusif dan mahal harganya...

            Mungkin akan banyak yang bertanya kepada saya, “lho, kok cuma mobil aja? Motor nggak?” Wah, kalo harus nulis tentang motor juga, mungkin bukan cuma jadi artikel. Tapi bisa-bisa jadi novel bersambung...
            Yang pasti tulisan ini tidak akan membuat Jakarta berkurang macetnya. Namun tulisan ini merupakan otokritik terhadap diri sendiri yang saat ini dan mungkin orang-orang sekitar saya. Di mana sekarang ini, dengan semakin mudahnya proses leasing untuk kredit sebuah mobil, membuat begitu banyak orang-orang yang berpenghasilan biasa-biasa saja tapi sudah bisa memiliki mobil. Belum lagi industri otomotif yang begitu kompetitif dan selalu dengan target-target muluk yang membuat para penjualnya berlomba-lomba untuk memenuhi target tersebut. Ah, baiknya saya tidur lagi dan bermimpi, semoga Jakarta menjadi kota yang ramah lingkungan dan tidak macet lagi seperti saat ini...

06 June 2010

Rangkuman Seminar Sehari Peran dan Kedudukan Bunda Maria

          Pada Hari Minggu 30 Mei 2010 lalu, Komunitas Maria Bunda Pewarta dan Sie Kerasulan Kitab Suci Paroki St. Yoseph Matraman menyelenggarakan sebuah seminar sehari tentang Peran dan Kedudukan Bunda Maria dari 3 sudut pandang agama-agama semitik yaitu Katolik, Protestan dan Islam. Acara dilaksanakan di Aula Besar Gereja Katedral Jakarta mulai pukul 9.30 pagi dan diakhiri oleh Misa Kudus pukul 15.00 WIB. Acara ini terbilang sukses dari sisi partisipasi karena pada awalnya direncanakan cuma untuk 500 peserta saja namun yang datang pada hari H lebih dari 500 orang.
          Acara dibuka oleh moderator yaitu Mas Arswendo Atmowiloto dengan gaya bertuturnya yang khas dan penuh humor sehingga peserta menjadi tertarik untuk mengikuti acara ini. Nara sumber seminar ini adalah Romo Pidyarto Gunawan mewakili Katolik, Pendeta Yerry Tawalujan dan Bapak Bunyamin Sutandhi mewakili Protestan serta KH Jalaluddin Rakhmat mewakili Islam Syiah. Pada saat acara dimulai, KH Jalaludding RakhmatKang Jalal begitu sapaannya, terlambat datang dan baru tiba sekitar 15 menit setelah acara dimulai.
          Pembicara pertama adalah Bapak Bunyamin Sutandhi, seorang pria berumur 69 tahun yang merupakan seorang penginjil. Beliau mengatakan bahwa Maria adalah penggenapan nubuat dari Nabi Yesaya. Bahwa semua nubuat dalam Al Kitab telah digenapi oleh Allah kecuali bahwa Yesus datang lagi ke dunia untuk kedua kalinya pada akhir zaman untuk menjadi hakim bagi semua orang.
          Kang Jalal menjadi pembicara kedua dalam acara tersebut. Kang Jalal memulai materinya dengan mengatakan bahwa satu-satunya surat dalam Al Quran yang diberi judul dengan nama perempuan adalah Surah Maryam. Surah ini termasuk surah Makkiyah karena turun di Mekkah pada awal-awal tahun kenabian Muhammad SAW. Kang Jalal juga menceritakan sebuah kitab hadits tentang bagaimana keponakan Nabi―Ja’far bin Abi Thalib yang melakukan pelarian ke negri Habsyi (Ethiopia) yang memeluk agama Nasrani untuk meminta suaka politik karena mereka dikejar-kejar dan dimusuhi oleh orang-orang Quraisy di Mekkah.
Bahkan mereka mengutus 2 orang diplomat ulung kaum Quraisy yaitu Amr bin Ash dan Abdullah bin Rabiah kepada Raja Habsyi yaitu Najasyi untuk meminta Ja’far dikembalikan/ekstradisi ke Mekkah. Mereka memfitnah Ja’far dan rombongannya adalah para penjahat yang melarikan diri karena telah keluar dari agama nenek moyang kaum Quraisy dan tidak juga masuk ke dalam agama Nasrani yang dianut negeri Habsyi.
Namun permintaan ekstradisi itu ditolak manakala Ja’far membacakan Surah Maryam 1-4 yang membuat Raja Najasyi menangis hingga membasahi jenggotnya. Najasyi mengatakan bahwa agama yang dibawa nabinya Ja’far dan agama yang dibawa oleh Isa Al Masih berasal dari satu sumber. Akhirnya Ja’far bin Abi Thalib beserta istri dan rombongan dapat tinggal dengan aman dan tenang dalam perlindungan Najasyi selama sepuluh tahun. Mereka juga diberikan kebebasan melaksakan ibadah mereka tanpa ada gangguan dan paksaan dari orang lain.
Kang Jalal menyambung dengan mengatakan bahwa Maryam disebut 34 kali dalam Al Quran, lebih banyak dari Maria disebutkan dalam Alkitab. Maryam juga termasuk dalam empat penghulu perempuan di seluruh alam yaitu Maryam, Asiyah bint Mazahim, Khadijah serta Fatimah bint Muhammad SAW. Kang Jalal juga mengatakan bahwa Allah telah memilih Maryam di antara perempuan-perempuan lain seperti yang tertulis pada Ali Imran 42.
Dalam sesi tanya jawab Kang Jalal juga menceritakan beberapa paralelisme tradisi Islam Syiah dengan tradisi Katolik seperti pemilihan Kalifah langsung oleh Nabi Muhammad SAW seperti ketika Yesus memilih Petrus sebagai penerusnya secara langsung untuk melanjutkan kepemimpinannya. Kang Jalal juga menceritakan bahwa pada Islam Syiah juga ada tradisi berdoa melalui perantara orang-orang suci dan di Mesir, mereka berdoa di tempat yang sama dengan umat Kristen Orthodox Koptik yang berdoa di depan patung Bunda Maria.
          Berikutnya, Pendeta Yerry Tawalujan tampil sebagai pembicara ketiga.  Sebelum membahas topik seminar, Pendeta Yerry menekan 4 hal yang diharapkan dapat menjadi pegangan bersama para peserta seminar yaitu:
-          Pemahaman tentang Peran dan Kedudukan Bunda Maria dari sudut pandang Katolik, Protestan dan Islam tentu tidak akan serupa, pasti berbeda (dan bahkan bisa bertentangan) dan tidak bisa dipaksakan untuk menjadi serupa.
-          Namun pastilah juga ada persamaan-persamaan yang bisa diterima bersama guna membangun komunikasi dan mempererat ikatan kasih dengan menghargai dan menerima perbedaan-perbedaan pandangan itu.
-          Masing-masing pihak telah mempunyai pemahaman sendiri tentang Bunda Maria dan pembahasan dari Pendeta Yerry tidaklah bermaksud menyinggung apalagi mengoreksi pandangan dan kepercayaan umat Katolik terhadap Bunda Maria.
-          Seminar ini haruslah didasari kasih yang membangun kebersamaan di tengah perbedaan agar makin terciptanya kerukunan antar umat beragama menuju masyarakat yang harmonis.
Pendeta Yerry mengatakan, membicarakan Bunda Maria menurut sudut pandan Protestan tentunya harus berdasarkan dari sudut pandang Alkitab saja. Sehingga dikatakan bahwa menurut Pendeta Yerry bahwa penekanan ada pada kedaulatan dan kasih karunia Allah dan bukan pada Maria sendiri.
          Dikatakan bahwa Allah berdaulat untuk memilih dan memberi kasih karunia kepada siapa saja yang Allah kehendaki, bukan karena orang itu baik atau tidak berdosa. Sehingga dalam hal ini Maria hanyalah berperan sebagai penerima mukjizat dan bukanlah fokus utamanya. Dengan demikian, doktrin Maria Immacute dan Non Posse Peccare yang ditujukan kepada Maria bukanlah doktrin dari Protestan dan tidak ditunjang oleh kebenaran Alkitab.
          Dalam teologi Protestan tidak dikenal Maria Bunda Allah namun Maria dikenal dengan istilah-istilah umum seperti Perawan Maria, Anak Dara Maria dan Maria Ibu Yesus. Hal itu disebabkan karena Alkitab tidak memberikan penekanan khusus kepada Maria Ibu Yesus. Maria memanglah Ibu Yesus, namun ketika Ibu Yesus ditingkatkan menjadi Bunda Allah, itu tidak ada dalam teologia Protestan. Peran Maria adalah sebagai Ibu Yesus di bumi, perawan yang rahimnya dipakai sebagai alat Allah untuk mengandung dan melahirkan Yesus.
          Pendeta Yerry juga mengatakan bahwa tidak ada satu ayat pun dalam Alkitab yang mereferensikan bahwa Maria adalah Bunda Gereja, yang membidani atau yang melahirkan gereja. Tidak terlihat bahwa Maria Ibu Yesus digambarkan sebagai pemimpin, baik secara formal atau informal dalam pertemuan jemaat mula-mula.
          Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa banyak hal dalam pandangan Katolik yang tidak dikenal dalam doktrin Protestan. Perbedaan-perbedaan itu adalah wajar dan harus diterima sebagai sebuah kenyataan tanpa perlu dipertentangkan. Namun demikian, pandangan mendasar mengenai Bunda Maria menurut teologi Protestan adalah:
-          Perawan Maria, Anak Dara Maria adalah perempuan, perawan yang mengandung dan melahirkan Yesus dari Roh Kudus.
-          Maria adalah orang yang dikaruniai, yang beroleh kasih karunia dihadapan Allah dan diberkati di antara semua perempuan.
-          Keteladanan Maria dalam hal ketaatannya sebagai hamba Tuhan perlu ditiru oleh semua umat manusia.
Sebagai penutup, Pendeta Yerry menegaskan bahwa umat Protestan sangat menghargai dan menghormati peran Maria, sebagaimana Pengakuan Iman Rasuli yang selalu diucapkan setiap hari Minggu dalam ibadah-ibadah gereja Protestan:
“Aku percaya kepada Allah Bapa yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi. Dan kepada Yesus Kristus AnakNya yang tunggal, Tuhan kita. Yang dikandung daripada Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria...”
          Pembicara terakhir dalam seminar ini adalah Romo Pidyarto Gunawan, O.Carm yang merupakan guru besar STFR Widya Sasana Malang di bidang Kitab Perjanjian Baru. Romo yang memperoleh gelar doktor di bidang teologi Alkitabiahnya dari Universitas St. Thomas Roma ini membuka pembahasannya tentang Maria ini dengan mengatakan bahwa ajaran Katolik mengenai Bunda Maria tidak mudah dipahami oleh pihak luar, bahkan sering kali menimbulkan kesalahpahaman. Oleh karena itu dialog tidak perlu mencari kata sepakat, tetapi berusaha memahami posisi pihak lain guna menghindari kesalahpahaman tersebut.
          Ketika membicarakan tentang Maria menurut paham Gereja Katolik tentunya didasari oleh 3 hal yang menjadi dasar hukum Gereja Katolik itu sendiri yaitu Alkitab, Tradisi Suci dan dokumen-dokumen resmi, seperti konstitusi dogmatis Lumen Gentium (Konsili Vatikan II); himbauan apostolik Paus Paulus VI Marialis Cultus dan Redemptoris Mater (ensiklik Paus Yonahes Paulus II).
          Pertama-tama, Romo Pidrato ingin menekankan bahwa Gereja Katolik memandang Maria sebagai manusia biasa. Maria juga harus diselamatkan. Namun karena pahala Putranya, ia ditebus secara lebih unggul. Maria mendapatkan rahmat penebusan yang diberikan oleh Yesus Kristus jauh sebelum Dia wafat di kayu salib. Gereja Katolik meyakini bahwa Maria sejak awal kehidupannya dibebaskan Allah dari segala bentuk dosa. Keyakinann yang sama dianut oleh Gereja Ortodoks yang memberi gelar panhagia kepada Maria yang artinya Yang Kudus seluruhnya.
          Gereja Katolik memberi Maria banyak gelar seperti Pembela, Pembantu, Penolong dan Perantara. Gelar-gelar ini sering menimbulkan salah paham bagi orang-orang Protestan karena dalam arti tegas gelar-gelar tersebut sebenarnya hanya cocok untuk Yesus Kristus.
          Gelar Mitra Pengantara atau Pengantara Bersama (Co-Mediatrix) tidak bertentangan dan mengaburkan peranan Yesus sebagai satu-satunya Pengantara Allah dan manusia. Gelar tersebut tidak membuat Maria sejajar dan menjadi saingan Yesus. Peranan Maria adalah sebagai sub-ordinasi dari peranan Yesus Kristus dan Gereja Katolik meyakini bahwa peranan Kristus sebagai satu-satunya Pengantara tidak meniadakan aneka bentuk kerja sama dari pihak manusia. Dalam tradisi Katolik terkenal ucapan “Per Mariam ad Iesum” yang artinya melalui Maria sampai kepada Yesus.
          Mengenai gelar Bunda Allah, Romo Pidyarto mengatakan bahwa Gereja Katolik tidak bermaksud meng-allah-kan Maria. Maria juga bukanlah ibu yang melahirkan Allah, juga bukan istri dari Allah Bapa dan bukan Allah ibu. Maria disebut Bunda Allah sejauh dia telah mengandung dan melahirkan Yesus yang merupakan benar-benar Allah dan benar-benar manusia pula. Penyebutan gelar ini juga berasal dari Lukas 1:43 tentang sebutan Elisabet ketika menerima kunjungan Maria dan berseru: “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” Istilah Tuhan yang dipakai berasal dari kata Yunani Kyrios, suatu gelar ilahi yang kelak oleh para rasul dikenakan pada Yesus ketika mereka sudah sampai oada iman akan Yesus sebagai Allah. Jadi jauh sebelum Yesus diakui sebagai Allah, Injil Lukas sudah meletakkan gelar itu pada mulut Elisabet.
          Gereja Katolik  menegaskan bahwa penghormatan kepada Maria secara hakiki berbeda dengan penyembahan yang ditujukan hanya kepada Allah. Hal itu juga dibedakan dari istilah yang dipakai. Gereja Katolik memakai istilah dulia untuk penghormatan kepada orang-orang kudus biasa. Sedangkan untuk penghormatan istimewa kepada Maria, Gereja Katolik memakai istilah hyperdulia. Penyembahan untuk Allah dikenal dengan istilah latria.
          Penghormatan kepada Maria yang direstui Gereja Katolik adalah kebaktian yang berada dalam batas-batas ajaran yang sehat dan benar. Selain itu Gereja Katolik menghimbau kepada para teolog dan pewarta sabda dalam memandang martabat Maria yang istimewa itu sungguh-sungguh mencegah segala ungkapan berlebihan yang palsu.
          Dalam Gereja Katolik, Maria adalah manusia biasa namun Allah telah memilih dia untuk menjadi manusia yang sangat istimewa karena telah mengandung dan melahirkan Yesus, Anak Allah yang menjelma menjadi manusia (Gal 4:4). Jadi pembicaraan tentang Maria tidak bisa dilepaskan dari hubungan Maria dengan Yesus yang merupakan jalan keselamatan manusia.
          Menurut Gereja Katolik, benih-benih kehadiran Maria telah ada dalam kitab Perjanjian Lama. Pada kitab Kejadian 3:15 di mana Tuhan mengatakan bahwa antara ular tua (iblis) dengan wanita itu akan mengadakan permusuhan sampai keturunan-keturunannya. Wanita itu ditafsirkan sebagai Maria dan bukanlah Hawa. Nubuatan tentang Maria juga tertulis di Yesaya 7:14 bahwa seorang perempuan muda akan mengandung dan melahirkan Anak yang disebut Imanuel. Kata partheos yang berarti perawan, dipakai oleh Septuaginta yang memperjelas bahwa wanita itu adalah Maria. Gereja Katolik juga menganggap bahwa Maria adalah seorang dari kaum anawim, yaitu kaum miskin dan saleh yang sangat merindukan keselamatan bagi bangsa Israel.
          Apa yang sudah dipersiapkan dalam Perjanjian Lama akhirnya mencapai kepenuhannya pada zaman Perjanjian Baru. “Setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat” (Gal 4:4). Maka Allah mengutus malaikat Gabriel kepada perawan Maria. Gabriel menyapa Maria, "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau” (Luk 1:28). Gabriel tidak memanggil dia dengan nama pribadinya, Maria, tetapi dengan gelar “yang dikaruniai”. Memang Maria adalah seorang yang “beroleh kasih karunia di hadapan Allah” (Luk 1:28) dan yang diberkati di antara semua perempuan (Luk 1:42). Sejak dahulu gelar “yang dikaruniai” (Yunaninya: kecharitomene) merupakan gelar luar biasa yang tidak pernah diberikan kepada manusia lain. Kecharitomene adalah suatu bentuk kata kerja Yunani charitóô, yang secara harafiah berarti: membuat seseorang menjadi karunia. Jadi, kecharitomene dapat diterjemahkan dengan “(Maria, engkau) yang telah diubah menjadi karunia”. Itu berarti, Maria itu sungguh-sungguh dilimpahi dengan karunia Allah sehingga menjadi indah dan berkenan di hati Allah dan penuh dengan karunia-Nya.
Dengan demikian, kita bisa mengerti mengapa Vulgata (versi Alkitab dalam bahasa latin) menerjemahkan kecharitomene dengan “gratia plena” (=penuh karunia). Dalam Ef 1:6-7 ini kita bisa menemukan dasar untuk tafsiran Gereja Katolik bahwa Maria itu dikaruniai Tuhan dalam arti ia telah disucikan dari segala bentuk dosa. Bedanya: kalau jemaat kristen dulu pernah berdosa lalu disucikan oleh Tuhan, maka Maria disucikan sejak awal kehidupannya.
Dalam kaitan dengan fungsi Maria sebagai Bunda Yesus atau Bunda Allah ini, Gereja Katolik yakin bahwa Maria telah dipersiapkan secara khusus. Untuk menyediakan tempat kediaman yang pantas bagi Anak Allah yang menjadi manusia melalui tubuh dan jiwa Maria, maka Maria sudah dibebaskan dari segala bentuk dosa sejak saat pertama kehidupannya. Berhubung ia bebas dari dosa warisan atau pun dosa pribadi, Maria dimampukan untuk bekerja sama secara sempurna dengan rencana Allah. Tanpa kehilangan kebebasan manusiawinya, dia menaati kehendak Bapa.
Gereja Katolik menerima tafsiran kuno bahwa perempuan dalam Why 12 adalah gambaran dari Maria, ibu Yesus, yang memang pada hakikatnya bermusuhan dengan Iblis. Mengikuti tradisi yang sudah sangat kuno, Gereja Katolik juga percaya bahwa Maria tetap perawan, baik sebelum hamil, selama hamil dan sesudah melahirkan. Keperawanan Maria ini tidak dilihat pertama-tama sebagai keperawanan fisik (dalam arti selaput daranya tetap utuh), melainkan lebih dalam arti rohani, yakni keperawanan sebagai tanda bahwa seluruh kepribadian Maria, jiwa dan raganya, adalah milik Allah dan secara total terarah kepada Allah.
          Tentunya Maria tidak berbeda dengan banyak ibu Yahudi lainnya yang secara luar biasa mendidik anaknya menjadi orang saleh. Misalnya, ia mengajak Yesus ke Yerusalem untuk beribadat (Luk 2:42). Dapat diandaikan, Maria selalu berada di samping Yesus selama di Nazaret hingga Yesus memulai karya-Nya pada usia sekitar 30 tahun.
          Berbeda dengan ibu para tokoh Alkitab lainnya, Maria adalah seorang ibu yang dikaitkan secara amat erat dengan kehidupan serta misi anaknya. Memang, ayat-ayat yang menyatakan bahwa Maria berada dekat dengan Yesus selama pelayanan-Nya di dunia sedikit saja. Akan tetapi jumlah ayat bukanlah segala-galanya. Lebih penting dari jumlah ayat adalah posisi yang diduduki ayat tentang Maria dalam suatu kitab. Dalam Injil Yohanes, “ibu Yesus” hanya muncul dua kali (Yoh 2:1-11dan 19:25-27). Akan tetapi, dia muncul pada awal dan akhir dari pelayanan Yesus di dunia. Dalam Alkitab, penyebutan dua ujung sering berarti keseluruhan yang ada di antara kedua ujung tersebut. Misalnya, kalau dikatakan dalam Kej 1:1, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” maka yang dimaksud adalah penciptaan langit dan bumi beserta segala sesuatu yang ada di antara keduanya. Dengan demikian, Injil Yohanes rupanya bermaksud menyatakan bahwa Maria hadir pada seluruh pelayanan Yesus di dunia ini. Secara fisik Maria tidak mengikuti perjalanan Yesus, tetapi tentunya secara rohani dia mengikuti sepak terjang anaknya itu. Suatu saat, Maria harus menyaksikan sendiri bagaimana Yesus bergantung di kayu salib (Yoh 19:26-27). Pada saat yang amat penting bagi keselamatan umat manusia itu, Yesus menyerahkan ibu-Nya kepada murid yang dikasih-Nya sambil berkata, “Inilah, ibumu!” Gereja Katolik yakin, murid yang dikasihi Yesus itu mewakili semua murid yang dikasihi Yesus (Yoh 19:26-27). Tidak mungkin Yesus, pada saat yang begitu penting, hanya bermaksud menitipkan ibu-Nya secara fisik pada seorang murid-Nya. Tentunya tindakan-Nya itu memiliki makna lebih dalam: Maria dijadikan ibu rohani bagi umat-Nya. Maka, Gereja Katolik memberi Maria gelar Bunda Gereja.
          Setelah Yesus naik ke surga, Maria tidak putus hubungan dengan kelompok murid Yesus. Maria kedapatan tekun berdoa bersama dengan para murid Yesus untuk menantikan kedatangan Roh Kudus.
          Sampai sejauh ini, kita sudah melihat peranan Maria dalam sejarah keselamatan, mulai dari kerelaannya untuk menjadi Bunda Penebus hingga turunnya Roh Kudus yang dijanjikan Yesus kepada Gereja. Ia dikaitkan secara amat erat dengan karya penyelamatan yang dikerjakan oleh Yesus. Oleh karena itu, Gereja Katolik percaya bahwa setelah mengalami kematian sejenak, Maria pun segera dibangkitkan dari kematian lalu dipersatukan secara erat dengan Yesus Kristus yang sudah mulia dengan badan dan jiwa-Nya di surga. Dengan demikian Maria semakin menyerupai Yesus Kristus (Lumen Gentium 59; Katekismus Gereja Katolik 965). Namun, apa yang kini sudah dialami oleh Maria kelak akan dialami juga oleh orang beriman lainnya. Maria hanya mendahului apa yang masih akan dialami orang lain. Keadaan Maria yang sekarang sudah mulia di surga menjadi cermin dari tujuan akhir hidup orang beriman. Dalam Ibadat untuk menghormati pengangkatan Maria ke surga, dibacakan Why 11:19; 12:1-6.10 yang melukiskan penampakan seorang perempuan mulia di langit. Perikop ini tidak hanya menerangkan kesucian Maria (sebagai musuh Iblis) tetapi juga sebagai suatu perikop yang melukiskan keadaan Maria yang sudah mulia di surga.
          Yesus Kristus tidak bisa dilepaskan dari Gereja yang didirikan-Nya. Maka dari itu, Konsili Vatikan II membahas Maria tidak hanya dalam kaitannya dengan Yesus tetapi juga dalam kaitannya dengan Gereja-Nya. Maria dipandang sebagai anggota Gereja Yesus tetapi anggota Gereja yang paling sempurna. Dalam dirinya sudah terpenuhi panggilan Gereja Yesus untuk menjadi “jemaat kudus dan tidak bercela” (Ef 5:27). Oleh karena itu, Maria adalah teladan bagi semua anggota Gereja Yesus. Maria adalah teladan dalam banyak hal, tetapi terutama hal iman dan cinta kasih (Lumen Gentium 53; 65).
          Mengingat besarnya partisipasi Maria dalam karya penebusan Yesus, maka Gereja Katolik dalam ibadat resminya kerap sekali mengenang Maria dengan rasa hormat dan kasih keputeraan. Di luar ibadat resmi pun, yakni dalam doa-doa umat Katolik, Maria dikenang, dipuji, dan dihormati. Dengan demikian genaplah nubuatan yang diucapkan Maria sendiri, “Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia” (Luk 1:48).
          Akhirnya Romo Pidyarto mengatakan bahwa patut dicatat bahwa Gereja Katolik yakin bahwa Maria mempunyai sifat sosial yang besar. Ia mengunjungi Elisabet, saudarinya, yang sedang hamil tua (Luk 1:39). Ia menolong pengantin di Kana yang mengalami kesukaran karena dalam pesta pernikahannya, persediaan anggurnya habis (Yoh 2:1-11). Dalam kedua peristiwa tadi Maria sendiri yang mengambil inisiatif untuk menolong sesamanya. Menarik untuk dicatat bahwa dalam kisah perjamuan nikah di Kana (Yoh 2), Maria terbukti menjadi pengantara atau pendoa yang luar biasa. Meski Yesus pada awalnya memberi kesan menolak permohonan ibu-Nya, nyatanya, berkat permohonan Maria pada akhirnya Yesus membuat juga mukjizat untuk menolong pengantin itu. Bila selama hidup di dunia ini Maria sudah rajin menolong atau mendoakan sesamanya, tentunya kini, di surga, ia lebih rajin mendoakan anak-anaknya, entah diminta entah tidak, yang masih mengembara di dunia (bdk. Lumen Gentium 62). Kalau semasa hidup di dunia, doanya sudah mempunyai kuasa, apalagi kini ketika ia sudah mulia di surga. Seperti kebanyakan ibu lainnya, tentunya Maria mendoakan anak-anaknya, juga kalau anaknya itu tidak meminta kepadanya. Akan tetapi, tentu saja lebih baik kalau anak-anaknya rajin meminta pertolongan doanya.
          Setelah Romo Pidyarto mengakhiri bahasannya, seminar rehat untuk makan siang. Tepat pukul 13.00 WIB, seminar dimulai kembali dengan sesi tanya jawab. Tampaknya pada saat sesi tanya jawab tersebut, Kang Jalal menjadi bintang karena mendapat pertanyaan paling banyak yang melebar ke arah hubungan dan relasi antar umat beragama di Indonesia. Namun dengan sabar dan santai, Kang Jalal dapat menjawab semua pertanyaan dengan diselingi oleh sedikit canda di sana-sini.
          Akhirnya karena keterbatasan waktu, Mas Wendo menutup acara seminar tersebut walau masih banyak peserta yang ingin mengajukan pertanyan. Beliau mengatakan bahwa seminar tersebut tentu masih banyak kekurangan dan tidak dapat memuaskan semua pihak. Namun kiranya melalui seminar semacam ini dapat dimulai dialog antar umat beragama secara lebih dewasa dan bisa menghormati perbedaan yang ada tanpa harus mempermasalahkannya.
          Menurut saya pribadi, seminar tersebut akan tampak lebih seru lagi jika ditambah satu pembicara dari sudut pandang Kristen Ortodoks. Karena secara dogmatis ada yang berbeda dengan pandangan Katolik, namun sama-sama melakukan penghormatan lebih kepada Bunda Maria.