08 August 2010

Kemacetan Jakarta, Dosa Bersama

Membaca tulisan dari Widianto H Didiet tentang sterilisasi busway, membuat saya tergelitik untuk menulis hal yang sama dari sudut pandang saya. Mungkin saya orang yang sangat menyambut baik sterilisasi busway tersebut dan merasa senang karena akhirnya doa saya dikabulkan. Sudah sejak lama saya gerah dengan masuknya kendaraan lain ke lajur busway, mulai dari motor, mobil pribadi, angkutan umum sampai mobil dinas menteri.
Dari semua koridor busway yang ada, lajur di Jl. Sudirman menurut saya paling sukses melakukan sterilisasi tersebut. Bahkan sejak dari awal ada, lajur itu nyaris tidak pernah dimasuki kendaraan lain, meskipun jam operasional busway telah lewat. Bandingkan dengan koridor lain yang semua kendaraan berebut masuk ke "lajur eksklusif" tersebut.
Busway memang dikeluhkan oleh para pengendara kendaraan pribadi menjadi biang kemacetan di Jakarta dengan memakai sebagian dari lajur mereka. Padahal, tujuan utama dari busway adalah mengkonversi pengguna kendaraan pribadi untuk naik busway itu sendiri. Alih-alih naik busway, pengendara pribadi malah memilih masuk ke lajur busway dengan kendaraan pribadinya sendiri.
Mari kita berandai-andai... Menurut data dari Dinas Perhubungan DKI jumlah mobil di Jakarta mencapai 2,2 juta unit sedangkan motor 3,5 juta unit. Kendaraan umum mencapai 860 ribu unit mungkin itu telah termasuk unit TransJakarta. Andai saja setengah dari pengendara mobil dapat dikonversikan menggunakan kendaraan umum dan jumlah kendaraan umum ditambah menjadi 1,5 juta unit, maka kemacetan dapat berkurang. Berkumpulnya para pekerja Jakarta di titik-titik tertentu memang masih akan menimbulkan kemacetan, tapi paling tidak akan bisa dikurangi.
Masalahnya ialah adakah kemauan dari pengendara mobil untuk kemudian pindah ke angkutan umum? Masalah kemacetan bukan hanya masalah Pemprov DKI, tapi perlu semua elemen masyarakat untuk membantu menyelesaikannya. Bagaimana bisa kita mengeluh macet (di antara banyak pengendara mobil lainnya) sedang kita tak ada usaha apa-apa dan merupakan bagian dari masalah itu sendiri? Pengendara mobil di Jakarta pun tak lepas dari dosa-dosanya tersendiri seperti yang pernah saya tulis sebelumnya.
Kembali ke masalah sterilisasi lajur busway, benarkah hanya alasan macet sehingga para pengendara mobil di Jakarta nekat menerobos lajur tersebut? Mari kita perhatikan bersama, nanti saat libur Idul Fitri tiba dan jalanan legang, masih saja ada pengendara mobil yang masuk lajur busway. Masalahnya adalah kedisiplinan berlalu-lintas dan kurangnya rasa berbagi untuk sesama pengguna jalan. Menyalahkan supir pribadi? Ah, sebagai majikan harusnya bisa dong memberi tahu supirnya. Bukankah biasanya seorang majikan lebih berpendidikan dari sang supir?
Intinya ketika pengendara mobil menjadi bagian dari kemacetan Jakarta, carilah solusi yang bukan solusi instan seperti masuk lajur busway. Jakarta tak akan pernah berubah kalau pribadi-pribadi masyarakatnya juga tak mau berubah dan mau enaknya sendiri! Di satu sisi, Pemprov DKI juga harus membenahi fasilitas angkutan umum di Jakarta. Infrastruktur Koridor 9 dan 10 yang telah selesai sejak tahun 2008 malah menjadi suatu hal yang mubazir. Halte dan lajur menjadi rusak karena tidak terpakai. Juga realisasi dari monorel harus segera diwujudkan. Apa harus tiang pancang yang sudah dibangun sepanjang Senayan dan Kuningan saat ini hanya menjadi monumen kegagalan Pemprov DKI dalam menangani kemacetan Jakarta?
Kemacetan Jakarta merupakan masalah yang sangat kompleks dan membutuhkan dukungan semua lapisan masyarakat untuk dapat menyelesaikannya. Jangan cuma enak-enakan duduk diam dalam mobil dingin berAC lalu berharap mukjizat datang untuk membuat Jakarta bebas macet. Selama masyarakat juga tak peduli dan membantu, maka kemacetan akan menjadi kutukan seumur hidup buat Jakarta!

01 August 2010

5 Dosa Pengendara Mobil di Jakarta

Wacana perpindahan ibukota dalam rangka mengatasi kemacetan di Jakarta sepertinya bukan barang baru. Sekali lagi, dalam masalah kemacetan Jakarta, pemerintah (lagi-lagi) disalahkan oleh masyarakat. Padahal jika saja wacana ini diwujudkan, tentu yang mengalah mesti ‘angkat kaki’ dari Jakarta adalah pemerintah, dalam hal ini tentunya pemerintah pusat. Hal ini juga menjadi tamparan tersendiri untuk pemerintah daerah karena mengindikasikan kegagalannya dalam mengatasi kemacetan Jakarta.
Walau masih banyak yang harus dibenahi di sana-sini, sebenarnya pemerintah telah memberikan beberapa solusi untuk kemacetan di Jakarta. Sebut saja TransJakarta dan Kereta Rel Listrik Commuter Jabodetabek yang setiap harinya mengangkut pulang pergi pekerja yang tinggal di sekeliling Jakarta. Sayangnya kebijakan transportasi massal tersebut tidak diikuti dengan pemeliharaan infra-struktur yang baik. Sebut saja TransJakarta Koridor 9 dan 10 yang telah selesai pembuatan jalur dan haltenya namun busnya tak kunjung beroperasi. Juga pemeliharaan KRL yang awalnya nyaman namun secara pelan-pelan menjadi tak terawat.
Namun tulisan saya kali ini bukanlah mengomentari kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut. Kali ini saya akan melihat pada sisi kendaraan pribadi khususnya mobil yang sebenarnya merupakan bagian dari masalah kemacatan Jakarta. Menurut MetroTV, setiap harinya beredar 240 mobil baru di jalanan, ditambah lagi sekitar 870 sepeda motor baru yang beredar setiap harinya. Sedang pertumbuhan jalan cuma 0,01% saja. Jika ini dibiarkan, diperkirakan Jakarta akan mengalami kelumpuhan lalu lintas pada tahun 2014.
Nah, jika dilihat setiap harinya Jakarta selalu penuh dengan mobil, mulai dari yang seri terbaru sampai yang terbilang kuno. Di bawah ini saya akan menuliskan ‘dosa-dosa’ dari pengendara mobil di Jakarta yang sering kali tak disadari atau bahkan dianggap biasa oleh mereka. Ironisnya, para pengendara mobil ini selalu menuntut haknya sebagai warna negara dengan solusi-solusi kebijakan dari pemerintah. Padahal jika saja mereka mau lebih jujur, mereka bisa menjadi solusi dari masalah mereka sendiri. Inilah ‘dosa-dosa’ tersebut:

1.  Menggunakan BBM bersubsidi.
Mobil-mobil keluaran terbaru masih saja asyik-asyik mengantri BBM bersubsidi di SPBU. Pemandangan ini kita bisa saksikan setiap harinya di setiap wilayah di Jakarta. Mulai dari daerah pinggiran sampai pusat kota. Padahal harusnya subsidi lebih tepat untuk angkutan umum massal. Dengan ‘murah’-nya BBM ini, maka siapapun akan lebih senang naik mobil sendiri yang nyaman ber-AC alih-alih berdesak-desakan naik kendaraan umum. Toh, bagi mereka BBM masih terbeli...

2.  Menggunakan jasa joki 3in1.
Setiap pagi dan sore kita melihat para joki 3in1 berjejer di jalan-jalan menuju kawasan 3in1. Bahkan mereka sering kali mengambil satu lajur tersendiri, berdiri di tengah-tengah jalan untuk bersaing dengan sesama mereka. Dengan membayar Rp10-20 ribu (tergantung jarak & nego), para pengendara mobil bisa menggunakan jasa mereka untuk melewati kawasan 3in1 di Jakarta. Jika dilihat setiap hari, selalu ada saja yang menggunakan jasa para joki ini. Bahkan banyak dari para joki yang membawa anak kecil atau bayi untuk mendapatkan bayaran dobel. Kenapa joki ini semakin banyak dan semakin mengganggu pemakai jalan lainnya? Sesuai dengan hukum supply & demand, jika tidak ada yang menggunakan jasa mereka tentu lama-kelamaan mereka juga akan tidak ada. Padahal kebijakan 3in1 pada awalnya merupakan salah satu solusi dari pemerintah untuk mengatasi kemacetan Jakarta. Masyarakat banyak yang mengkritik bahwa kebijakan ini hanya memindahkan kemacetan saja dari kawasan 3in1 keluar kawasan tersebut. Jika memang dengan uang Rp10-20 ribu saja jalanan sudah bisa ‘dibeli’ apa lagi gunanya kebijakan ini?

3.  Masuk ke lajur busway.
Bicara tentang ketidakdisiplinan, masyarakat Jakarta mungkin juaranya. Bukan hanya masyarakat biasa yang nekat menerobos lajur busway, bahkan para pejabat dan menterinya pun ikut-ikutan. Saya mengamati ketika hari libur yang tidak macet pun, masih banyak kendaraan pribadi yang masuk ke lajur busway. Jadi buat saya alasan menghindari macet itu non-sense. Para pelanggar itu lebih ke mau enak sendirinya saja, mau serba instan! Di mana Polisi? Ah, lupakan polisi yang mungkin juga malas ikut-ikutan macet dan lebih baik ngadem di posnya. Padahal pada awalnya, keunggulan TransJakarta adalah karena lajur khususnya tersebut. Yang mampu menerobos, di tengah-tengah rimba kemacetan Jakarta. Alih-alih menggunakan TransJakarta, pengendara mobil malah masuk lajur khusus tersebut dengan mobil pribadinya...

4.  Menggunakan mobil-mobil tua.
Di Jakarta mobil-mobil terbaru sampai mobil berumur 30 tahun dengan bebas melenggang di mana pun, bahkan di jalan protokol. Mesti bisa dibedakan antara mobil antik dengan mobil tua. Mobil antik itu menjadi koleksi dan hanya dipakai jika ada event tertentu saja. Sedang di Jakarta lebih tepat disebut mobil tua karena dipakai untuk kebutuhan transportasi sehari-hari. Mobil tua di Jakarta ini beragam jenisnya, mulai dari sedan sampai pick-up pengangkut sayuran. Belum lagi jika ditambahkan angkutan umum macam Kopaja, Metro Mini dan angkot. Jika dilihat, banyak mobil tua ini yang sudah tidak layak jalan. Selain tidak nyaman juga membahayakan keselamatan penumpangnya. Di Jakarta, ajaibnya keselamatan sering kali diabaikan. Selain itu, mobil tua juga lebih boros secara bahan bakar dengan polusi yang ditimbulkannya. Mungkin idealnya, mobil yang ada di Jakarta tidak berumur lebih dari 10 tahun. Bisakah?

5.  Menggunakan alat komunikasi saat mengemudi
Mungkin hal ini dianggap sepele. Tapi dengan semakin maraknya kecelakaan lalu-lintas yang diakibatkan karena penggunaan alat komunikasi saat mengemudi mungkin masalah ini jadi semakin membesar. Apalagi media-media baru seperti Blackberry dan Twitter semakin banyak digunakan oleh masyarakat Jakarta. Kalau dilihat ada kemiripan dengan para pengendara sepeda motor. Yang naik motor SMS-an pakai Esia, yang naik mobil BBM-an atau Twitter-an pakai Blackberry. Padahal pemerintah juga telah membuat UU tentang hal ini, tapi ya lagi-lagi tetap saja dilanggar. Selain berisiko terjadinya kecelakaan lalu-lintas, penggunaan alat komunikasi saat mengemudi juga membuat bertambahnya kemacetan. Liat saja banyak mobil yang saat jalan kosong, jalan di tengah-tengah, kanan kiri goyang-goyang. Ternyata pengemudinya sedang asyik BBM-an. Ah, kiranya kemajuan teknologi malah membuat dampak yang buruk. Saya merindukan saat HP masih menjadi barang eksklusif dan mahal harganya...

            Mungkin akan banyak yang bertanya kepada saya, “lho, kok cuma mobil aja? Motor nggak?” Wah, kalo harus nulis tentang motor juga, mungkin bukan cuma jadi artikel. Tapi bisa-bisa jadi novel bersambung...
            Yang pasti tulisan ini tidak akan membuat Jakarta berkurang macetnya. Namun tulisan ini merupakan otokritik terhadap diri sendiri yang saat ini dan mungkin orang-orang sekitar saya. Di mana sekarang ini, dengan semakin mudahnya proses leasing untuk kredit sebuah mobil, membuat begitu banyak orang-orang yang berpenghasilan biasa-biasa saja tapi sudah bisa memiliki mobil. Belum lagi industri otomotif yang begitu kompetitif dan selalu dengan target-target muluk yang membuat para penjualnya berlomba-lomba untuk memenuhi target tersebut. Ah, baiknya saya tidur lagi dan bermimpi, semoga Jakarta menjadi kota yang ramah lingkungan dan tidak macet lagi seperti saat ini...