27 May 2009

Parkiran Motor di Jakarta

Kalo kemaren-maren saya menuliskan beberapa keluhan saya tentang pengendara motor yang ngawur, kali ini saya akan mengutarakan kekesalan sebagian pengendara motor tentang tata perparkiran motor di Jakarta.


Sudah menjadi rahasia umum bahwa kadang motor menjadi “anak tiri” di gedung-gedung perkantoran dan perbelanjaan di Jakarta. Banyak gedung yang tidak memperbolehkan motor masuk melalui jalan biasa melainkan harus melipir ke sisi-sisi nun jauh dari gedung tersebut.


Untuk gedung yang menyediakan lahan parker untuk motor juga banyak yang setengah hati melakukannya. Tempat terbatas atau jauh dari gedung utama. Sangat beda dengan perlakuan terhadap parkir mobil yang luas dan juga dilengkapi dengan Vallet Parking.


Di beberapa gedung di Jakarta misalkan di ITC Kuningan, parkiran motornya sangat-sangat tidak manusiawi. Jika tidak sangat-sangat terpaksa, saya tidak akan mau parkir motor di tempat tersebut. Lahannya yang tidak luas dan tidak sebanding dengan motor yang parkir. Akibatnya banyak motor yang parkir parallel dan mengakibatkan motor lain susah sekali untuk lewat. Belum lagi karena banyak yang memaksakan untuk parkir, banyak motor yang terbaret oleh motor lainnya. Anehnya pihak pengolala sama sekali tidak melarang motor baru yang akan masuk padahal di dalam sudah penuh dan sempit. Motor benar-benar terlihat saling tumpuk menumpuk seperti ikan asin!


Padahal jika mau dikalkulasi secara bisnis, lahan parkir motor lebih menguntungkan dari lahan parkir mobil. Anggaplah satu mobil memerlukan lahan parkir 3.5 x 2.5 meter. Maka pengelola akan mendapatkan pemasukan Rp 2.000/jam nya. Sedangkan untuk lahan parkir dengan dimensi yang sama, pengelola akan bisa menampung 4 motor (tanpa desak-desakan) sehingga menghasilkan 4 x Rp 1.000/jam nya. Di mana berarti 2x lebih banyak dari pada parkiran mobil. Tapi tetap saja saya jarang menemui lahan parkir motor yang luas di Jakarta.


Belum lagi banyak lahan parkir luar ruang yang tidak dilengkapi dengan canopy sehingga jika hujan datang maka akan membuat basah kuyup helm atau pun jaket para pengendara motor yang kebetulan ada di motor mereka.


Di beberapa mal di Jakarta, misalkan di FX dan PIM, lahan parkir motor sangatlah jauh dari tempat perbelanjaan tersebut. FX mempunyai lahan parkir di belakang Hotel Atlet sedangkan PIM mempunyai lahan parkir di samping Masjid Raya Pondok Indah. Sungguh berbeda dengan lahan parkir mobil yang begitu dekat dengan pintu masuk. Bayangkan jika ada seorang ibu yang habis berbelanja bulanan dan harus membawa lebih dari 5 buah kantong plastik menuju parkiran motor!


Di beberapa gedung juga (parahnya) sama sekali tidak menyediakan lahan parkir untuk motor sehingga mengakibatkan timbulnya lahan parkir liar di sekitar gedung tersebut. Bukan saja melanggar ketertiban karena motor-motor tersebut diparkit di jalanan atau trotoar yang harusnya jadi hal para pejalan kaki, tapi juga rawan dengan pencurian kendaraan bermotor.


Sungguh, parkiran motor di Jakarta adalah sebuah mimpi buruk bagi para pengendara motor di Jakarta…


*gambar diambil tanpa izin dari pranowosu.wordpress.com

22 May 2009

Pelanggaran itu terjadi di depan petugas!

Mengamati lagi fenomena pengendara motor di Jakarta. Bahwa baik pengendara mau pun petugas saat ini sudah semakin masa bodoh dengan segala bentuk peraturan yang ada.


Setiap hari sudah menjadi langganan bahwa kita melihat motor melewati garis pembatas di setiap lampu merah. Tak jarang juga ada mobil yang melakukan hal yang sama. Dan lucunya, petugas ada di depan mereka tanpa memperdulikan hal yang terjadi. Pelanggaran itu terjadi di depan petugas!


Dari sisi pengendara, hal itu akan menjadi kebiasaan karena seakan-akan itu hal yang lumrah dan bukan merupakan pelanggaran. Dari sisi petugas, hal itu akan mengurangi kewibawaan para penegak hukum di negeri ini. Anehnya, banyak petugas-petugas lainnya bermotor besar yang siap "menjebak" para penerobos lampu merah. Seakan-akan mereka selalu sigap dengan bersembunyi di balik pohon besar.


Kalo mau tegas ada baiknya jangan tebang pilih atau pun demi kepentingan pribadi. Peraturan tetaplah peraturan dan bukan untuk dilanggar, dimusyawarahkan di tempat, atau menjadi lahan pungutan liar!


Rabu sore yang lalu, di sebuah kawasan Cilandak, saya melihat seorang marinir yang bertugas mengatur lalu lintas (Cilandak memang dekat dengan markas mereka). Marinir ini begitu tegas mengatur lalu lintas. Tidak menilang, tapi dengan galak mengatr angkot-angkot dan motor yang memang ngawur. Saya melihat polisi lalu lintas malahan bertugas di wilayah yang lebih jauh yang sudah berkurang kemacetannya. Apakah kita perlu mengganti semua polisi lalu lintas dengan marinir untuk bisa lebih tertib?


*gambar diambil tanpa izin dari http://darwinarya.wordpress.com/2008/04/

21 May 2009

Hi-Tech, Hi-Touch, Where is Indonesia?

Tahun 95, saya sempet kaget banget waktu mobil TIMOR dipasarkan.
Apa? Indonesia udah bisa bikin mobil? Hebat banget!!! Itu yang pertama kali sayapikirkan, kaget, gak percaya sekaligus bangga. Negeri yang katanya negeri agraris ini ternyata bisa bikin mobil juga, gak kalah dengan negara-negara industri Asia timur, Jepang dan Korea. Kesannya hi-tech banget gitu loohhh...


Walau akhirnya saya tau bahwa itu cuma adaptasi merek dari KIA Korea... hehehe

Saya melihat, bangsa ini sedang berlomba-lomba untuk menjadi sebuah bangsa yang hi-tech. Internet di mana-mana, gadget mania, blackberry, wi-fi aka hotspot,bluetooth, iPod, Archos, PSP, MP3, 8 mega pixelcybershot, layar TFT... Whoooiii... kata-kata yang kayaknya hebat dan keren banget. Yang dengan menyebutkannya, akan terlihat menjadi orang yang ngerti teknologi dan gak bakalan disebut gaptek!


Hi-tech alias teknologi tinggi (katanya). Dan memang saya mengakui kemajuan teknologi di berbagai bidang sangat membantu aktivitas setiap hari. Mulai dari email, browsing cari gambar, nulis di blog, sampai gak perlu lagi nyetel CD Audio karena MP3 copy-nya udah ada di dalam hard disk. Mau jeprat-jepret belajar fotografi juga gak perlu ribet dan mahal lagi karena kamera sudah gak pake film lagi, digital gitu loohhh... Tinggal klik, cepret lalu foto bisa langsung dilihat di kamera langsung, kalo gak suka tinggal hapus, kalo suka bisa langsung di pindahin ke komputer lewat USB, trus langsung dipamerin ke temen-temen lewat mailing list...


Satu hal yang saya perhatikan dari semua itu. Indonesia cuma jadi bangsa pengguna, dan bukan pencipta. Cuma bisa membeli, memakai, dan kalo rusak tinggal bawa ke service center. Gak tau kenapa deh Indonesia gak bisa menciptakan kamera digital sendiri dengan merek lokal. Atau saya berharap banget Indonesia suatu saat nanti bisa bikin mobil sendiri, bener-bener sendiri dengan bahan baku lokal, bukan cuma adaptasi merek, atau sekedar jadi pabrikan karoseri. Padahal katanya bijih besi Indonesia adalah yang terbaik di dunia!


Saya juga suka miris kalo beli segelas frappucino di Starbucks seharga 35 ribu rupiah. Gila!! bisa dapet 20 gelas kopi tubruk kampung kalo saya belinya di warung Indomie Pak Kumis deket rumah. Padahal ternyata setelah saya baca sebuah buku tentang Starbucks, mereka dapetin bahan kopi dari Sumatra, kopi terbaik dunia katanya. Saya pikir selama ini mereka dapetin dari kopi Brazil, yang katanya produsen kopi terbesar dunia. Hmmm... kopi terbaik dunia dari Indonesia, dibawa lewat kapal menuju Amerika, diproses dengan teknologi tinggi lalu dikemas dengan kantong-kantong alumunium kedap udara kembali ke Indonesia untuk kemudian menjadi segelas frappucino dengan harga 35 ribu! Sebuah proses yang panjang dari proses minum kopi...


Swiss, yang terkenal dengan cokelat-nya, ternyata sama sekali gak punya perkebunan cokelat! Semua bahan baku diimport dari Malaysia dan Indonesia. Setelah jadi, dibungkus dengan merek Delfi dan Cadbury, dijual lagi ke Indonesia dengan harga yang berlipat-lipat!


Sebenernya saya melihat bahwa bangsa ini gak punya sejarah buat yang namanyaHi-tech... jadi jangan ngimpi deh Indonesia bakal bisa bikin mobil sendiri... ato bikin kamera digital lokal. Tapi bangsa ini punya tradisi Hi-touch... apa aja yang dipegang sama bangsa ini, dibuat secara telaten dengan sentuhan yang personal dan proses pembuatan yang lumayan lama, bakal laris manis di pasaran. Orang-orang Jawa sudah bisa bikin keris yang maha hebat dari jaman Singosari/Tumapel... Mpu Gandring dengan masterpiece-nya, yang akhirnya sanggup membunuh Tunggul Ametung dan bahkan Ken Arok sendiri. Saya yakin, seyakin-yakinnya, bahwa karya metalurgi anak bangsa saat itu sudah bisa disejajarkan oleh hasil karya bangsa eropa, pedang King Arthur, atau kapak para bangsa viking...


Bangsa agraris ini juga mampu menghasilkan padi terbaik dunia, seperti legenda Dewi Sri yang cuma ada di Indonesia, menandingi padi dari negeri Gajah Putih dan padi dari tanah Vietkong. Karet terbaik, yang akhirnya sekarang dipakai sebagai standar sol sepatu sport merek dunia seperti Nike dan Adidas. Sawit Sumatra, yang menurut saya terbaik. Sayang pengolahannya kalah oleh Malaysia. Lada hitam, dan rempah-rempah lainnya. Bahkan negara-negara Eropa berlomba-lomba untuk menguasai Indonesia, dengan tujuan rempah-rempah pastinya.

Ada satu yang sampai saat ini menjadi terkenal seantero dunia. Batik! Selembar kain mori yang kemudian dibatik secara manual oleh Mbok-mbok dapat berharga sampai puluhan juta rupiah. Bisa dibandingkan dengan sutra negeri Panda, atau kain sari dari India. Jelas semua produk di atas gak bakalan mungkin diproduksi secara massal kalo ingin mendapatkan hasil yang sempurna. Secara harga juga akan bisa berlipat-lipat kali dari harga sebuah kain yang diproduksi secara massal.



Sayangnya dari hari ke hari, orang-orang yang mampu menghasilkan produk Hi-Touch ini makin langka, kalo gak mau disebut sebagai PUNAH. Sang anak tak mau lagi meneruskan usaha batik ayahnya, lebih senang kuliah di San Fransisco, dan pulang-pulang kerja di Texmaco sebagai product manager.


Kita adalah apa yang kita mau!


Perpaduan Hi-tech dan Hi-touch sesunguhnya akan menjadi sebuah kekuatan yang dasyat. Hi-tech tetap harus dijaga nilai-nilai manusianya. Hi-touch harus dikelola dengan baik dan benar sehingga tak cuma jadi benda langka dan masuk ke museum, bukan mal. Saya bangga sama Indonesia yang punya Yongki Komaladi, yang bisa bikin sendal dan sepatu keren. Atau Edward Forrer (nama bule, lokal asli) yang udah punya outlet di Aussie. Batik Keris, yang udah bikin Dept Store sendiri kayak Metro atau Sogo. Kopi Tator di Plaza Senayan dan Dharmawangsa Square yang mengimbangi kedigjayaan Starbucks (di Dharmawangsa Square gak ada Starbucks lho!). Album Jezz-nya Karimata (Jezz = Ethnic Jazz).


Pokoknya gak ada cerita lagi tuh malu pake merek lokal. Harusnya kita bisa bangga, karena semua merek lokal itu dibuat dengan bahan baku (benar-benar) lokal. Tapi kita juga mesti sadar, bahwa merek-merek lokal harus di dukung oleh yang namanya Hi-touch negara asing. Tator pasti mesti punya mesin espreso buatan Jerman. Mesin-mesin canggih pembuat sendal dan sepatu dari Jepang. Serta studio rekaman dengan peralatan canggih dari Amerika yang dipakai oleh Karimata.


Yang pasti kebanggaan mesti ada di dada. Karena Indonesia bukanlah bangsa yang Hi-tech, tapi kita sangat unggul dalam masalah Hi-touch... Jadi, gak ada lagi tuh yang namanya impor beras dari Thailand... hehehe

19 May 2009

'Autisme' Jenis Baru

Belum lama saya menulis di Politikana tentang penggunaan ponsel di tempat umum, saat ini saya sedang melihat sebuah gejala baru yang terjadi di Jakarta (dan sepertinya juga di kota-kota lainnya).


Beberapa kali saya menemui para pengguna sepeda motor yang "anti-klakson", tidak minggir atau pun peduli jika ada yang mengklakson dirinya. Padahal seringkali mereka jalannya "nggak bener" dan mengganggu pengguna kendaraan lain. Jalan di tengah-tengah dengan kecepatan rendah, atau lampu sign kanan tapi belok kiri.


Ternyata setelah saya berhasil mendahului (atau pun jika mengklakson terus-menerus), saya baru mengetahui bahwa pengendara motor ini memakai earphone (yang berupa earplug) saat mengendara. Pantesan aja gak denger, kuping disumpel gitu!


Semenjak portable MP3 player berharga terjangkau, bahkan ponsel berharga 500 ribu pun sudah bisa memutar MP3, kini banyak orang yang memakai earphone di tempat umum. Salah satunya ya sambil mengendarai motor tersebut.


Padahal ketika kita mendengarkan musik dari earphone tersebut, maka seseorang seperti memiliki "dunianya" sendiri. Salah satu 'autisme' jenis baru di Jakarta. Mereka akan cuek dan tak peduli akan sekelilingnya. Asyik sendiri dengan musik yang didengarnya.


Hal ini mungkin tak akan menjadi masalah jika orang tersebut mendengarkan earphone di busway atau mal,  tapi jika digunakan saat di jalan raya apalagi saat berkendara di mana dibutuhkan kepekaan indra pendengaran pula, maka akan sangat membahayakan diri sendiri tentunya.


Perlukah dibuat peraturan untuk hal itu? Atau ada yang punya data berapa kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh "orang autis" tersebut? 

07 May 2009

Mobil Dinas Pak Tentara

Dulu, waktu saya SMA... punya seorang temen yang bapaknya seorang tentara. Tiap pagi, teman saya itu selalu diantar ke sekolah oleh ajudan bapaknya. Saya masih ingat betul mobilnya adalah sebuah Toyota Land Cruiser dengan plat nomor berbintang dua di bagian depan dan belakangnya. Saya membayangkan alangkah gagahnya seorang tentara yang naik mobil dinas seperti itu.


Belakangan, saya sering melihat di jalan-jalan berseliweran mobil dinas tentara dalam bentuk sedan. Bukan hanya perwira tinggi yang memilikinya, namun juga perwira menengah. Mulai dari Lancer sampai Camry. Hmmm... saat itu saya melihat kok ada yang janggal ya. Tentara kok naik sedan? Padahal tentara itu kan harusnya gagah dan berwibawa ya...


Buat saya, sedan itu identik dengan pengusaha atau pun bidang pekerjaan lain yang di luar kerjaan lapangan. Terlalu cantik dan stylish sepertinya. Gak cocok banget buat tentara.


Harga? Hmmm... banyak mobil-mobil jenis jip (merek jeep atau lainnya) yang harganya mungkin lebih mahal dari sedan-sedan standar. Jadi kenapa ya banyak mobil dinas tentara sedan saat ini?


Sekedar usulan yang sangat subyektif nih, gimana kalo mobil dinas tentara kalo bisa jangan sedan. Untuk perwira menengah mungkin bisa pake mobil sejenis kijang atau nissan terrano/x-trail atau bisa juga ford escape. Untuk perwira tinggi bisa Land Rover, Land Cruiser atau Hummer lah buat para panglima. Pasti lebih oke!

Mau apa Mahasiswa?

Tertarik dengan artikel Aksi Mahasiswa,
setiap pagi akan berangkat ke kantor  saya melewati sebuah kampus di daerah rawamangun... kampus calon pendidik katanya



setiap pagi itu pula saya harus berkendara ekstra hati-hati karena banyak mahasiswa yang lalu lalang menyeberang jalan. ironisnya, tepat di atasnya pula terdapat sebuah jembatan penyebrangan yang menguhubungkan pula ke sebuah halte busway. tak jarang pula saya melihat banyak mahasiswa yang langsung loncat dari halte busway tersebut... tak mau capek-capek lewat jembatan penyeberangan.
saya tak habis pikir, mereka mahasiswa, calon pendidik pula... tapi tak bisa menjadi contoh orang lain disekitarnya...


Kasus ini saya ambil dari hal yang paling sederhana...
tak usah jauh-jauhlah masalah demo mahasiswa yang pada akhirnya cuma membuat macet jalanan, tuntutan yang tidak jelas, dan membolos jam kuliah...

Ah, saya juga pernah jadi mahasiswa... 

05 May 2009

Merah Putih, riwayatmu kini

Setiap tahun, kita wajib mengibarkan bendera merah putih, yang merupakan bendera kebangsaan, dalam rangka memperingati HUT NKRI. Saat sekolah pun, setiap senin pagi ada upacara pengibaran bendera merah putih tersebut. Hal tersebut juga berlaku di kantor-kantor pemerintahan.
Namun sesungguhnya, apakah saat ini bendera merah putih cuma menjadi ritual dan rutinitas belaka? Padahal sejak dari sekolah dasar kita telah diajarkan tentang makna merah putih itu sendiri. Merah diartikan berani, putih diartikan suci. Merah dan putih yang bersatu, menjadi kemerdekaan Indonesia.
Menurut wikipedia edisi Bahasa Indonesia, bendera merah putih memiliki arti:
Bendera Indonesia memiliki makna filosofis. Merah berarti berani, putih berarti suci. Merah melambangkan tubuh manusia, sedangkan putih melambangkan jiwa manusia. Keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan untuk Indonesia.
Ditinjau dari segi sejarah, sejak dahulu kala kedua warna merah dan putih mengandung makna yang suci. Warna merah mirip dengan warna gula jawa/gula aren dan warna putih mirip dengan warna nasi. Kedua bahan ini adalah bahan utama dalam masakan Indonesia, terutama di pulau Jawa. Ketika Kerajaan Majapahit berjaya di Nusantara, warna panji-panji yang digunakan adalah merah dan putih (umbul-umbul abang putih). Sejak dulu warna merah dan putih ini oleh orang Jawa digunakan untuk upacara selamatan kandungan bayi sesudah berusia empat bulan di dalam rahim berupa bubur yang diberi pewarna merah sebagian. Orang Jawa percaya bahwa kehamilan dimulai sejak bersatunya unsur merah sebagai lambang ibu, yaitu darah yang tumpah ketika sang jabang bayi lahir, dan unsur putih sebagai lambang ayah, yang ditanam di gua garba.

Selain arti filosofis di atas, warna merah dan putih ternyata juga digunakan sebagai simbol perjuangan oleh banyak daerah di nusantara pada masa penjajahan Belanda.
Selain itu, bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun memakai warna merah putih sebagai warna benderanya , bergambar pedang kembar warna putih dengan dasar merah menyala dan putih. Warna merah dan putih ini adalah bendera perang Sisingamangaraja XII. Dua pedang kembar melambangkan piso gaja dompak, pusaka raja-raja Sisingamangaraja I-XII.

Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.
Di jaman kerajaan Bugis Bone,Sulawesi Selatan sebelum Arung Palakka, bendera Merah Putih, adalah simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan Bone.Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang.
Pada waktu perang Jawa (1825-1830 M) Pangeran Diponegoro memakai panji-panji berwarna merah putih dalam perjuangannya melawan Belanda.

Hal tersebut menunjukkan bahwa secara “tidak sadar” rasa nasionalisme banyak suku di Indonesia telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Merah putih mempunyai arti dan semangat yang sama pada saat itu.
Sayangnya, saat ini telah terjadi pergeseran makna dan nilai-nilai dari merah putih itu sendiri. Dulu merah berarti berani, terhadap penjajahan, terhadap diskiriminasi, kesewenangan dan penindasan terhadap bangsa Indonesia. Saat ini, berani sering kali diartikan menurut definisi pribadi masing-masing seperti:
Berani melawan “ketidakadilan” menurut versinya sendiri ketika kalah dalam pemilu.
  • Berani melawan wasit ketika diganjar kartu kuning/merah dipertandingan sepak bola.
  • Berani tawuran melawan anak-anak SMK/STM yang suka lewat di depan sekolahannya.
  • Berani menggusur pasar tradisional tanpa ganti rugi yang memadai.
  • Berani melawan komandannya dan kemudian mengamuk membabi buta.
  • Dan masih banyak lagi "berani" menurut versinya masing-masing.

Putih pun demikian, jika dulu putih diartikan sebagai suatu kesucian. Bahwa perjuangan dulu melawan penjajah adalah murni dan suci untuk kemerdekaan bangsa, tanpa dikotori oleh kepentingan golongan/kelompok apalagi kepentingan pribadi. Namun saat ini kiranya suci telah diartikan secara sepihak seperti:
  • Merazia klub-klub yang dianggap maksiat tanpa memberikan solusinya.
  • Menganggap suci kelompoknya sendiri dan mendemo kelompok lain yang dianggap menyimpang dari bentuk kesucian itu.
  • Banyak berderma dan melakukan kegiatan sosial untuk menutupi banyak bisnis ilegalnya.
  • Segala macam bentuk terorisme dalam nama agama.
  • Segala bentuk konflik atas nama agama.
  • Dan masih banyak lagi “suci” menurut versinya masing-masing.
Ah, kiranya baru 63 tahun Indonesia merdeka telah banyak sekali terjadi pergeseran-pergeseran makna akan merah putih. Mungkin saatnya kini, kita semua, apapun kelompok dan golongan kita, jika kita merasa masih berhak untuk mengibarkan Sang Merah Putih, maka kita perlu merumuskan kembali arti dari merah putih tersebut.

27 April 2009

Kolom agama pada KTP. Masih perlukah?

Sering saya bertanya-tanya, apakah kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk masih diperlukan? Hal-hal inilah yang menjadi dasar pertanyaan saya tersebut:

- Pada masa lalu, di saat ada kerusuhan/pertikaian antar agama di Maluku, sering terjadi razia KTP di jalan oleh kelompok yang bertikai. Jika tercantum agama yang berbeda dengan kelompok tersebut, maka orang tersebut akan dibantai beramai-ramai.


- Jika seseorang mengalami kecelakaan di jalan, kolom golongan darahnya akan lebih bermanfaat ketimbang kolom agama karena dengan demikian dapat diketahui dengan cepat jika dibutuhkan pertolongan transfusi darah.


- Jika negara memang membebaskan rakyatnya dalam memeluk keyakinan (seperti tercantum dalam pasal 29 UUD  1945) maka harusnya boleh ditulis selain dengan 5 agama yang diajarkan di sekolah, misalkan Konfusianisme, Taoisme, Shinto, Sikh, Saintologi, Zoroastrianisme atau bahkan yang gampang sajalah... Kejawen. Tapi tampaknya hal itu tidak pernah terjadi.


- Untuk warga negara yang atheis atau agnostik juga akan membingungkan mengisi kolom tersebut. (walau memang tak sesuai dengan UUD 45 Pasal 29 ayat 1).


Hal-hal tersebut yang menyebabkan saya berfikir apakah sebaiknya kolom tersebut dihilangkan saja?

Saya pernah protes ketika mengisi sebuah formulir di bank yang mencantumkan kolom agama. Saya bilang kepada petugasnya, buat apa ini kolom agama? Emang ada hubungannya sama rekening seseorang?

Untunglah petugas tersebut memberikan saya jawaban yang memuaskan. Katanya... itu nanti untuk mengirimkan kartu ucapan kepada nasabah pada hari besar keagamaan yang bersangkutan. Make sense!


Lalu di KTP untuk apa? Toh pemda tak pernah mengirimkan kartu ucapan kepada warga yang merayakan hari besar keagamaannya...



*gambar diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/KTP

21 April 2009

Pemerintah dan Ponsel


Di suatu pagi ketika saya hendak berangkat ke kantor, jalanan sudah mulai ramai. Di depan saya tambak sebuah motor skutik yang jalan mengsal-mengsol, kenceng nggak pelan juga nggak. Padahal di depannya tidak tampak kendaraan lain. Karena tak sabar, saya kemudian berusaha mendahului motor tersebut dan saat itu saya melihat si pengendara motor sedang asyik membalas SMS sambil tetap berkendara.
***
Pada hari minggu pagi, ketika saya sedang berada di gereja dan misa baru saja dimulai. Kitab suci baru saja dibacakan dan tepat saat itu pula terdengar sayup-sayup lagu Kris Dayanti yang makin lama makin keras di belakang saya. Dengan penasaran saya menengok ke belakang dan tampaklah seorang ibu yang sedang panik merogoh tasnya. Ternyata lagu tersebut berasal dari panggilan ponselnya yang lupa disilent sebelum misa dimulai.
***
Di sebuah pasar swalayan, saya sedang melihat-lihat rak untuk mencari barang yang saya akan beli. Tiba-tiba... bruk!!! Seorang ibu menabrak saya dan membuat keranjang belanja yang saya pegang terjatuh. Ibu tersebut juga mengelus-ngelus kepalanya yang secara reflek terkena tangan saya. Tanpa bicara apa-apa dan malahan sambil merengut ibu tersebut berlalu dari hadapan saya sambil meneruskan ber-sms ria.
***
Saat itu kebetulan saya sedang naik transjakarta untuk berangkat ke kantor. Karena sudah lumayan siang maka semua penumpang kebagian tempat duduk. Tepat di depan saya ada seorang ibu yang tampak keletihan, tak tau dia dari mana, dan tampaknya sangat mengantuk. Tiba-tiba seorang bapak di samping ibu tersebut mendapat panggilan dari ponselnya. Tak mengerti apa yang dibicarakan, karena bicara dalam bahasa daerah, si bapak berbicara dengan volume yang kencang sekali sampai-sampai si ibu terkaget-kaget dan lepas dari rasa kantuknya. Hampir setiap orang yang ada di bus melihat ke arah si bapak tersebut, namun dengan cueknya si bapak melanjutkan bicaranya di ponsel... tetap dengan suara kerasnya.
***
Sepertinya masih banyak lagi kejadian yang kita alami sehari-hari yang berhubungan dengan ponsel dan kita merasa terganggu dengannya. Bisa di jalan, di masjid atau yang paling dekat di ruang mitinglah. Kejadian tersebut sering membuat saya bertanya-tanya dalam hati... Itu orang gak tau atau sengaja sih? 
Ponsel seharusnya menjadi wilayah privat seseorang yang harusnya pula tidak mengganggu wilayah publik. Kesadaran individu yang masih kurang sehingga terjadi benturan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum.
Tidak sedikit kejadian yang kemudian merugikan di penelpon. Risiko kecelakaan lalu lintas juga meningkat seiring dengan penggunaan ponsel di jalan raya. Mungkin karena hal tersebut akhirnya Pemda DKI mengeluarkan Perda tentang larangan menggunakan ponsel di jalan raya (ada yang tau Perda nomor berapa?). Namun tampaknya keseriusan aparat dalam menjalankan Perda tersebut masih sangat kurang. Saya adalah orang yang awam hukum, sehingga tau aparat mana yang berwenang untuk menindak ketika terjadi pelanggaran Perda tersebut. Apakah pihak kepolisian atau pihak pemda atau DLLAJR?
Mungkin pula Perda tersebut tidak jalan karena kurangnya sosialiasi ke masyarakat. Karena sampai saat ini saya masih menyaksikan pelanggaran Perda tersebut di mana-mana, bahkan oleh orang-orang terdekat saya.
Mungkin selain Perda perlu adanya kesadaran dari masing-masing individu tentang hal tersebut. Selain mengganggu orang lain, juga bisa berbahaya buat dirinya sendiri. Sesuatu yang baik (walau kadang sulit) memang harus dimulai. Minimal dari diri saya sendiri...

Pelanggaran Kolektif

Hidup di Jakarta mesti sabar. Walau pun sudah ada banyak peraturan yang dikeluarkan oleh pihak PEMDA, tapi ternyata masih banyak juga yang secara kolektif melanggarnya. Pelanggaran kolektif ini seakan biasa yang terjadi di mana-mana. Para pelanggar merasa berbagi "rasa berdosa" bersama terhadap para pelanggar lainnya. Dan jika suatu saat tertangkap oleh petugas, para pelanggar malahan menyalahkan petugas karena tidak menindak pelanggar yang lain.


Lihat saja para orang kaya berpendidikan yang sampai hari ini masih mengendarai mobilnya melalui lajur busway. Kemacetan selalu menjadi alasan. Padahal dengan melanggar peraturan tersebut bukan berarti juga menghilangkan kemacetan yang ada. Anehnya, lajur buway yang awalnya kosong bisa tiba-tiba menjadi ramai jika satu mobil saja masuk ke dalamnya... Spontan mobil-mobil lain ikutan melanggar dan masuk ke lajur busway. Dari yang tadinya pelanggaran personal menjadi pelanggaran kolektif.


Para pejalan kaki juga suka sembarangan menyeberang jalan. Tak peduli apakah zebra cross ada di sana. Padahal (terutama malam hari) hal itu sangatlah membahayakan pejalan kaki itu sendiri. Tak sedikit para penyebrang liar yang akhirnya tertabrak oleh mobil yang melintas. Beberapa tahun yang lalu saya menyaksikan sendiri seorang anak sekolah yang tergeletak penuh luka setelah tertabrak kencang oleh sebuah sedan saat dia sedang menyebrang secara liar.


Yang paling parah adalah sepeda motor. Produsen sepertinya kelupaan menaruh rem di produk yang dijualnya sehingga motor-motor itu melaju seenaknya seakan tak mempunyai rem. Salib sana salib sini tanpa memperdulikan pengguna jalan lain. Di beberapa daerah malahan sering tampak sepeda motor tak berlampu yang mengebut di malam hari. Dan yang sunggu ajaib adalah... beberapa hari yang lalu saya dan teman-teman sedang menunggu taksi di trotoar jalan depan kantor. Tiba-tiba dari arah kanan saya dikagetkan oleh sepeda motor yang melaju begitu saja... kocaknya sepeda motor lain di belakangnya mengikuti dengan membunyikan klanson.. tin tiiiinnn... sepertinya itu memang jalur kendaraan bermotor. Sepertinya di Jakarta berjalan di trotoar bukan lagi menjadi hal yang aman...


Gambar diambil dari http://media.vivanews.com/images/2008/10/10/55406_macet_jakarta.jpg

16 April 2009

Menegaskan kembali arti Pancasila

Menanggapi maraknya tulisan tentang Khilafah Islamiyah membuat saya tergelitik untuk mempelajari lebih lanjut tentang hubungan antara agama dengan kekuasaan (negara). Mempelajari sejarah adalah salah satu metode untuk mengetahui sejauh mana praktek hubungan antara agama dengan kekuasaan yang pernah terjadi di muka bumi ini.

Fakta berbicara bahwa agama akan kehilangan fungsi prophetis atau kenabiannya setelah ”berselingkuh” dengan kekuasaan. Agama yang berada dalam subordinasi kekuasaan akan menjadi “alat legitimasi” dari kekuatan politik yang berkuasa. Sedangkan agama seringkali meminjam tangan kekuasaan untuk memaksakan kebenaran teologisnya.

Ketika Kaisar Konstantin mendeklarasikan bahwa Kristen menjadi agama negara, maka saat itu pula Kristen naik kelas dari agama rakyat menjadi agama negara dengan segala atribut kebanggaannya. Pada saat itulah sejarah membuktikan bahwa terjadi penindasan demi penindasan yang dilakukan oleh Kristen yang satu terhadap Kristen lain yang dianggap berseberangan aliran dengan dinyatakan sebagai sesat. Bahkan banyak terjadi pula penindasan secara fisik terutama di Gereja-Gereja Timur. Pada saat itulah tentara Arab Muslim menjadi pembebas bagi gereja-gereja yang tertindas.

Sayangnya kemudian sejarah terulang, ketika akhirnya Islam menjadi status quo yang mendukung dinasti Ummayah, seperti pada pemerintahan Kalifah Umar bin Abd al-Aziz yang terkenal adil di kalangan rakyat jelata, tetapi dalam masalah agama sangat diskriminatif terhadap orang-orang Yahudi dan Kristen saat itu.

Kemudian muncullah ide pemisahan agama dengan negara yang sering dicap dengan sebutan ”sekuler”. Penerapan ”sekuler” dunia barat ini menjadi ekstrem dengna benar-benar mensterilkan penyelenggaraan negara dari moral dan nilai-nilai agama. Pada awalnya, istilah sekularisasi ditujukan untuk ”menghantam” kekuasaan yang mendewakan raja dan negara. Dalam kekuasaan absolut tersebut, agama dijadikan justifikasi untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan. Raja sudah menjadi tuhan-tuhan kecil begitu juga Paus mempunyai kekuasaan seperti raja.

Mengingat dua hal tersebutlah kemudian para Bapak Bangsa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia. Dalam hal ini, Pancasila dimaksudkan untuk menghindari ”sekularisme” dan juga negara agama. Dalam hal ini sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa diartikan oleh Th. Van Leewen sebagai ”hubungan antara negara dan agama dapat dipertahankan tanpa harus memproklamasikan sebuah negara Islam.”

Melalui Pancasila pula Indonesia dapat keluar dari blok kapitalis dan komunis yang saat itu pernah dirasakan sebagai ”raksasa” yang menggencet negara-negara berkembang. Kita juga dapat melihat dari sejarah bahwa isu agama bisa memecah-belah. Lihatlah perpecahan Belanda dengan Belgia yang terjadi karena faktor perbedaan agama. Pakistan juga telah memisahkan diri dari India karena alasan yang sama.

Sejarah membuktikan bahwa tidak ada kejahatan yang melebihi kejahatan yang digerakkan oleh sentimen keagamaan. Sebut saja perang salib, inkuisisi Gereja Katolik di Spanyol pada abad ke-15 M, dan yang terakhir adalah gerakan terorisme yang digerakkan oleh paham fundamentalis Islam yang masih marak beberapa tahun belakangan ini.

Kembali ke Indonesia, bahwa saatnya kita menegaskan kembali arah kebangsaan kita melalui Pancasila yang secara ideologi jelas ”bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler”. Hal ini dapat dilihat dengan kenyaataan bahwa walaupun jumlah Islam di Indonesia adalah mayoritas namun tidak mencantumkan Islam sebagai ”agama negara” sekaligus memberlakukan syariat-syariatnya sebagai undang-undang kenegaraan.

Sebaliknya yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah ”bukan negara sekuler” adalah dengan dibentuknya Departemen Agama yang tujuannya adalah untuk memayungi semua agama yang ada di Indonesia. Dengan lembaga ini, negara bukanlah tidak memberikan tempat sama sekali kepada agama namun pada batas-batas tertentu memberikan fasilitas dan jaminan kepada warga negaranya untuk melaksanakan keyakinan agamanya masing-masing.

Perlu ditekankan bahwa Negara Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan penegakan syariah, asalkan ditempatkan pada konteks ”wilayah privat” warga negara karena Indonesia ”bukan negara sekuler”. Sebaliknya karena Indonesia ”bukan negara agama” maka kanonisasi syariah atau pemberlakuan syariah sebagai hukum positif (undang-undang) oleh tangan kekuasaan negara haruslah dihindari.

Semoga kita semua makin menghargai hubungan antara agama dengan negara secara tepat tanpa memikirkan kepentingan pribadi atau golongan belaka.

14 April 2009

Kenapa saya memilih Golkar?

Banyak teman-teman yang mempertanyakan kebenaran hal tersebut. Dan dengan yakin saya menjawab, Ya benar! Kenapa memangnya? Dalam demokrasi sah-sah saja kan mempunyai political view-nya masing-masing... Walau pun 14 tahun yang lalu saya memang tercatat sebagai anggota DPC Golkar Jakarta Barat, namun saat ini saya sama sekali tidak aktif dalam parpol apapun...

Ada beberapa hal yang menyebabkan saya memilih Golkar

1. Saya HANYA akan memilih parpol yang berasaskan Pancasila dalam AD/ART-nya. Bisa apa saja... Golkar, Demokrat, PDIP bahkan Gerindra atau Hanura. Buat saya, bukan sebuah pilihan tepat untuk menggabungkan antara agama (ruang pribadi) dengan politik (ruang publik) di saat Indonesia adalah negara yang plural.

2. Saya HANYA akan memilih parpol yang tidak mengkultuskan individu. Kaderisasi dalam Golkar sudah jalan dan tidak bergantung kepada ketenaran-ketenaran semu individu di dalamnya. Siapa pun bisa keluar dari Golkar kapan saja, dan Golkar tak akan mati karena itu. Sebut saja, nama Edi Sudrajat yang keluar dari Golkar saat kalah dalam pemilihan Ketua Umum melawan Akbar Tandjung, yang kemudian mendirikan PKP (sekarang PKPI).

3.
Saya HANYA akan memilih parpol yang berjiwa besar. Golkar pernah berbuat kesalahan di masa lampau. Akbar Tandjung pernah menyatakan itu di depan umum dan meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas kesalahan-kesalahan tersebut. Dalam pandangan saya, Golkar sudah jauh berubah ketimbang masa Orde Baru. Dan dalam hal tersebut, Golkar sudah menunjukkan jiwa yang besar serta berusaha memperbaiki Indonesia.

4. Saya HANYA akan memilih parpol yang secara kualitas dan pengalaman mampu menjadi penyeimbang kekuasaan eksekutif. Buat saya, SBY masih pas untuk melanjutkan pemerintahan 5 tahun ke depan. Dalam hal ini, Golkar menjadi penyeimbang kekuasaan legislatif terhadap eksekutif. Sangat disayangkan jika eksekutif dan legislatif dipegang oleh partai yang sama. Jangan sampai ada Golkar Orde Baru jilid 2. Eksekutif dia, legislatif dia juga. Kecenderungan kong kalikong akan semakin tinggi.

5. Saya HANYA akan memilih parpol yang saya kenal track record politik dan sikap nasionalis para tokohnya. Dalam hal ini saya melihat ada beberapa nama yang saya kagumi (ini sangat subyektif) antara lain Sri Sultan Hamengkubuwono X, Muladi SH dan Sarwono Kusumaatmadja (yang ini saya ragu apakah masih aktif di Golkar).

Dengan demikian, saya masih yakin seyakin-yakinnya untuk memilih Golkar dalam pemilu legislatif kemarin. Tapi untuk pemilihan presiden nanti, saya masih yakin bahwa SBY lah yang terbaik dari yang ada saat ini...

Rujukan http://incoharper.multiply.com/journal/item/135/Partai_Golkar_Dari_Mana_Mau_Kemana