18 August 2007

Mempolitisasi Agama dan Mengagamakan Politik, Sebuah Manifesto Sekulerisme


Beberapa hari yang lalu saya membaca berita di sebuah portal agar menghindari kawasan Sudirman dan Senayan karena ada pertemuan akbar sebuah ormas agama yang akan mendeklarasikan diri menjadi sebuah partai politik. Berangkat dari hal itu saya semakin mengamati bahwa saat ini politik dan agama sudah bercampur sedemikian rumit di negeri ini.

Mengamati dari tujuan dua hal tersebut, politik dan agama, sesungguhnya adalah sama yaitu ingin mengubah nasib dan perbaikan dalam kehidupan manusia melalui aturan-aturan tertentu. Dalam politik disebut perundang-undangan dan dalam agama disebut sebagai kitab suci. Namum ketika keduanya dicampurkan maka hasilnya mungkin akan jauh dari tujuan kedua hal yang sama tersebut. Yang malahan sering terjadi adalah kekacauan.

Agama, menurut pendapat saya adalah hubungan yang bersifat vertikal antara manusia dengan Penciptanya, sedangkan politik lebih bersifat horizontal antara manusia dengan manusia di dalam sebuah susunan bernegara. Walau pun memang terjadi perpotongan kurva antara dua hal tersebut, karena perundangan-undangan mengatur tentang kehidupan beragama dan kitab suci menulis tentang kehidupan bernegara, tapi layaknya bahwa kedua hal tersebut janganlah dicampurkan demi tujuan-tujuan pemaksaan pola pikir manusia.

Sebuah ormas agama misalkan, janganlah memaksakan diri dengan kemudian menjadi sebuah partai politik dengan alasan keinginan anggotanya. Begitu juga negara haruslah menjadi sebuah lembaga yang netral dan independen tanpa ada keberpihakan terhadap suatu agama serta menjamin kebebasan masyarakatnya dalam menjalankan suatu agama tertentu dengan catatan tidak memaksakan agamanya kepada pihak lain.

Vatikan pernah merasakan pahitnya ketika agama bercampur dengan politik yang mengakibatkan tragedi besar dalam sejarah dunia yaitu perang salib. Belum lagi kehidupan beragama yang sering dirusak oleh kekuasaan negara yang mengakibatkan saling mengintimidasi antara paus dan raja yang berkuasa. Darah mengalir dan cita-cita bersama yang diimpikan tak pernah terwujud. Belajar dari pengalaman kelam di masa silam tersebut, gereja Katolik saat ini berusaha memisahkan antara kekuasaan politik dengan kehidupan beragama. Paus dan kekuasaan politik independen dan saling menghormati satu sama lain.

Seringkali kehidupan sekulerisme dianggap tidak tepat bagi Indonesia karena seringkali dianggap terlalu mendewakan kehidupan duniawi, hedonis, dan melupakan masalah ketuhanan. Tapi jika ditelaah lebih dalam lagi bahwa sesungguhnya Tuhan akan meminta pertanggungjawaban umatnya secara perorangan dan bukan kolektif. Jadi apapun, baik buruk, yang dilakukan oleh seseorang itu adalah tanggung jawab pribadinya terhadap Tuhan, kecuali jika kemudian perbuatan tersebut berbenturan dengan hukum manusia maka negaralah yang harus turun tangan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemeluk agama minoritas sering kali mendapat tekanan dari pihak-pihak mayoritas di sebuah negara. Pembunuhan dan pembantaian bahkan menjadi dampak terburuk dari hal tersebut. Paling tidak akan terjadi kesulitan-kesulitan administratif dalam masalah kenegaraan, misalkan sulitnya memperoleh izin mendirikan rumah ibadah bagi kaum minoritas, padahal untuk kaum mayoritas rumah ibadah dapat ditemui di setiap wilayah-wilayah kecil. Belum lagi perundangan-undangan yang tidak memperbolehkan pernikahan beda agama, walaupun nilai cinta yang sesungguhnya adalah universal dan milik semua orang.

Bagi pihak mayoritas seringkali sekulerisme dianggap sebagai sebuah hal yang membahayakan bagi kehidupan beragama mereka. Namun bagi kaum minoritas sekulerisme menjadi berkah bagi mereka karena dapat menjadi menjadi benteng yang kuat akan kebebasan mereka dalam beragama. Ketakutan yang sering terjadi adalah karena sekulerisme berasal dari seorang agnostik yang bernama George Jacob Holyoake (1817-1906), seorang sarjana Inggris, sebagai sebuah gagasan alternatif untuk mengatasi ketegangan panjang antara otoritas agama dan otoritas negara di Eropa. Dengan sekularisme, masing-masing agama dan negara memiliki otoritasnya sendiri-sendiri: negara mengurusi politik sedangkan agama mengurusi gereja.

Mungkin sudah saatnya kita meninjau kembali keberadaan sekulerisme agar jangan sampai terjadi politisasi agama dan agamaisasi politik demi tercapainya tujuan kita semua untuk menjadi bangsa yang lebih baik dan juga lebih berarti di mata dunia.