04 October 2007

Kota 100 Mal




Semua orang mengakui bahwa Jakarta adalah pusat bisnisnya Indonesia. Menjadi sentral perputaran uang yang ada dan yang pasti mempunyai market yang lebih besar ketimbang daerah lain. Hal itulah yang mungkin menginspirasi banyak pengusaha untuk mendirikan mal atau pusat perbelanjaan di Jakarta. Akibatnya sampai hari ini di Jakarta telah ada lebih dari 100 pusat perbelanjaan. Termasuk di dalamnya trade center, town square, junction, plaza, city square, citywalk atau nama lain yang bermaksud sama, yaitu pusat perbelanjaan.

Dalam masalah penamaan saja seringkali para pengusaha tersebut sering mengalami kesalahan. Mal dibilang plaza dan plaza disebut mal. Lho, apa bedanya? Plaza digunakan untuk sebutan sebuah bangunan tunggal dengan beberapa area setengah publik di tingkat bawah, seringkali dengan hotel atau menara kantor di atasnya, sementara mal lebih sering merujuk kepada sekumpulan
bangunan atau jalan. Mal adalah jenis dari pusat perbelanjaan yang secara arsitektur bangunan sifatnya melebar (luas). Sebuah mal memiliki standar paling tinggi sebanyak tiga lantai. Plaza ada di pusat kota sedangkan mal diperuntukkan berada di dekat perumahan.


Jakarta saat ini, ditambah lagi daerah sub-urban di sekelilingnya, telah dipenuhi oleh pusat perbelanjaan tersebut. Bahkan tiga buah mal bisa dicapai dengan berjalan kaki karena jaraknya sangat berdekatan. Yang menyedihkan banyak di antaranya yang berkesan mubazir karena sepi pengunjung. Bahkan beberapa perlu direnovasi ulang karena sama sekali tidak laku.

Dengan adanya berbagai macam jenis pusat perbelanjaan ini maka tersitalah lahan yang seharusnya dijadikan ruang publik demi nama komersial dan kapitalisme. Ruang publik di Jakarta semakin hari menjadi semakin sedikit. Dan jikalau pun masih ada, maka sudah tidak menjadi ruang publik yang sesungguhnya. Karena fungsi ruang publik adalah
ruang yang diadakan untuk berbagai kepentingan dan kegiatan publik. Ini berarti siapa saja, tanpa batasan, bisa berinteraksi di ruang itu. Tidak hanya sejarah Eropa yang mengenal ruang publik, seperti Agora dan La Piazza di zaman Yunani kuno dan abad pertengahan. Jaman kerajaan Jawa pun mengenal apa yang disebut sebagai alun-alun, yang selalu menjadi titik nol atau pusat dari sebuah kota.

Ruang publik saat ini telah dimonopoli oleh segerombolan orang dengan kartu remi dan tattoo atau di malam hari menjadi tempat para PSK beroperasi sehingga ruang publik yang harusnya menjadi milik siapa saja menjadi begitu mencekam. Belum lagi lampu taman yang mati, sampah berserakan hingga rumput yang tidak terurus menambah "seramnya" ruang publik. Hal tersebut mungkin merupakan proyek balas dendam dari kalangan menengah bawah terhadap makin banyaknya mal yang pada akhirnya menjadi "ruang publik" tersendiri untuk golongan the have.
Apa yang terjadi sekarang, masing-masing kelas memiliki "ruang publik"-nya sendiri-sendiri. Ketika taman-taman kota diduduki oleh gelandangan, sementara trotoar penuh dengan pedagang kaki lima, kelas sosial yang lain mengisi mal-mal yang sebenarnya merupakan belantara dunia konsumsi. Tanpa ragu, petugas keamanan akan menegur siapa pun yang terlihat "tidak menyatu" dengan atmosfer mal. Biar bagaimana pun, pihak pengelola mal tidak ingin kenyamanan pengunjungnya yang datang untuk minum kopi seharga Rp 30 ribu seusai berbelanja sepatu seharga Rp 5 juta terganggu.

Sudah saatnya pemerintah DKI mengatur lebih serius lagi masalah perizinan bangunan pusat perbelanjaan. Karena di sini rawan sekali terjadi akan pungli. Bahwa ciri kota yang manusiawi bukan dilihat dari banyaknya mal yang ada tapi dari hubungan harmonis antar golongannya di ruang publik. Sedangkan rakyat yang sesungguhnya sangat mendambakan ruang publik "sejati" ada di kota tercinta ini. Yang dimiliki bersama tanpa ada diskriminasi dan ketakutan. Bercanda, tertawa dan bermain bersama... karena anak-anak kita kini telah bermain bola di atas beton cor dan bukan lapangan rumput lagi...



(gambar diambil dari MP-nya Darto)

23 September 2007

Berbagi Kebahagiaan dengan Busway Trans Jakarta


Trans Jakarta atau lebih dikenal dengan sebutan Busway telah menghiasi ibukota Jakarta empat tahun belakangan ini. Dimulai dengan trayek klasik Blok M - Kota, kemudian disusul dengan koridor-koridor lainnya yang dibuka awal tahun ini.


Terakhir adalah koridor Lebak Bulus - Harmoni (Koridor VIII), sepanjang 26 km dan Pinang Ranti - Pluit (Koridor IX) sepanjang 29,9 km. Dua koridor terakhir ini melewati perumahan mewah Pondok Indah (Koridor VIII) dan Pluit (Koridor IX) yang kemudian banyak didemo oleh penduduk sekitar dengan alasan mengambil jalur mobil pribadi yang akan mengakibatkan bertambahnya kemacetan.



Kita tahu bahwa Jakarta tanpa adanya busway pun akan tetap macet. Dari enam juta mobil yang ada di Indonesia, 4.5 juta-nya beredar di kawasan Jabotabek. Hal ini sangat tidak sebanding dengan kondisi jalan yang pembangunannya tidak sepesat angka penjualan mobil baru. Belum lagi mobil-mobil tua masih tetap boleh beredar di Jakarta. Selain mobil angka penjualan sepeda motor juga sangat tinggi dengan adanya kemudahan kredit kendaraan bermotor. Dengan uang muka hanya Rp 250.000 saja seseorang sudah bisa membawa pulang sepeda motor baru, bayar cicilan masalah kemudian. Menurut data, 90% sepeda motor yang beredar di Jakarta dibeli dengan cara kredit.

Pemda DKI tentunya pusing tujuh keliling dengan masalah ini. Ditambah lagi masalah sosial-sosial lainnya. Bukan hal mudah untuk membereskan masalah tata ruang kota mengingat penduduk Jakarta pada siang hari mencapai 15 juta orang. Enam jutanya berasal dari daerah-daerah sub-urban di sekitar Jakarta.

Di luar konteks penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pengadaan proyek busway, seperti KKN dan juga ketertiban lalu lintas, busway menjadi salah satu sarana transportasi pilihan penduduk menengah ke bawah di Jakarta.  Dengan biaya cuma Rp 3500 bisa menikmati seluruh koridor yang dilewati oleh busway. Walau pun busway menjadi kurang nyaman pada jam-jam sibuk karena tetap harus berdesak-desakan, paling tidak hal itu menjadi lebih baik alih-alih berada di dalam bus reguler non-ac.

Penduduk setempat yang wilayahnya dilewati oleh busway kemudian melakukan demo kepada Pemda DKI untuk menolak pembangunan busway diteruskan. Jika dilihat dari strata sosial maka dapat dilihat bahwa orang-orang yang komplain dengan keberadaan busway adalah para pengendara mobil pribadi yang sewot karena jalurnya diambil oleh pembangunan busway. Padahal sesungguhnya mereka harus tetap dapat bersyukur akan apa yang mereka miliki saat ini yaitu ruang privasi di dalam sebuah mobil pribadi. Ketika orang lain harus berdiri dan berdesak-desakan di dalam bus, mereka masih bisa menikmati macet dengan ac yang dingin sambil mendengarkan alunan musik dari radio tape mereka. Tak maukah mereka berbagi sedikit kebahagiaan dengan orang-orang yang lebih membutuhkan transportasi semacam busway? Karena orang-orang tersebut hidupnya sangat lelah berada di jalan saat pergi dan berangkat kerja.

Dari orang-orang yang komplain terhadap keberadaan busway yang saya kenal kebanyakan adalah pengguna mobil pribadi atau minimal taksi. Padahal dari pengamatan awam saya, busway sangat diminati dan disukai oleh kalangan menengah ke bawah. Belum lagi buat sebagian keluarga yang pas-pasan, busway dapat dijadikan sarana hiburan di hari libur untuk mengajak keluarga mereka berjalan-jalan mengelilingi Jakarta. Padahal di waktu yang bersamaan, kalangan menengah ke atas biasanya berada di mal bersama keluarganya untuk sekedar jalan-jalan dengan makan siang di McD.

Untuk Bang Foke yang akan memimpin Jakarta, pesan saya: "Teruskan membangun busway dan sarana transportasi massa lainnya untuk masyarakat kecil Jakarta! Karena Jakarta untuk semua."

18 August 2007

Mempolitisasi Agama dan Mengagamakan Politik, Sebuah Manifesto Sekulerisme


Beberapa hari yang lalu saya membaca berita di sebuah portal agar menghindari kawasan Sudirman dan Senayan karena ada pertemuan akbar sebuah ormas agama yang akan mendeklarasikan diri menjadi sebuah partai politik. Berangkat dari hal itu saya semakin mengamati bahwa saat ini politik dan agama sudah bercampur sedemikian rumit di negeri ini.

Mengamati dari tujuan dua hal tersebut, politik dan agama, sesungguhnya adalah sama yaitu ingin mengubah nasib dan perbaikan dalam kehidupan manusia melalui aturan-aturan tertentu. Dalam politik disebut perundang-undangan dan dalam agama disebut sebagai kitab suci. Namum ketika keduanya dicampurkan maka hasilnya mungkin akan jauh dari tujuan kedua hal yang sama tersebut. Yang malahan sering terjadi adalah kekacauan.

Agama, menurut pendapat saya adalah hubungan yang bersifat vertikal antara manusia dengan Penciptanya, sedangkan politik lebih bersifat horizontal antara manusia dengan manusia di dalam sebuah susunan bernegara. Walau pun memang terjadi perpotongan kurva antara dua hal tersebut, karena perundangan-undangan mengatur tentang kehidupan beragama dan kitab suci menulis tentang kehidupan bernegara, tapi layaknya bahwa kedua hal tersebut janganlah dicampurkan demi tujuan-tujuan pemaksaan pola pikir manusia.

Sebuah ormas agama misalkan, janganlah memaksakan diri dengan kemudian menjadi sebuah partai politik dengan alasan keinginan anggotanya. Begitu juga negara haruslah menjadi sebuah lembaga yang netral dan independen tanpa ada keberpihakan terhadap suatu agama serta menjamin kebebasan masyarakatnya dalam menjalankan suatu agama tertentu dengan catatan tidak memaksakan agamanya kepada pihak lain.

Vatikan pernah merasakan pahitnya ketika agama bercampur dengan politik yang mengakibatkan tragedi besar dalam sejarah dunia yaitu perang salib. Belum lagi kehidupan beragama yang sering dirusak oleh kekuasaan negara yang mengakibatkan saling mengintimidasi antara paus dan raja yang berkuasa. Darah mengalir dan cita-cita bersama yang diimpikan tak pernah terwujud. Belajar dari pengalaman kelam di masa silam tersebut, gereja Katolik saat ini berusaha memisahkan antara kekuasaan politik dengan kehidupan beragama. Paus dan kekuasaan politik independen dan saling menghormati satu sama lain.

Seringkali kehidupan sekulerisme dianggap tidak tepat bagi Indonesia karena seringkali dianggap terlalu mendewakan kehidupan duniawi, hedonis, dan melupakan masalah ketuhanan. Tapi jika ditelaah lebih dalam lagi bahwa sesungguhnya Tuhan akan meminta pertanggungjawaban umatnya secara perorangan dan bukan kolektif. Jadi apapun, baik buruk, yang dilakukan oleh seseorang itu adalah tanggung jawab pribadinya terhadap Tuhan, kecuali jika kemudian perbuatan tersebut berbenturan dengan hukum manusia maka negaralah yang harus turun tangan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemeluk agama minoritas sering kali mendapat tekanan dari pihak-pihak mayoritas di sebuah negara. Pembunuhan dan pembantaian bahkan menjadi dampak terburuk dari hal tersebut. Paling tidak akan terjadi kesulitan-kesulitan administratif dalam masalah kenegaraan, misalkan sulitnya memperoleh izin mendirikan rumah ibadah bagi kaum minoritas, padahal untuk kaum mayoritas rumah ibadah dapat ditemui di setiap wilayah-wilayah kecil. Belum lagi perundangan-undangan yang tidak memperbolehkan pernikahan beda agama, walaupun nilai cinta yang sesungguhnya adalah universal dan milik semua orang.

Bagi pihak mayoritas seringkali sekulerisme dianggap sebagai sebuah hal yang membahayakan bagi kehidupan beragama mereka. Namun bagi kaum minoritas sekulerisme menjadi berkah bagi mereka karena dapat menjadi menjadi benteng yang kuat akan kebebasan mereka dalam beragama. Ketakutan yang sering terjadi adalah karena sekulerisme berasal dari seorang agnostik yang bernama George Jacob Holyoake (1817-1906), seorang sarjana Inggris, sebagai sebuah gagasan alternatif untuk mengatasi ketegangan panjang antara otoritas agama dan otoritas negara di Eropa. Dengan sekularisme, masing-masing agama dan negara memiliki otoritasnya sendiri-sendiri: negara mengurusi politik sedangkan agama mengurusi gereja.

Mungkin sudah saatnya kita meninjau kembali keberadaan sekulerisme agar jangan sampai terjadi politisasi agama dan agamaisasi politik demi tercapainya tujuan kita semua untuk menjadi bangsa yang lebih baik dan juga lebih berarti di mata dunia.

03 June 2007

Penjarahan Bunga di tengah Pesta




Acara belum lagi usai, pengantin belum pula turun dari pelaminan dan para tamu masih banyak berada dalam ruangan... Namun di antara para tamu banyak yang dengan tenang dan ayiknya mencabuti hiasan bunga yang menjadi dekorasi pesta...



Kejadian tersebut menarik perhatian gw saat datang ke resepsi seorang teman malam ini. Kejadian serupa juga gw alami saat salah seorang anak dari sepupu gw menikah di anjungan Jawa Tengah TMII bulan Februari lalu. Namun bedanya pada saat itu ada seorang bapak dari satuan keamanan yang dengan beraninya menegur ibu-ibu yang mencabuti bunga dekorasi tersebut!





Gw sendiri gak habis pikir kenapa hal yang gw anggap memalukan itu dilakukan oleh banyak orang, mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak hingga anak-anak, dan mereka semua santai saja dengan perbuatan itu serasa tak punya salah ataupun dosa.





Lupakanlah tentang salah dan dosa. Gw gak berhak untuk menghakimi orang lain itu bersalah dan berdosa. Mari kita bicara tentang etika. Seharusnya sebelum pesta selesai, dekorasi dan hiasan termasuk bunga-bunga harus utuh pada tempatnya. Para tamu harusnya menyadari bahwa perbuatan itu tidak pantas dan harusnya menghormati mempelai yang mengundang mereka. Karena biasanya ketika seseorang mulai melakukan hal tersebut maka orang lain dengan mudah mengikutinya. Hebatnya pula bahwa anak-anak yang harusnya diajari disiplin oleh orang tua mereka juga dibiarkan saja mencabuti bunga-bunga tersebut.




Mungkin ini adalah hal kecil yang sesungguhnya tak pantas pula untuk dibesar-besarkan. Toh tak ada yang merasa dirugikan istilahnya. Tapi buat gw kalo memang mau mencabuti bunga-bunga itu mbok ya nanti setelah pesta selesai, karena toh bunga-bunga itu memang tidak terpakai lagi. Bukannya ketika pesta masih berlangsung... dan penjarahan terjadi dalam keramaian.

18 May 2007

Kerak Telor, Riwayatmu Dulu dan Kini



Pernah denger makanan betawi yang namanya kerak telor?
Yang pasti bukan telor gosong yang terus jadi kerak... hehehe
Makanan ini selalu ada di arena jakarta fair... dari tahun ke tahun, mulai dari jamannya masih di Monas hingga kini pindah ke Kemayoran.

Makanan ini terbuat dari nasi ketan aron atau setengah matang, yang kemudian dicampur dengan telor (bisa telor ayam atau telor bebek) beserta bumbunya. Setelah matang dimakan dengan taburan serundeng dan bawang goreng. Cara masaknya juga cukup unik. Ketika kerak telor telah setengah matang maka wajan pemasaknya dibalikkan dan kerak telor dibiarkang langsung terkena panas arang dari anglo sehingga kemudian menjadi sedikit gosong. Mungkin ini yang dinamakan keraknya...

Gw suka makanan ini karena kebetulan mama gw juga suka banget. Mulai dari harganya Rp 200 untuk telor ayam dan Rp 300 untuk telor bebek hingga kini menjadi Rp 7000 untuk telor bebek. Harga itu bisa lebih mahal lagi ketika kini kerak telor bisa kita jumpai di pasar modern seperti Carefour Foodcourt.

Senin malam lalu, gw membeli 4 kerak telor untuk mama. Kebetulan kini gw bisa menjumpai tukang kerak telor ini di deket kantor. Tepatnya di parkiran Circle K Pancoran. Dari dulu hingga kini yang gw perhatikan menjual biasanya adalah seorang bapak-bapak tua. Entah kenapa mungkin sang anak tak mau lagi meneruskan usaha bapaknya karena mendapat pekerjaan yang lebih baik atau karena malu. Dan selalu pula sambil penjual tersebut memasak, kami berbincang santai... seputaran jakarta tempo dulu dengan dialek betawi yang kental.

Entah sampai kapan kerak telor ini akan bertahan di tengah derasnya serbuan fast food barat seperti McD, Burger King, Pizza atau juga japanese food seperti HokBen yang kini ada di mana-mana. Bahkan saat ini tampaknya lebih bangga menjadi bagian dari kapitalis kuliner barat seperti Burger Blenger atau japanese food lokal seperti Roku-Roku ketimbang melestarikan kuliner lokal seperti kerak telor ini...



20 March 2007

Batasan Usia Masuk


Dalam tiga hari belakangan ini gw mendapatkan suatu kesan tentang batasan usia masuk di Indonesia...

Pertama:

        Pada saat gw selesai nonton film 300 hari minggu kemaren di eX, gw melihat ada beberapa ibu-ibu yang menggandeng anak-nya keluar dari bioskop... anak yang usianya gak lebih dari 7 tahun! Udah gila nih!
       Film 300 yang penuh darah dan kekerasan ditonton oleh anak-anak! Whatta hell?!!! Siapa yang salah kalo nantinya ada anak-anak yang mengganggap motong leher temennya adalah hal yang biasa? Kayak di film2... keren katanya... shit!
       Padahal yang namanya nonton SmackDown aja udah menghasilkan beberapa anak-anak yang meninggal gara-gara "di-smackdown" oleh temen-nya... phew... Apalagi ini, film yang lebih sadis, yang walau pun memunculkan unsur rasa patriotisme dan ksatria terhadap bangsa dan tanah air... tapinya kan itu adalah tontonan orang dewasa!!! Bukan remaja atau pun anak-anak yang belum bisa berfikir secara kompleks tentang pesan-pesan yang disampaikan dalam sebuah film...
       Ada tiga kategori batasan usia masuk untuk menonton sebuah film (dan home video juga begitu sesungguhnya). Batasan itu adalah film untuk semua umur, remaja, dan dewasa. Apa gunanya ketika ditentukan batasan tapi siapa saja masih bisa masuk dan menonton film yang bukan ditujukan untuknya? Kita bisa melihat jejeran anak-anak SD yang ngantri untuk nonton Harry Potter yang sebenarnya untuk remaja, atau Lord of The Ring yang sebenarnya untuk dewasa... dan tentunya film berdarah-darah 300

Kedua:

       Tadi pagi gw ikutan mendampingi adik gw untuk wisuda di JHCC. Pada undangan tertulis dengan jelas DILARANG MEMBAWA ANAK DI BAWAH UMUR 8 TAHUN. Tapi nyatanya apa? Sebelum acara dimulai terlihat banyak para calon wisudawati (yang sudah menikah) menggendong dan menyusui (pakai botol yaaaa...) anak mereka. Beberapa kereta dorong bayi yang lalu lalang melintas di hadapan gw. Di tengah-tengah acara terdengar beberapa anak kecil menangis. Belum lagi anak-anak kecil yang berlari-lari seakan-akan JHCC adalah tempat bermain yang luas dan menyenangkan... Phew...
       Lalu apa gunanya tertulis peraturan di undangan masuk? Kenapa para undangan dan panitia tidak sama-sama untuk berusaha menjalankan dan mematuhi peraturan yang telah tertulis?

***


       Dari dua peristiwa tersebut gw bisa melihat bahwa peraturan tentang batasan usia masuk di Indonesia masihlah sangat longgar, bahkan cenderung selalu untuk dilanggar. Siapa yang salah? Yang pasti kalau masing-masing pihak berusaha untuk mematuhi peraturan rasanya tak akan sampai kejadian tersebut.
       Para orang tua harusnya paham bahwa perilaku dan pola pikir dari anak-anak belumlah bisa menyamai dan sekomplek dari orang dewasa. Anak-anak belum bisa membedakan mana yang cuma layak ditonton atau layak untuk dilakukan. Orang dewasa pasti akan menganggap bahwa sebuah film adalah cuma sebuah film. Sebuah hiburan. Bisa pulang dan tidur dengan lelap dengan pikiran tenang dan keesokan harinya mungkin sudah tidak bisa mengingat detail film yang ditontonnya kemarin. Tapi mungkin seorang anak kecil akan terus memikirkan adegan-adegan yang mereka anggap keren dan hebat setelah sampai di rumah. Mencoba bermain pedang-pedangan. Bahkan bukan tidak mungkin tidak bisa tidur memikirkan bahwa besok dia akan mempraktekkan adegan film kepada teman sekolahnya.
       Dari pihak bioskop pun harusnya sadar akan batasan usia masuk yang telah mereka buat sendiri. Tapi mereka malahan melanggarnya sendiri! Tak peduli, harusnya para penjaga pintu masuk harusnya melarang ketika ada penonton di bawah umur. Untuk menghindari keributan (karena penonton sudah beli tiket dan gak bisa masuk) harusnya ketika membeli tiket juga ditanyakan usia penonton atau bahkan mesti menunjukkan ID atau KTP. Memang akan memerlukan waktu yang sedikit lebih lama, tapi sepertinya memang harus jika memang diperlukan.

***

       Kita akan menanggung semua yang telah kita lakukan. Konsekuensi dan tanggung jawab penuh. Dan bukan cuma penyesalan pada akhirnya nanti. Ketika seorang anak melakukan kekerasan kepada temannya, coba kita tanyakan kepada diri kita sendiri siapa yang telah menanamkan nilai-nilai kekerasan kepadanya? Atau telah cukupkah kita memberikan pengawasan kepada mereka?
       Ketika sebuah acara yang khidmat seperti wisuda menjadi terganggu akan lalu lalang dan tangisan seorang bocah itu lah konsekuensi yang akan didapat. Mengganggu orang lain tentunya. Itu yang harus dipikirkan oleh undangan yang membawa anak kecil dan juga para panitia yang telah memperbolehkan mereka masuk tentunya.
       Sudahkah kita bisa bertanggung jawab terhadap anak-anak dan orang-orang lain di sekitar kita? Menjaga dan menghormati hak-hak orang lain... yang sesungguhnya akan menghasilkan kebaikan untuk semua... Seperti dalam campaign Pepsodent  terbaru bahwa anak-anak akan mencontoh apa yang telah kita lakukan... karena itu ajarkanlah  sesuatu yang baik buat mereka, buat masa depan mereka... dan bukannya contoh akan sebuah ketidaktaatan kita pada sebuah peraturan...