01 December 2010

Sudah siapkah kita berdemokrasi?

Mengamati kasus demokrasi versi monarki yang digulirkan oleh SBY sangatlah menarik. Kasus yang bermula dari ucapan SBY yang mengatakan bahwa dalam negara demokrasi tak seharusnya ada sistem monarki pada Jumat 26 Nopember 2010 yang lalu kian bergulir menjadi isu-isu hangat bahkan sampai kepada isu referendum Yogyakarta. Namun saya tak ingin ikut terbawa pada hal tersebut. Saya malah lebih tertarik mengamati bagaimana sebenarnya sistem monarki yang ada di Indonesia mulai dari jaman kerajaan, jaman penjajahan sampai kepada jaman kemerdekaan.


Menurut wikipedia, Monarki berasal dari bahasa Yunani monos (μονος) yang berarti satu, dan archein (αρχειν) yang berarti pemerintah. Dapat dikatakan bahwa monarki merupakan sejenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki. Menurut wikipedia pula, bahwa penguasa monarki (Inggris: monarch) adalah seorang kepala negara yang jabatannya biasanya diwariskan dan memerintah seumur hidup. Namun menurut saya, sistem monarki ini tak hanya lekat ciri khasnya di masalah pemerintahan negara saja. Jika dikembangkan, sistem ini bisa terlihat dari kondisi sosio-kultural sebuah bangsa. Mari kita lihat satu-persatu.


Pertama, Indonesia, yang sebelum penjajah Eropa datang ke nusantara pada abad ke-16 merupakan bangsa yang memang menganut sistem monarki. Sistem monarki ini terdapat di seluruh kerajaan di nusantara. Siapa yang tak kenal dengan kebesaran Kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan juga Mataram. Semuanya itu bisa dibilang sukses menjalankan sistem monarki dan membuat rakyat sejahtera, bahkan mampu mengembangkan wilayah kekuasaan sampai keluar nusantara. Sampai kemudian datang Portugis dan Belanda, yang keduanya juga menganut sistem monarki pada pemerintahannya. Lagi-lagi nusantara diharuskan menjalankan sistem ini. Dan yang terakhir saudara tua Asia, Jepang, datang menjajah kita. Ternyata Jepang pun menganut sistem monarki pula. Sejarah berlanjut... Sampai saat ini, ternyata negara-negara bekas penjajah kita pun masih mempertahankan sistem monarki ini walau cuma sebatas simbol belaka karena untuk pemerintahan tak lagi dipegang oleh raja namun oleh perdana menteri.


Kedua, merdekanya Indonesia sebagai negara republik ternyata masih tetap terasa kental nuansa monarkinya yang terlihat dari munculnya tokoh-tokoh nasional yang dianggap sebagai 'raja' oleh para pendukungnya. Mulai dari tokoh nasionalis seperti Soekarno sampai tokoh agama seperti KH Hasyim Asyarie dan KH Ahmad Dahlan. Tak bisa dipungkiri bahwa dinasti Soekarno dan Wahid masih sangat lekat di hati rakyat Indonesia masa kini walau sudah semakin memudar pengkultusannya. Di PDIP kita bisa melihat bahwa yang namanya ketua umum (sampai saat ini) tak bisa tidak haruslah Megawati yang masih membawa nama dinasti Soekarno. Sampai pertikaian PKB Alm. Gus Dur dengan PKB Muhaimin juga nuansa dinasti Wahid masih sangat kental dan menjadi modal 'jualan' politik partai tersebut. Sekali lagi kita lihat bahwa sistem monarki ternyata memang dekat dengan kondisi sosio-kultural bangsa Indonesia.


Ketiga, walau Soeharto merupakan presiden terpilih melalui MPR tapi tak dapat dipungkiri bahwa gaya pemerintahannya selama 32 tahun sangatlah bersifat monarki. Kata-katanya dapat dikatakan sebagai hukum. Semua orang-orang terdekatnya harus segera melaksanakannya. Sialnya, seringkali 'titah raja' ini malah dilebih-lebihkan oleh para pelaksana hariannya yang membuat nuansa 'monarki' Soeharto menjadi lebih terasa kental di kalangan rakyat biasa. Seperti gaya pemerintahan monarki, kita bisa melihat bahwa anak, keluarga dan kerabat dekat Soeharto juga mempunyai kekuasaan secara de facto walau secara de jure tak pernah tertuliskan. Hal ini bisa kita liat dari sebutan masyarakat kepada keluarga Soeharto dengan sebutan keluarga Cendana, yang merujuk kepada lokasi tempat tinggal pribadi mantan presiden RI ini. Kita bisa lihat bahwa dalam kondisi sebagai negara demokrasi pun, pada era orde baru ternyata Indonesia masih lekat dengsan sistem monarki.


Keempat, era reformasi bergulir, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Awalnya kita berharap bisa belajar berdemokrasi dengan lebih baik pada era ini. Namun lagi-lagi saya melihat sistem monarki masih sangat kental dalam perpolitikan di Indonesia. Lihat saja PAN, partai yang berdiri di awal era reformasi masih saja tak bisa lepas dari bayang-bayang seorang Amien Rais. Bahkan ketika seorang Amin Rais mengatakan bahwa ia sudah tak ingin ikut campur pada partai, masih saya seorang ketua umum baru terpilih atas 'restunya'.  Aroma monarki juga tercium di Partai Demokrat. Walau SBY tak pernah menjadi ketua umum, namun ia selalu menjabat sebagai ketua dewan pembina. Jabatan yang sampai periode ini tidak tergoyahkan. Belum lagi isu tentang keharusan mendapat 'restunya' untuk mencapai posisi ketua umum Partai Demokrat. Walau UUD mengatur bahwa presiden hanya bisa dipilih maksimal sebanyak 2 kali, namun tak urung berhembus isu bahwa SBY mempersiapkan Ibu Negara sebagai calon penggantinya pada pemilu 2014. Dan jangan lupa bahwa Ibas, putra kedua SBY saat ini masuk di dalam posisi strategis partai walau harus dibuktikan lebih lanjut kepiawaiannya. Aroma monarki di politik pusat juga ternyata menyebar ke daerah-daerah. Tak sedikit kepala daerah yang kemudian mencalonkan istrinya sebagai kepada daerah selanjutnya. Atau seorang kepala daerah mendukung pencalonan adiknya untuk menjadi kepala daerah tingkat II yang masuk di dalam wilayah kekuasaannya.


Melihat kondisi politik dan sosio-kultural di atas saya mengamati bahwa sistem monarki masih dekat sekali dengan bangsa ini yang mengaku sebagai negara berdemokrasi. Jika memang demikian, mengapa kita seakan-akan alergi dengan sistem monarki tersebut dan selalu menyebut-nyebut negara demokrasi? Atau sesungguhnya pertanyaan yang lebih pahit kepada bangsa ini perlu ditanyakan: sudah siapkan kita untuk berdemokrasi?

No comments: