30 April 2011

Terorisme di Indonesia: Antara TNI & Kegagalan Polri

Terorisme di Indonesia: Antara TNI & Kegagalan Polri[1]
Oleh: Inco Harper[2]

“Terorisme adalah satu ancaman dan negara-negara harus melindungi warganegaranya dari ancaman itu. Negara tidak hanya mempunyai hak namun juga kewajiban untuk melakukan itu. Tetapi Negara juga harus sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa tindakan-tindakan melawan terorisme tidak berubah menjadi tindakan-tindakan untuk menutupi atau membenarkan pelanggaran HAM.”[3]

Pendahuluan
Terorisme lahir sejak ribuan tahun silam dan telah menjadi legenda dunia. Cara-cara teror digunakan oleh suatu kelompok untuk memperlemah lawannya lewat pembunuhan diam-diam menggunakan racun sampai pemberontakan. Saat ini, terorisme terjadi di berbagai tempat di seluruh dunia dengan berbagai alasan. Terorisme merupakan akibat dari ketidaksepakan suatu kelompok dengan kelompok lain (yang mungkin berkuasa) yang berbeda ideologi kepercayaan/agama, politik dan lain sebagainya.
            Terorisme memiliki  pengaruh yang kuat di masyarakat, terutama jika dipublikasikan secara berlebihan oleh media massa. Aksi-aksi seperti terorisme sangat menarik perhatian media massa terutama televisi. Dengan siaran langsung dari tempat kejadian, jutaan khalayak ikut mendengarkan bahkan melihat para teroris beraksi. Setiap aksi teroris merupakan event yang mahal dan “menguntungkan” bagi media. Televisi memiliki pengaruh yang sangat kuat. Di samping itu sistem komunikasi yang tersedia dan cepat – elektronik dan media cetak – telah melahirkan falsafah Cina yang terkenal: “Bunuh satu dan menakut-nakuti 10.000”, dan melalui media massa dapat diartikan sebagai “Bunuh satu dan menakut-nakuti 10.000.000”.
            Masalah terorisme seringkali disebut sebagai masalah sensasional, karena kenyataannya adalah lebih banyak orang meninggal di jalanan setiap tahun daripada yang dibunuh oleh teroris. Hal itu mungkin benar secara kuantitatif, namun terorisme tidak dapat diukur dengan hitungan banyaknya korban tewas, jumlah yang luka atau nilai materi dari kerusakan. Terorisme tidak dapat dikatakan sebagai perang, karena berada jauh dari peperangan: perang gerilya, perang revolusioner atau perang konvensional. Perang bertujuan untuk penghancuran secara total, manusia dan material secara fisik. Sedangkan terorisme cenderung menginginkan hasil kerusakan secara psikologis.
            Terorisme di Indonesia semakin ramai pasca runtuhnya Orde Baru 1998. Sejak tahun 2000, sejumlah pemboman telah terjadi di Indonesia, seperti bom di beberapa gereja pada malam Natal 2000, bom di Sari Club dan Paddy’s Café pada Oktober 2002 dan bom di Hotel J.W. Marriott yang meledak dua kali, yakni pada Agustus 2003 dan Juli 2009. Belakangan, aksi-aksi teror sering dilakukan secara terbuka dan terang-terangan kepada pihak yang dianggap berbeda pendapat atau keyakinan, misalnya dalam peristiwa penyerangan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten yang menewaskan tiga orang.  Juga aksi penusukan anggota majelis Gereja HKBP Bekasi. Sejumlah aksi kekerasan lainnya juga tercatat dilakukan secara terang-terangan oleh ormas agama terhadap pihak yang berbeda keyakinan. Hal ini dapat dikategorikan sebagai aksi teror karena membuat resah dan mengintimidasi masyarakat umum.

Terorisme dan Insurjensi
Berbicara tentang terorisme, seringkali kita dihadapkan pada masalah definisi. Sejauh ini belum ada definisi yang seragam tentang terorisme karena terorisme bervariasi tergantung waktu dan kondisi. Terorisme dapat dipandang sebagai tindakan yang mendekati perlawanan gerilya karena dianggap sebagai tindakan yang berada di tengah perang gerilya dan aksi frustasi golongan tertentu. Tujuan utama para teroris adalah menghancurkan sistem ekonomi, politik dan sosial masyarakat suatu negara untuk digantikan oleh struktur yang baru secara total.
            Dalam teori terorisme, tindakan terorisme dapat diklasifikasikan dalam: terorisme yang memiliki motivasi politis dan terorisme yang memiliki motovasi kriminal[4]. Kelompok yang memiliki motivasi politik  menganggap dirinya sebagai instrumen pengadilan dan sama sekali tidak beroperasi untuk tujuan kriminal. Walau sering terlihat sebagai aksi kriminal seperti perampokan dan penjarahan, jenis terorisme ini tidak bertujuan untuk memperkaya diri sendiri, tetapi untuk biaya operasional kelompoknya seperti pembelian senjata. Sedangkan terorisme dengan motivasi kriminal semata-mata untuk kriminal yang berkaitan dengan perolehan uang dan dinyatakan sebagai gerombolan kriminal yang menculik atau melakukan teror demi uang tebusan.
            Adjie dalam bukunya menyebutkan definisi terorisme sebagai berikut[5]:
·         Terorisme: Suatu mazab/aliran kepercayaan melalui pemaksaan kehendak guna menyuarakan pesan, asas dengan cara melakukan tindakan ilegal yang menjurus ke arah kekerasan, kebrutalan bahkan pembunuhan.
·         Teroris: Pelaku atau pelaksana bentuk-bentuk terorisme, baik oleh individu, golongan atau kelompok dengan cara tindak kekerasan sampai pembunuhan disertai berbagai penggunaan senjata, mulai dari sistem konvensional hingga medern.
·         Teror: Bentuk-bentuk kegiatan dalam rangka pelaksanaan terorisme melalui penggunaan/cara ancaman, pemerasan, agitasi, fitnah, pengeboman, penghancuran/perusakan, penculikan, intimidasi, perkosaan dan pembunuhan.
·         Alat Peralatan Teror: Telepon, selebaran surat, bom (waktu), peledak, kendaraan darat/laut/udara, dengan menggunakanfasilitas bandara, pelabuhan, tempat-tempat umum ataupun gedung-gedung vital.
·         Tujuan Terorisme: Melumpuhkan otoritas pemerintah sehingga dapat menerapkan mazab atau aliran yang dianut kelompok terorisme.
Terorisme sangat dekat dengan insurjensi atau gerakan revolusioner yang memiliki struktur, yang terkadang tidak tampak di permukaan tapi khususnya di Indonesia seringkali pula terlihat begitu terang-terangan. Insurjensi sering dianggap sebagai gerakan subversif, ilegal, di bawah komando golongan tertentu yang ingin menggantikan pemerintahan yan sah. Insurjensi dapat diartikan sebagai suatu keadaan tidak menentu dalam suatu negara yang disebabkan oleh berbagai kelompok organisasi yang melawan (tidak menyetujui/menentang) politik pemerintah yang sah.
Aksi yang ditimbulkan mengakibatkan ketegangan di dalam negara sehingga dapat mempengaruhi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Adapun bentuk-bentuk insurjensi antara lain perampokan (bersenjata) dan perlawanan terhadap angkatan bersenjata/polisi. Contoh kekerasan yang dilakukan anggota Jemaah Islamiyah dalam mencapai tujuan politiknya selain pengeboman, adalah perampokan Bank CIMB Niaga di Medan pada September 2010. Dalam berbagai macam bentuk kegiatan/aksi terorisme dan insurjensi, apabila pemerintah terlambat atau tidak segera mengatasi maka akan berkembang dan mengakibatkan low intensity conflict.
Di Indonesia, aksi insurjensi ini sering menggunakan cara-cara teror dan intimidasi dalam melakukan aksinya dan terlihat eksistensinya di depan publik. Seringkali ormas-ormas agama yang sebenarnya legal malah memunculkan aksi insurjensi ini seperti dapat dilihat pada Front Pembela Islam dan Hizbut Tahrir Indonesia yang jelas menolak demokrasi dan NKRI. Pada beberapa kejadian, kelompok-kelompok radikal ini sangat tidak toleran terhadap perbedaan yang ada di Indonesia yang akhirnya malah melahirkan tindakan-tindakan kekerasan, intimidasi dan juga penyerangan kepada kelompok lain.
Kelompok-kelompok ini bahkan berani menantang untuk menggulingkan pemerintah yang sah ketika presiden memberikan pernyataan bahwa kelompok-kelompok radikal di Indonesia harus dibubarkan. Tindakan ini menjadi propaganda kelompok ini bahwa pemerintah tidak mampu menguasai keadaan sehingga hanya menciptakan suatu suasana yang tidak aman untuk masyarakat. Belakangan isu tentang Negara Islam Indonesia yang telah banyak melakukan brainwash pepada banyak mahasiswa tampaknya ditanggapi setengah hati oleh pemerintah. Padahal kita tau Presiden SBY merupakan pemerintahan eksekutif yang sah melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Tidak main-main hasilnya pun 61% pemilih mendukung SBY. Namun terlihat presiden terlalu berhati-hati bahkan cenderung lamban (atau tidak berani?) dalam menanggapi aksi-aksi insurjensi ini.
Masyarakat sudah lelah oleh aksi-aksi kekerasan dan teror yang dilakukan oleh ormas-ormas ini. Namun pemerintah seperti tidak ada di saat rakyatnya membutuhkan perlindungan dan rasa aman. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa pemerintah telah gagal menciptakan rasa aman untuk warga negaranya.
Penanggulangan Terorisme
Pada masa Orde Baru, TNI dan Polri saling bekerjasama dalam masalah keamanan nasional. Namun semenjak TNI keluar dari fungsi sosial politiknya pada tahun 2004 melalui UU No.34/2004 maka bisa dibilang bahwa fungsi dan kekuatan keamanan negara diserahkan kepada Polri, sedangkan TNI lebih berperan kepada ketahanan negara. Dalam kaitannya dengan terorisme, Indonesia sudah mengawali penanggulangan terorisme dengan adanya Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kemudian atas rekomendasi Komisi I DPR pada 12 Juni 2006 dan 31 Agustus, diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 46 tahun 2010 tentang Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). BNPT adalah lembaga non-kementrian yang bertanggungjawab langsung kepada presiden dan dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
            Polri diberikan kekuatan khusus untuk menanggulangi terorisme dengan dibentuknya Detasemen Khusus atau Densus 88 pada 26 Agustus 2004. Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk penanggulangan teroris di Indonesia. Pasukan khusus berompi merah ini dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa anggota juga merupakan anggota tim Gegana.
Densus 88 dirancang sebagai unit antiteroris yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan. Densus 88 di pusat (Mabes Polri) berkekuatan diperkirakan 400 personel ini terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom), dan unit pemukul yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu. Selain itu masing-masing kepolisian daerah juga memiliki unit anti teror yang disebut Densus 88, beranggotakan 45 - 75 orang, namun dengan fasilitas dan kemampuan yang lebih terbatas. Fungsi Densus 88 Polda adalah memeriksa laporan aktivitas teror di daerah.Melakukan penangkapan kepada personil atau seseorang atau sekelompok orang yang dipastikan merupakan anggota jaringan teroris yang dapat membahayakan keutuhan dan keamanan negara RI.
Densus 88 adalah salah satu dari unit anti teror di Indonesia, disamping Detasemen C Gegana Brimob, Detasemen Penanggulangan Teror (Dengultor) TNI AD alias Grup 5 Anti Teror, Detasemen 81 Kopassus TNI AD (Kopasus sendiri sebagai pasukan khusus juga memiliki kemampuan anti teror), Detasemen Jalamangkara (Denjaka) Korps Marinir TNI AL, Detasemen Bravo (Denbravo) TNI AU dan satuan anti-teror BIN.
Ketika TNI telah menarik diri dari peran sosial politiknya di masyarakat, maka tugas untuk keamanan dalam negeri sepenuhnya diemban oleh pihak kepolisian. Sayangnya Polri dapat dikatakan gagal dalam menangani aksi-aksi terorisme dan radikalisme di Indonesia. Walau telah berhasil menangkap atau menembak mati beberapa pucuk pimpinan dari teroris namun terlihat bahwa aksi-aksi teror tetap terulang dan terjadi di masyarakat.
Untuk aksi-aksi teror yang lebih tertutup memang Polri agak berhasil dalam mengatasinya. Para “dedengkot” dari gerakan terorisme di Indonesia seperti Dr. Azhari dan Noordin M. Top telah berhasil dilumpukan sehingga jaringan teroris tercerai-berai dan mengurangi kekuatannya. Dibunuhnya para pemimpin atau “otak” dari kelompok teror seperti beberapa nama yang disebutkan di atas menunjukan bahwa sebenarnya pemerintah memalui Polri telah menunjukan komitmen serius dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.
Bila dilihat dari penanganan terhadap aksi terorisme, terjadi perbedaan sebelum dan setelah tahun 2000. Sebelum tahun 2000, saat itu marak adanya gerakan separatisme, seperti gerakan Fretilin di Timor Timur (sekarang Timor Leste), Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan kelompok separatis lainnya, maka penanganan terhadap gerakan ini dilandasi oleh UU No.23/ tahun 1959 mengenai Keadaan Bahaya. Dalam undang-undang ini, di mana suatu wilayah dalam kondisi darurat sipil, maka kekuasaan di tangan Gubenur, sedangkan penanggung jawab militer adalah TNI. Kekuatan militer digunakan karena menganggap kelompok separatis ini  berusaha memisahkan diri dari NKRI.
            Sedangkan penanganan kontra dan anti terorisme setelah tahun 2000 berbeda. Setiap peristiwa teror seperti penembakan hingga pengeboman dianggap kasus kriminal. Meskipun banyak korban jiwa yang jatuh akibat aksi tersebut, namun perangkat hukum yang dikenakan atas tindakan ini hanya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Maka pemberantasannya pun diserahkan ke kepolisian.
            Akan tetapi setelah eskalasi terorisme di Indonesia meningkat, yang mencapai puncaknya saat terjadinya Bom Bali 1, 12 oktober 2002 yang menewaskan 202 orang, pemerintah dan DPR baru mengeluarkan perundangan khusus mengenai tindak terorisme. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.15 tahun 2003 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, terorisme baru dianggap kejahatan yang serius oleh pemerintah dan bangsa Indonesia. Di dalam undang-undang ini secara jelas pelaku terorisme adalah:
1.      Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).
2.      Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang  strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).
            Meski Polri tetap bertanggung jawab dalam pemberantasan terorisme, namun  undang-undang ini turut membidani departemen khusus pemberantasan teroris, yakni Detasemen khusus (Densus) 88. Selain melakukan penyelidikan dan penindakan yakni penangkapan terhadap teroris dan jaringannya, Densus 88 juga dapat menjalankan survaillance atau berbagai tindakan intelijen.
            Densus 88 dinilai berhasil dalam melakukan operasi pengungkapan jaringan teroris di Indonesia. Diantaranya penyerbuan tempat jaringan teroris Jamaah Islamiyah yang juga menewaskan teroris nomor 1 , Dr. Azhari di Malang, 9 November 2005, pada 8 Agustus 2009 penggrebekan salah satu tersangka pengeboman Bom Marriot II, Ibrahim, lalu pada 17 September 2009, penangkapan yang berakhir tewasnya teroris yang juga rekan dari Dr. Azhari, yakni Noordin Top serta sejumlah operasi penangkapan tokoh dan pengungkapan jaringan terorisme yang terkait dalam Jamaah Islamiyah dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).
            Pada 16 Juli 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keppres No. 46 tahun 2010. Keppres ini menelurkan lagi sebuah lembaga khusus untuk menanggulangi terorisme, yakni Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Selain  penindakan, BNPT memiliki tugas yang lebih luas, yakni mulai dari pencegahan, perlindungan, hingga deradikalisasi.
Tabel 1. Penanganan Terorisme Sebelum Tahun 2000


Tabel 2. Penanganan Terorisme Setelah Tahun 2000



            Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa sebenarnya negara melalui Polri telah melakukan usaha yang sungguh-sungguh dalam menanggulangi terorisme. Penulis juga mengakui keberhasilan tersebut. Namun penulis beranggapan bahwa Polri telah gagal menanggulangi aksi-aksi teror dalam bentuk lain yang juga ada di masyarakat dan anehnya aksi-aksi ini terlihat cukup terbuka dan lebih mudah diantisipasi karena dilakukan oleh kelompok-kelompok yang seharusnya lebih mudah diawasi melalui intelejen Polri.
            Polri seakan terlalu berhati-hati dalam menindak kelompok-kelompok radikal ini karena bersinggungan dengan nilai-nilai keyakinan agama. Di beberapa kesempatan, malah terlihat Polri mencoba merangkul kelompok-kelompok ini dengan berdialog dan bekerjasama. Misalkan ketika Kapolri dan Gubernur DKI Fauzi Bowo hadir pada acara Milad FPI di Jakarta. Kehadiran ini dianggap bahwa pemerintah dan Polri berkompromi dan menghalalkan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok ini. Namun lagi-lagi di kemudian hari, kelompok ini kembali melakukan berbagai macam aksi kekerasan yang seakan didiamkan oleh Polri. Padahal menurut UUD 1945 yang dimaksud dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
            Kegagalan Polri lainnya dapat dilihat pada saat penanganan peristiwa Cikeusik yang berakibat jatuhnya korban jiwa 3 orang tewas dari pihak Ahmadiyah. Bahkan awalnya sebelum didesak oleh masyarakat dan media, Polri mengumumkan ini sebagai bentrokan dan bukan penyerangan. Harusnya pihak intel Polri mampu mengantisipasi hal ini karena melihat bahwa rencana penyerangan ini sudah direncanakan dan bukan aksi spontanitas warga setempat. Walau kemudian ada 15 orang yang ditangkap, terlihat bahwa Polri tidak mampu untuk mengungkap siapa aktor intelektual penyerangan ini karena hanya mampu menangkap sampai pada pelaku di lapangan saja. Padahal penyerangan ini terlihat sekali pola direncanakannya oleh pihak-pihak tertentu.
            Peristiwa terakhir aksi bom bunuh diri di Masjid Al-Zikra Polresta Cirebon juga jelas menunjukkan kegagalan Polri karena teroris mampu masuk langsung ke daerah markas pertahanan Polri dan Polri kecolongan. Masyarakat semakin khawatir bahwa aksi terorisme dapat menjangkau siapapun dan kapanpun. Seperti dijelaskan di atas bahwa hal-hal seperti inilah yang memang diinginkan oleh teroris. Yang dirusak adalah psikologis dari masyarakat Indonesia.
            Melihat dari contoh kegagalan Polri di atas, penulis kemudian mempunyai pertanyaan yaitu, “Apakah dengan kegagalan Polri menciptakan rasa aman di masyarakat, TNI perlu kembali ke fungsi sosial politiknya?” Tampaknya pertanyaan itu terlalu naif dan memudahkan persoalan. Bukankah pemerintah telah mengatur dengan jelas instrumen-instrumen hukum dalam penanggulangan terorisme?
            Ikrar Nusa Bhakti menyebutkan bahwa dalam diri prajurit TNI ditanamkan prinsip kompetensi, di mana mereka merasa bahwa militer lebih kompeten daripada sipil dalam mengelola negara[6]. Intervensi TNI kembali dalam masalah keamanan nasional dan penanganan terorisme ini mungkin saja terjadi karena terlihat bahwa Polri terlalu berlarut-larut dalam menangani berbagai macam aksi teror dan kekerasan yang ada selama ini di masyarakat. Dalam suatu sistem demokrasi di mana negara berperan sebagai pelindung masyarakat dari ancaman dan gangguan, maka posisi militer di dalam sebuah negara sudah semestinya berfungsi agar ancaman dan gangguan itu dapat diatasi, apalagi ketika Polri dinilai gagal.
            Niat untuk mengembalikan peranan TNI dalam kestabilan keamanan negara juga pernah terucap pada saat SBY masih menjabat sebagai Menkopolkam pada pada 5 Agustus 2003 yang hendak merevisi Undang-undang Anti Terorisme agar TNI dapat berperan dalam penanggulangan terorisme pasca peledakan bom di Hotel Marriot. SBY mengatakan:
“...aparat kepolisian terbatas dan harus menghadapi masalah yang tersebar di seluruh Indonesia. Pemisahan TNI dan Polri dilakukan pada tahun 2000 melalui Ketetapan MPR Nomor VI. Menurut aturan itu, TNI adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara dan Kepolisian RI adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan. Ketetapan itu juga mengatur, dalam hal terdapat keterkaitan kegiatan keamanandan pertahanan, TNI dan Kepolisian RI harus bekerjasama dan saling membantu[7].
Adalah otoritas rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara untuk mendefinisikan posisi dan peran militer. Rakyat, yang merupakan entitas politik sipil, berwenang menentukan dan sekaligus mengontrol peran dan fungsi militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Janusz, kontrol sipil atas kekuatan militer merupakan aksioma demokrasi. Hal ini sebenarnya sejalan dengan doktrin TNI yang setiap saat kita dengar: Yang terbaik untuk rakyat adalah terbaik untuk TNI. Dengan begitu kita sesungguhnya berharap profesionalisme militer dapat segera terwujud di negara yang baru melek demokrasi termasuk itu Indonesia.
Namun jika melihat sejarah peranan TNI dalam sosial politik pada masa Orde Baru, tentu akan menjadi dilema tersendiri dari masyarakat. Di satu sisi, Polri dinilai gagal dan kekurangan personel untuk dapat menciptakan rasa aman untuk masyarakat. Di sisi yang lain ketika kemudian TNI kembali ke fungsi  keamanan negara bekerjasama dengan Polri bukan tidak mungkin peristiwa-peristiwa kekerasan yang justru dilakukan oleh TNI di masa lalu dapat terjadi kembali.
Pada masa Orde Baru, TNI sering melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat. Beberapa kasus yang terjadi pada masa ini adalah: Orde Baru melakukan pembunuhan terhadap ratusan ribu anggota PKI dan pendukung Sukarno, serta memenjarakan ribuan lainnya tanpa proses pengadilan (1966-1971), pembunuhan massal terhadap anggota kelompok Islam di Tanjung Priok (1984); kasus tanah petani di Jenggawah (1989); pelaksanaan operasi militer di Aceh (1989-1999), Timor Lorosae (1980-199) dan Papua (1960-an-199); penggusuran dan intimidasi penduduk di Kedung Ombo, Jawa Tengah (1989); penembakan penduduk di sekitar waduk Nipah, Madura (1993), intimidasi terhadap pendukung non-Golkar menjelang setiap pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1987), penyerangan terhadap kantor PDI (1996), penculikan aktivis pro demokrasi (1997), penembakan empat mahasiswa Trisakti (1998), tragedi Semanggi (1998) dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa lainnya, yang karena terjadi di wilayah pedalaman dan jumlah korbannya sedikit sehingga tidak diberitakan secara luas.
Melihat penjelasan di atas – bahwa TNI penuh dengan kekerasan di masa lalu – kita bisa melihat apakah kembalinya TNI dalam penanganan keamanan negara bisa menjadi solusi? Penulis melihat bahwa TNI tetap harus dipisahkan secara fungsinya dengan Polri dalam menangani masalah terorisme karena sesungguhnya Polri telah memiliki posisi dan peran yang sangat jelas dalam hal ini yang didukung oleh instrumen hukum yang telah ada. Yang diperlukan adalah memaksimalkan fungsi dari Polri dalam masalah keamanan negara dan bukan kembali melibatkan TNI dalam masalah ini.
Deradikalisasi: Memaksimalkan Fungsi Polri
Melalui keputusan untuk membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sebenarnya pemerintah Indonesia secara tidak langsung telah mengakui bahwa fokus pada penghancuran jaringan kelompok teroris saja sebenarnya tidaklah cukup. Pemerintah menyadari kebutuhan akan adanya sebuah tindak lanjut yang bersifat komprehensif dalam penanganan terorisme dengan berpusat pada penghancuran ideologi, atau dalam bahasa yang lebih familiar, sebuah program deradikalisasi kepada kelompok-kelompok terorisme di Indonesia.
            Walau banyak pemimpin Jamaah Islamiyah yang terlibat dalam terorisme, seperti Dr. Azhari, Noordin Moh Top, serta Dulmatin telah tewas dalam sejumlah operasi Densus 88, namun, hingga kini masih banyak terpidana terorisme yang masih ditahan di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) di Indonesia. Berdasarkan laporan dari International Crisis Group (ICG), hingga tahun 2007 sebanyak 170 orang yang terindikasi terlibat dalam jaringan teroris, dimana setengahnya adalah anggota Jamaah Islamiyah ditahan. Mereka mendapat masa tahanan dari 4 tahun sampai seumur hidup.[8]
            Meski berhasi ditahan, mereka inilah yang harus diwaspadai dan menjadi perhatian khusus dari Pemerintah dan Bangsa Indonesia. Karena jika tidak ditangani dengan baik, keterlibatan mereka kembali dalam terorisme setelah keluar dari Lapas, bukanlah suatu hal yang tidak mungkin.
            Salah satu mantan narapidana yang kembali ke “dunia” terorisme adalah  Abu Tholut alias Mustofa. Dalam jumpa pers pada tanggal 20 September 2009, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri menjelaskan Abu Tholut adalah narapidana kasus Bom Kedubes Australia 2004 yang telah bebas setelah menjalankan hukuman selama 4 tahun. Kini ia masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena terlibat dalam perampokan bersenjata Bank CIMB di Medan, Sumatera Utara, Agustus 2010.[9]                                                    
            Berdasarkan laporan dari International Crisis Group (ICG), pada tahun 2007 lalu sekitar 150 narapidana yang terlibat baik langsung maupun hanya kaki tangan dalam tindakan terorisme dalam rentang tahun 2006 sampai dengan tahun 2007 telah dibebaskan[10]. Untuk menangkal kembalinya para terpidana ini kembali ke jaringan terorisme, diperlukan upaya deradikalisasi.
         Dr. Petrus Reinhard Golose membeberkan tiga kunci dalam program deradikalisasi para mantan teroris, yakni humanis, soul approach, dan menyentuh akar rumput.
Humanis adalah pendekatan deradikalisiasi pertama yang langsung menyentuh teroris dan keluarganya. Ketika teroris ditangkap, mereka langsung diamankan dengan cara yang manusiawi, dan keluarga mereka juga diperhatikan kesejahteraannya. Pendekatan ini belum bisa berjalan dengan baik karena sejauh ini pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak serius menangani isu terorisme (terbukti dari pernyataan beliau bahwa terorisme adalah murni kriminalitas, tidak ada unsur politik). Faktor utama terorisme adalah deprivasi: kemiskinan, rendahnya pendidikan dan marginalisasi politik. Kesejahteraan keluaga teroris tidak diperhatikan. Salah satu contoh sasaran pendekatan dalam koridor humanity adalah keluarga Ali Ghufron, Imam Samudra dan Amrozi Nurhasyim atau yang lebih dikenal sebagai trio Bom Bali. Sejak ketiganya tertangkap sampai kini, dua tahun setelah mereka dihukum mati di Nusa Kambangan, anak-anak ketiga teroris tersebut harus berpindah-pindah karena stigma anak teroris. Ini tentu berpengaruh pada mental mereka.
Soul Approach adalah pendekatan dimana kekerasan dan intimidasi untuk menghentikan terorisme tidak digunakan. Sebaliknya, soul approach memperlakukan narapidana terorisme sebagai manusia, metode counseling oleh BNPT  (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang menuju kepada re-orientasi dan re-edukasi. Dalam re-orientasi dan re-edukasi, mantan terorisme yang sudah bertobat diberdayakan untuk menyadarkan teman-teman teroris yang belum bertobat. Salah satu success stories dalam soul approach ini adalah Ali Imron, salah satu perakit Bom Bali yang pertama yang terjadi pada 2002. Dalam bukunya “Ali Imron Sang Pengebom”, Ali Imron mengakui terjun ke dalam terorisme merupakan kesalahan dan di akhir bukunya dia meminta maaf pada keluarga korban, keluarganya sendiri (dia menyatakan menyesal telah meninggalkan istrinya saat hamil, dan ketiga anaknya lahir tanpa kehadirannya) dan masyarakat pada umumnya. Ali Imron kini giat membantu polisi dalam memerangi terorisme dan memberikan counseling bagi teroris yang belum sadar.
Menyentuh Akar Rumput, program ini tidak hanya ditujukan kepada para tersangka maupun terpidana terorisme, akan tetapi program ini juga diarahkan kepada simpatisan dan anggota masyarakat yang telah terekspos paham-paham radikal, serta menanamkan multikulturalisme kepada masyarakat luas. “Radikalisme” berasal dari kata bahasa Yunani “radix” yang berarti akar. Jadi “akar” dalam radikalisme menjelaskan indoktrinasi yang ditanamkan pada bibit-bibit teroris. Indoktrinasi susah diberantas karena dia mengakar di dalam bibit teroris sejak dini, contohnya melalui pesantren. Dalam kasus pesantren radikal seperti pesantren di Ngruki, diperlukan peran Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua departemen tersebut sebaiknya bekerja sama dalam menyeleksi bahan-bahan pendidikan agama (membuang unsur radikalisme) dan para gurunya[11].
            Beruntung Indonesia selama tiga tahun terakhir ini telah menjalankan program Deradikalisasi ini. Elemen kunci dari program yang dijalankan di Indonesia adalah komunikasi dan perhatian terhadap narapidana terorisme serta menanggapi keperluan khusus mereka, yang seringkali berkaitan dengan kebutuhan ekonomi keluarga mereka.[12]
            Dalam kasus berbagai aksi kekerasan dan teror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang bersifat insurjensi seperti FPI dan HTI, maka Polri juga harus lebih tegas. Kelompok ini mungkin tidak perlu dibubarkan, namun ketika terjadi kekerasan, harus diambil tindakan yang tegas dan juga hukuman yang berat. Polri juga harus meningkatkan kualitas intelejennya sehingga dapat memprediksi segala aksi kekerasan yang akan terjadi di masyarakat. Demonstrasi yang menjurus kepada aksi kekerasan harus segera disikapi dengan tegas oleh Polri. Janganlah keragu-raguan akan melanggar HAM menjadi hambatan akan hal ini. Selama dilakukan berdasarkan SOP yang tepat maka kemungkinan itu akan dapat diperkecil walau mungkin akan tetap terjadi juga. Namun Polri harus juga bisa melihat prioritas kepentingan bahwa kepentingan masyarakat luas yaitu terciptanya rasa aman jauh lebih penting daripada kepentingan kelompok-kelompok tertentu saja.
            Hal yang perlu diingat adalah bahwa Polri tidak mendeskriditkan agama apalagi sampai mengekang kebebasan beragama pihak tertentu. Namun yang dilakukan oleh Polri adalah bahwa ketika hak tersebut telah masuk dan mengganggu ke ranah hak orang lain dan terciptanya rasa khawatir dan tidak aman maka Polri harus bertindak tegas. Bahwa rasa aman adalah hak setiap warna negara Indonesia dan tidak mengenal perbedaan.


[1] Makalah Mata Kuliah “Media dan Dinamika Kekuatan Politik”, Program Pascasarjana Manajemen Komunikasi, Universitas Indonesia.
[2] Mahasiswa Peminatan Komunikasi Politik FISIP UI 2010.
[3] Pidato Kofi Anan, Sekretaris Jenderal PBB pada tanggal 21 November 2011.
[4] Adjie S., MSc. Terorisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005. Hal. 9
[5] Adjie S., MSc. Terorisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005. Hal. 11
[6] Ikrar Nusa Bhakti. Reformasi Setengah Tiang. Jakarta: Mizan, 2005. Bab 5: Agenda dan Tujuan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, Hal. 150
[7] “Hadapi Terorisme, Pemerintah Ingin Peran TNI Diperbesar”, Koran Tempo, 15 Agustus 2003.
[8] International Crisis Group (ICG) reports “Deradicalisation and Indonesian Prisons, Executive Summary and Recommendation” Crisis Group Asia No. 142, 19 November 2007.
[9] Abu Tholut Pernah Divonis 8 Tahun, Bebas Karena Remisi, detikNews, 20 September 2010.
[10] Ibid, ICG ReportNo. 142, 19 November 2007.
[11] Dr. Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terorisme, Yayasan Pengembangan Ilmu Kepolisian, 2009.
[12] Ibid, ICG Report No. 142, 19 November 2007.

No comments: