Membaca tulisan dari Widianto H Didiet tentang sterilisasi busway, membuat saya tergelitik untuk menulis hal yang sama dari sudut pandang saya. Mungkin saya orang yang sangat menyambut baik sterilisasi busway tersebut dan merasa senang karena akhirnya doa saya dikabulkan. Sudah sejak lama saya gerah dengan masuknya kendaraan lain ke lajur busway, mulai dari motor, mobil pribadi, angkutan umum sampai mobil dinas menteri.
Dari semua koridor busway yang ada, lajur di Jl. Sudirman menurut saya paling sukses melakukan sterilisasi tersebut. Bahkan sejak dari awal ada, lajur itu nyaris tidak pernah dimasuki kendaraan lain, meskipun jam operasional busway telah lewat. Bandingkan dengan koridor lain yang semua kendaraan berebut masuk ke "lajur eksklusif" tersebut.
Busway memang dikeluhkan oleh para pengendara kendaraan pribadi menjadi biang kemacetan di Jakarta dengan memakai sebagian dari lajur mereka. Padahal, tujuan utama dari busway adalah mengkonversi pengguna kendaraan pribadi untuk naik busway itu sendiri. Alih-alih naik busway, pengendara pribadi malah memilih masuk ke lajur busway dengan kendaraan pribadinya sendiri.
Mari kita berandai-andai... Menurut data dari Dinas Perhubungan DKI jumlah mobil di Jakarta mencapai 2,2 juta unit sedangkan motor 3,5 juta unit. Kendaraan umum mencapai 860 ribu unit mungkin itu telah termasuk unit TransJakarta. Andai saja setengah dari pengendara mobil dapat dikonversikan menggunakan kendaraan umum dan jumlah kendaraan umum ditambah menjadi 1,5 juta unit, maka kemacetan dapat berkurang. Berkumpulnya para pekerja Jakarta di titik-titik tertentu memang masih akan menimbulkan kemacetan, tapi paling tidak akan bisa dikurangi.
Masalahnya ialah adakah kemauan dari pengendara mobil untuk kemudian pindah ke angkutan umum? Masalah kemacetan bukan hanya masalah Pemprov DKI, tapi perlu semua elemen masyarakat untuk membantu menyelesaikannya. Bagaimana bisa kita mengeluh macet (di antara banyak pengendara mobil lainnya) sedang kita tak ada usaha apa-apa dan merupakan bagian dari masalah itu sendiri? Pengendara mobil di Jakarta pun tak lepas dari dosa-dosanya tersendiri seperti yang pernah saya tulis sebelumnya.
Kembali ke masalah sterilisasi lajur busway, benarkah hanya alasan macet sehingga para pengendara mobil di Jakarta nekat menerobos lajur tersebut? Mari kita perhatikan bersama, nanti saat libur Idul Fitri tiba dan jalanan legang, masih saja ada pengendara mobil yang masuk lajur busway. Masalahnya adalah kedisiplinan berlalu-lintas dan kurangnya rasa berbagi untuk sesama pengguna jalan. Menyalahkan supir pribadi? Ah, sebagai majikan harusnya bisa dong memberi tahu supirnya. Bukankah biasanya seorang majikan lebih berpendidikan dari sang supir?
Intinya ketika pengendara mobil menjadi bagian dari kemacetan Jakarta, carilah solusi yang bukan solusi instan seperti masuk lajur busway. Jakarta tak akan pernah berubah kalau pribadi-pribadi masyarakatnya juga tak mau berubah dan mau enaknya sendiri! Di satu sisi, Pemprov DKI juga harus membenahi fasilitas angkutan umum di Jakarta. Infrastruktur Koridor 9 dan 10 yang telah selesai sejak tahun 2008 malah menjadi suatu hal yang mubazir. Halte dan lajur menjadi rusak karena tidak terpakai. Juga realisasi dari monorel harus segera diwujudkan. Apa harus tiang pancang yang sudah dibangun sepanjang Senayan dan Kuningan saat ini hanya menjadi monumen kegagalan Pemprov DKI dalam menangani kemacetan Jakarta?
Kemacetan Jakarta merupakan masalah yang sangat kompleks dan membutuhkan dukungan semua lapisan masyarakat untuk dapat menyelesaikannya. Jangan cuma enak-enakan duduk diam dalam mobil dingin berAC lalu berharap mukjizat datang untuk membuat Jakarta bebas macet. Selama masyarakat juga tak peduli dan membantu, maka kemacetan akan menjadi kutukan seumur hidup buat Jakarta!