Kemenangan
pasangan Jokowi-Ahok pada putaran pertama Pemilukada DKI melawan incumbent Foke-Nara menjadi euforia
tersendiri dalam dunia demokrasi nasional. Walaupun belum ada putusan resmi
dari KPUD Jakarta, namun rata-rata hasil Quick
Count memang memenangkan pasangan Jokowi-Ahok di atas 40% – sedangkan
Foke-Nara masih di bawah 35%. Pasangan lain, masih di bawah 15%.
Hal ini
menyebabkan Pemilukada DKI harus dilanjutkan dengan putaran kedua dengan
pasangan Jokowi-Ahok dan Foke-Nara sebagai pesertanya. Peristiwa ini
mengingatkan penulis akan Pilpres 2004 yang mana juga berlangsung dua putaran –
dan seperti kita ketahui posisinya juga mirip yaitu Megawati sebagai incumbent, akhirnya kalah oleh SBY
sebagai pendatang baru.
Euforia saat
ini mirip dengan kemenangan SBY yang saat itu memang selalu mendapat citra
positif dari berbagai media massa. Bagaimanapun, kita harus jujur bahwa media
mempunyai peranan yang sangat besar dalam memenangkan SBY pada tahun 2004.
Dalam lima tahun, popularitas SBY begitu tinggi dan tidak tersaingi oleh
tokoh-tokoh lainnya sehingga akhirnya kembali memenangkan Pilpres 2009 lalu.
Peran media dalam meningkatkan elektabilitas
Jokowi yang awalnya adalah tokoh lokal – mau tidak mau
harus diakui juga ikut dibesarkan oleh media. Di luar berbagai kesuksesannya
memimpin Kota Solo, Jokowi juga kerap menjadi sumber berita yang bernilai
tinggi untuk media-media nasional. Sebut saja seperti kasusnya dengan Gubernur
Jawa Tengah Bibit Waluyo dan juga mobil Esemka yang direncanakan sebagai mobil
nasional.
Pilpres 2004 dan Pemilukada DKI 2012 sama-sama mempunyai
banyak kandidat – awalnya sama-sama mempunyai enam kandidat, namun belakangan
pasangan Gus Dur-Marwah Daud Ibrahim terganjal masalah kesehatan fisik Gus Dur
saat itu. Putaran kedua – baik Pilpres 2004 dan Pemilukada DKI 2012 – sama-sama
diikuti oleh incumbent dan tokoh yang
sedang naik daun – SBY saat itu dan Jokowi kini.
Lalu di mana peran partai politik yang mengusungnya? SBY
2004 dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan
dan Persatuan Indonesia, Jokowi 2012 dicalonkan oleh PDI-Perjuangan dan Partai
Gerindra. SBY 2004 dicalonkan oleh partai-partai yang saat itu bukan partai
besar dan juga bukan partai pemenang pemilu, begitu juga Jokowi 2012 dicalonkan
oleh bukan partai pemenang di DKI pada pemilu 2009.
Penulis melihat bahwa peran partai politik tidak berperan
maksimal dan (mungkin) tergantikan oleh ketokohan kandidat. PDI-Perjuangan yang
pada Pemilu 2004 berada di posisi kedua setelah Partai Golkar tidak mampu
memberikan suaranya secara maksimal untuk kemenangan Megawati, namun begitu
Partai Demokrat sebagai partai pemenang Pemilu 2009 di DKI punya perolehan
suara 35% – tidak jauh berbeda dengan angka yang diperoleh Foke-Nara saat ini.
Media mempunyai peran yang sangat vital pada Pemilukada
saat ini di mana Jokowi selalu mendapat sentimen positif sedangkan Foke
mendapatkan sentimen negatif akan kinerja selama masa pemerintahannya. Di sini
penulis melihat bahwa publisitas jauh lebih berperan dalam perilaku memilih
ketimbang dengan iklan politik – walaupun penulis melihat bahwa iklan-iklan
politik pasangan Foke-Nara dikemas secara kreatif.
Iklan – sekreatif apapun – dibuat pesan politiknya oleh
kandidat beserta konsultan komunikasinya, sedangkan publisitas sangat
bergantung dengan kepentingan media yang bersangkutan. McQuail
(2010) mengatakan bahwa pemilik media massa memiliki kekuasaan mutlak atas
konten dan dapat meminta apa yang mereka ingin masukkan atau keluarkan dalam
sebuah pesan media.
Di sinilah kita bisa melihat
kekuatan media yang besar dalam meningkatkan elektabilitas, bukan dengan iklan
namun dengan publisitas di dalamnya. Iklan politik – tentu memang memberikan
keuntungan kepada media, namun lebih dalam bentuk kapital dan jangka pendek.
Sedang publisitas, bisa menjadi bagian dari agenda
setting sebuah media yang (mungkin) tujuannya adalah jangka panjang.
Walaupun saat ini social
media juga banyak digunakan oleh para kandidat dalam Pemilukada DKI 2012 –
seperti yang sangat intens oleh pasangan Faisal-Biem – namun kiranya media
massa masih memiliki keunggulan terutama untuk para kalangan grassroot. Media massa dengan sifat
kelembagaannya, mampu menyebarkan pesan secara sistematis dan tersusun rapi.
Akuntabilitas dan elektabilitas
Menuju putaran kedua Pemilukada DKI,
tentu saya dua kandidat masih akan menggunakan media massa dalam strategi
pemenangan mereka. Melalui pull-political
marketing, kedua kandidat – Jokowi-Ahok dan Foke-Nara – masih akan
menggunakan iklan juga publisitas dalam strategi mereka. Di sinilah peran
masyarakat diharapkan dapat mengawal peran media sehingga akuntabilitasnya
dapat terjaga.
Menurut
Laitila dalam McQuail (2010) akuntabilitas media ditentukan oleh kode
jurnalistik suatu negara yang umumnya mengacu kepada enam hal, yaitu: (1)
Kebenaran informasi; (2) Kejernihan informasi; (3) Perlindungan terhadap
hak-hak publik; (4) Tanggung jawab dalam pembentukan opini publik; (5) Standar
dalam mengumpulkan dan melaporkan informasi; dan (6) Menghormati integritas
sumber.
Saat ini
masalah pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye politik diatur dalam
Undang-Undang No.10 Tahun 2008. Namun demikian banyak pihak yang berpendapat
bahwa perundangan-undangan tersebut masih harus direvisi guna diberikan
kesempatan yang merata kepada setiap kandidat atau partai politik peserta
pemilu. Juga mungkin sudah saatnya mengatur kampanye melalui social media.
Harapan
penulis, siapapun tokoh yang memenangkan putaran kedua nanti tidak akan menjadi
bulan-bulanan media massa secara berlebihan seperti SBY di tahun 2009 karena
kita tahu popularitas SBY yang begitu tinggi saat itu tidak mampu diredam oleh
media. Sebuah bumerang bagi demokrasi Indonesia.
Tulisan dimuat di Harian Sinar
Harapan http://www.shnews.co/detile-4847-antara-jokowi-2012-dan-sby-2004.html
Inco Hary Perdana,
Dosen Ilmu Komunikasi UMN
No comments:
Post a Comment