18 September 2012

Siapa Meraja Jakarta?


Satu tahun yang lalu, ketika secara tidak sengaja penulis mengunjungi sebuah toko buku bekas di daerah Kemanggisan – Jakarta, penulis menemukan sebuah buku yang berjudul “Membangun Oposisi” buah karya dari Eep S. Fatah yang juga merupakan dosen penulis pada kelas Political Marketing di Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UI. Buku yang merupakan kumpulan artikel dan diterbitkan tahun 1999 tersebut – ternyata – masih sangat relevan dengan kondisi politik dan demokrasi saat ini.
Dalam satu artikel yang berjudul ‘Tipologi dan Manajemen Arus Bawah’ penulis mendapatkan suatu gambaran tentang dinamika demokrasi di Indonesia saat ini yang tidak hanya dimainkan oleh elit politik namun juga arus bawah atau yang penulis kenal dengan sebutan akar rumput atau grassroot. Dengan merujuk kepada artikel tersebut, penulis akan menggambarkan bagaimana karakteristik pemilih Jakarta terutama pada Pemilukada DKI 2012 yang putaran pertamanya baru saja selesai.
Indo Barometer mengatakan dalam Bisnis Indonesia bahwa persentase golongan putih (golput) pada Pemilukada DKI 2012 mencapai 37,05% naik 2,6% dibandingkan Pemilukada DKI 2007 dengan jumlah golput sebanyak 34,59%. Partisipasi pemilih sebesar 62,95% yang terdiri dari 61,14% suara sah dan 1,81% suara rusak. Tidak hanya di Jakarta atau Indonesia, peningkatan angka golput ternyata juga terjadi di Amerika. Namun memang peningkatan angka golput di Indonesia cukup mengkhawatirkan mengingat Indonesia baru melaksanakan sistem demokrasi dalam arti sesungguhnya selama 14 tahun.

Karakteristik Pemilih
            Eep S. Fatah (1999) menyebutkan tipologi arus bawah menjadi empat kelompok yaitu: (1) Matang; (2) Matang Anarkis; (3) Termobilisasi Anarkis; dan (4) Termobilisasi. Arus bawah matang dan matang anarkis sama-sama aktif berperan secara sadar dalam politik dan juga mempunyai pengetahuan dan kesadaran terhadap sistem. Yang membedakan adalah kelompok matang anarkis tidak mempercayai pemerintah sebagai regulator yang absah, sedangkan kelompok matang mempercayai.
            Dalam kelompok termobilisasi dan termobilisasi anarkis, keduanya bisa aktif berperan secara sadar dalam politik, namun bisa juga tidak. Kedua kelompok mempunyai pengetahuan dan kesadaran yang rendah terhadap sistem. Kelompok termobilisasi masih mempercayai pemerintah sebagai regulator yang absah sedangkan kelompok termobilisasi anarkis tidak.
            Pemilih Jakarta dapat kita kelompokkan menurut tipologi arus bawah tersebut. Angka golput yang besar, tidak selalu berarti ketidakpedulian masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik. Penulis menyebut kelompok matang sebagai pemilih rasional sedangkan kelompok termobilisasi sebagai pemilih irasional atau emosional. Golput bisa berasal dari pemilih rasional maupun pemilih irasional. Begitu juga suara yang sah, bisa berasal dari keduanya.
             Kelompok matang dalam tipologi arus bawah merupakan pemilih yang aktif dan memilih kandidat dalam Pemilukada DKI 2012 secara rasional. Kelompok ini memilih tidak hanya berdasarkan ketokohan kandidat, namun juga berdasarkan program kerja atau manifesto yang akan dilakukan dalam lima tahun ke depan. Kelompok ini juga mempunyai informasi dan pengetahuan yang baik tentang rekam jejak para kandidat di Pemilukada DKI 2012.
            Pemilih dalam kelompok ini juga masih mempercayai bahwa pemilukada dapat menghasilkan sebuah perubahan yang lebih baik untuk Jakarta. Banyak dari kelompok ini yang kemudian menjadi relawan atau tim sukses kandidat. Menurut pengamatan penulis, kelompok ini banyak menggunakan hak pilihnya untuk pasangan kandidat No.3 Jokowi-Ahok dan No.5 Faisal-Biem.
            Kelompok matang anarkis juga merupakan pemilih yang aktif dalam Pemilukada DKI 2012. Mereka mempunyai informasi dan pengetahuan yang cukup atas para kandidat, juga melihat rekam jejak sebelumnya. Sayangnya, kelompok ini masih skeptis terhadap perubahan yang akan dihasilkan dari pemilukada saat ini. Namun mereka tidak mau kertas suara mereka kosong dan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu. Bisa jadi kelompok ini termasuk dalam 1,81% kertas suara yang rusak. Kelompok ini cukup rasional untuk menjadi golput.
            Kelompok selanjutnya yaitu termobilisasi anarkis, adalah mereka yang juga skeptis terhadap pemilukada yang dapat membawa perubahan. Kelompok ini juga tidak peduli dengan kondisi politik yang ada. Dari pengamatan penulis, kelompok ini sering beranggapan bahwa politik tidak membawa dampak langsung terhadap kehidupan pribadi mereka. Oleh karena itu mereka enggan ikut serta dalam proses politik dan tidak datang saat proses pemilukada berlangsung.
            Kelompok termobilisasi anarkis enggan pula mencari informasi tentang para kandidat yang ada karena faktor ketidakpercayaan mereka terhadap pemerintah. Banyak media mengabarkan bahwa kelompok ini malahan pergi berlibur ke luar kota saat pemilukada berlangsung. Angka golput 37,05% berasal dari kelompok ini.
            Kelompok terakhir adalah kelompok termobilisasi yang dapat dikategorikan sebagai pemilih irasional atau emosional. Di Jakarta, kelompok ini masih sangatlah  banyak. Kelompok ini kadang mempunyai peran yang aktif dalam politik dan mudah dimobilisasi oleh para elit. Mereka melihat pemilukada sebagai ajang politik transaksional dan dengan mudah menerima politik uang.
            Kelompok ini tidak peduli pada program para kandidat dan juga tidak mempunyai informasi yang cukup tentang rekam jejak kandidat. Kemampuan mengingat kelompok ini relatif rendah dan mampu dipengaruhi oleh bentuk komunikasi jangka pendek melalui iklan dan publikasi media massa. Penulis melihat bahwa kelompok ini banyak menggunakan hak pilihnya untuk pasangan kandidat No.1 Foke-Nara dan juga kandidat No.3 Jokowi-Ahok.
            Pemilukada DKI masih akan berlanjut ke putaran dua. Kemenangan Foke atau Jokowi akan sangat ditentukan oleh swing voter  yang banyak berada di kelompok termobilisasi anarkis. Kita tunggu saja hasil selanjutnya...

Inco Hary Perdana
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara 

No comments: