Satu tahun yang lalu, ketika
secara tidak sengaja penulis mengunjungi sebuah toko buku bekas di daerah
Kemanggisan – Jakarta, penulis menemukan sebuah buku yang berjudul “Membangun
Oposisi” buah karya dari Eep S. Fatah yang juga merupakan dosen penulis pada
kelas Political Marketing di Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UI. Buku yang
merupakan kumpulan artikel dan diterbitkan tahun 1999 tersebut – ternyata –
masih sangat relevan dengan kondisi politik dan demokrasi saat ini.
Dalam
satu artikel yang berjudul ‘Tipologi dan Manajemen Arus Bawah’ penulis
mendapatkan suatu gambaran tentang dinamika demokrasi di Indonesia saat ini yang
tidak hanya dimainkan oleh elit politik namun juga arus bawah atau yang penulis
kenal dengan sebutan akar rumput atau grassroot.
Dengan merujuk kepada artikel tersebut, penulis akan menggambarkan bagaimana
karakteristik pemilih Jakarta terutama pada Pemilukada DKI 2012 yang putaran
pertamanya baru saja selesai.
Indo
Barometer mengatakan dalam Bisnis Indonesia bahwa persentase golongan putih
(golput) pada Pemilukada DKI 2012 mencapai 37,05% naik 2,6% dibandingkan
Pemilukada DKI 2007 dengan jumlah golput sebanyak 34,59%. Partisipasi pemilih
sebesar 62,95% yang terdiri dari 61,14% suara sah dan 1,81% suara rusak. Tidak
hanya di Jakarta atau Indonesia, peningkatan angka golput ternyata juga terjadi
di Amerika. Namun memang peningkatan angka golput di Indonesia cukup
mengkhawatirkan mengingat Indonesia baru melaksanakan sistem demokrasi dalam
arti sesungguhnya selama 14 tahun.
Karakteristik Pemilih
Eep S. Fatah (1999) menyebutkan
tipologi arus bawah menjadi empat kelompok yaitu: (1) Matang; (2) Matang
Anarkis; (3) Termobilisasi Anarkis; dan (4) Termobilisasi. Arus bawah matang
dan matang anarkis sama-sama aktif berperan secara sadar dalam politik dan juga
mempunyai pengetahuan dan kesadaran terhadap sistem. Yang membedakan adalah
kelompok matang anarkis tidak mempercayai pemerintah sebagai regulator yang
absah, sedangkan kelompok matang mempercayai.
Dalam kelompok termobilisasi dan
termobilisasi anarkis, keduanya bisa aktif berperan secara sadar dalam politik,
namun bisa juga tidak. Kedua kelompok mempunyai pengetahuan dan kesadaran yang
rendah terhadap sistem. Kelompok termobilisasi masih mempercayai pemerintah
sebagai regulator yang absah sedangkan kelompok termobilisasi anarkis tidak.
Pemilih Jakarta dapat kita
kelompokkan menurut tipologi arus bawah tersebut. Angka golput yang besar,
tidak selalu berarti ketidakpedulian masyarakat untuk berpartisipasi dalam
politik. Penulis menyebut kelompok matang sebagai pemilih rasional sedangkan
kelompok termobilisasi sebagai pemilih irasional atau emosional. Golput bisa
berasal dari pemilih rasional maupun pemilih irasional. Begitu juga suara yang
sah, bisa berasal dari keduanya.
Kelompok matang dalam tipologi arus bawah
merupakan pemilih yang aktif dan memilih kandidat dalam Pemilukada DKI 2012
secara rasional. Kelompok ini memilih tidak hanya berdasarkan ketokohan
kandidat, namun juga berdasarkan program kerja atau manifesto yang akan
dilakukan dalam lima tahun ke depan. Kelompok ini juga mempunyai informasi dan
pengetahuan yang baik tentang rekam jejak para kandidat di Pemilukada DKI 2012.
Pemilih dalam kelompok ini juga
masih mempercayai bahwa pemilukada dapat menghasilkan sebuah perubahan yang
lebih baik untuk Jakarta. Banyak dari kelompok ini yang kemudian menjadi
relawan atau tim sukses kandidat. Menurut pengamatan penulis, kelompok ini
banyak menggunakan hak pilihnya untuk pasangan kandidat No.3 Jokowi-Ahok dan
No.5 Faisal-Biem.
Kelompok matang anarkis juga
merupakan pemilih yang aktif dalam Pemilukada DKI 2012. Mereka mempunyai
informasi dan pengetahuan yang cukup atas para kandidat, juga melihat rekam
jejak sebelumnya. Sayangnya, kelompok ini masih skeptis terhadap perubahan yang
akan dihasilkan dari pemilukada saat ini. Namun mereka tidak mau kertas suara mereka
kosong dan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu. Bisa jadi kelompok ini
termasuk dalam 1,81% kertas suara yang rusak. Kelompok ini cukup rasional untuk
menjadi golput.
Kelompok selanjutnya yaitu
termobilisasi anarkis, adalah mereka yang juga skeptis terhadap pemilukada yang
dapat membawa perubahan. Kelompok ini juga tidak peduli dengan kondisi politik
yang ada. Dari pengamatan penulis, kelompok ini sering beranggapan bahwa
politik tidak membawa dampak langsung terhadap kehidupan pribadi mereka. Oleh
karena itu mereka enggan ikut serta dalam proses politik dan tidak datang saat
proses pemilukada berlangsung.
Kelompok termobilisasi anarkis enggan
pula mencari informasi tentang para kandidat yang ada karena faktor
ketidakpercayaan mereka terhadap pemerintah. Banyak media mengabarkan bahwa
kelompok ini malahan pergi berlibur ke luar kota saat pemilukada berlangsung.
Angka golput 37,05% berasal dari kelompok ini.
Kelompok terakhir adalah kelompok
termobilisasi yang dapat dikategorikan sebagai pemilih irasional atau
emosional. Di Jakarta, kelompok ini masih sangatlah banyak. Kelompok ini kadang mempunyai peran
yang aktif dalam politik dan mudah dimobilisasi oleh para elit. Mereka melihat
pemilukada sebagai ajang politik transaksional dan dengan mudah menerima
politik uang.
Kelompok ini tidak peduli pada
program para kandidat dan juga tidak mempunyai informasi yang cukup tentang
rekam jejak kandidat. Kemampuan mengingat kelompok ini relatif rendah dan mampu
dipengaruhi oleh bentuk komunikasi jangka pendek melalui iklan dan publikasi
media massa. Penulis melihat bahwa kelompok ini banyak menggunakan hak pilihnya
untuk pasangan kandidat No.1 Foke-Nara dan juga kandidat No.3 Jokowi-Ahok.
Pemilukada DKI masih akan berlanjut
ke putaran dua. Kemenangan Foke atau Jokowi akan sangat ditentukan oleh swing voter yang banyak berada di kelompok termobilisasi
anarkis. Kita tunggu saja hasil selanjutnya...
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara
No comments:
Post a Comment