Pemilu Presiden 2014 benar-benar menjadi
'pesta demokrasi' baik secara offline
maupun online. Pesta yang seakan
menyiapkan lengsernya SBY - yang selama sepuluh tahun ini membuat rakyat kompak buat mengritiknya
- sekaligus menyiapkan karpet merah buat kedatangan presiden baru.
Terutama di social media, dukungan kepada masing-masing capres begitu terasa.
Mulai dari pasang profile picture
sampai share berita-berita yang
memberi nilai plus pada capres dukungannya, dan juga segala keburukan
kompetitornya. Sampai di sini saya masih oke.
'Pesta Demokrasi' perlahan berubah menjadi
'perang demokrasi' yang masing-masing beradu argumen, baik yang berupa fakta
ataupun masih sebatas asumsi. Mulai terlihat debat di sana-sini... dan pastinya
semua merasa benar dan tidak ada yang mau kalah. Oke, sampai di sini saya mulai
jengah.
Sejak pemilu 1997 (jadi ketahuan deh
umurnya...) sampai pemilu 2009 lalu saya tidak pernah sekalipun menjadi golput.
Keluarga saya - keluarga PNS dan birokrat - punya jagoan yaitu Golkar. Tradisi itu diturunkan pada
saya sehingga saya selalu mencoblos partai pilihan keluarga saya tersebut
sampai 2009. Sekali pernah absen mencoblos Golkar yaitu saat euforia reformasi
pada pemilu 1999 dan saya saat itu mencoblos PRD (Partai Rakyat Demokratik)
serta PUDI (Partai Uni Demokrasi Indonesia). Sayangnya, partai-partai
tersebut tidak menang bahkan isinya banyak yang hijrah ke partai-partai mainstream.
Lalu bicara tentang golput, maka dulu saya
termasuk orang yang sebel sama orang yang golput. Saya berfikiran mereka itu
orang-orang yang malas dan tidak berani memilih. Bahkan di tahun 2004 saya
pernah ikut kompetisi iklan yang diadakan KPU untuk mengurangi angka golput,
terutama di kalangan pemuda.
Namun hal itu berubah sejak 2010. Sejak saya
sekolah lagi dan mengambil jurusan komunikasi politik. Dulu tak pernah
terpikirkan bagi saya untuk mempelajari masalah politik. Bahkan dulu saya sering berasumsi
bahwa hanya ada tiga kelompok orang yang suka bicara politik yaitu: (1) Politisi; (2)
Orang yang kuliah politik; dan (3) Pengangguran atau orang yang gak ada
kerjaannya. Namun semenjak maraknya social media, seakan
politik menjadi topik yang menarik sehingga tiap orang senang bicara politik
dan sering merasa paling ahli dalam hal politik.
Sejak Pemilukada DKI 2012 saya menyatakan
untuk menjadi golput. Suatu hal yang dulu saya anggap tabu. Namun entah kenapa,
semakin saya tahu masalah politik - secara akademis dan bukan dari media-media
partisan - semakin sulit bagi saya untuk menentukan pilihan. Mungkin pula saya
menjadi utopis, karena mengharapkan pemimpin yang ideal dan tanpa cela.
Beberapa teman bahkan mengingatkan saya, "Hei... kamu memilih pemimpin lho,
bukan nabi." Tapi entah kenapa tetap saja membuat saya sulit untuk
memilih. Begitu banyak keburukan politik yang telah kami bahas di kelas dan tak
sampai ke media.
Derita menjadi golput adalah saya digencet
kanan-kiri. Sering pula di caci pengecut dan dianggap 'buang body'. Ah, padahal saya baik-baik saja
kok dengan pilihan orang lain. Beberapa tidak secara frontal, tapi menggiring
opini saya untuk memilih salah satu kandidat. Menarik!
Ada juga yang menyinggung satir sambil mem-posting foto mahasiswa 98 yang sedang
menduduki gedung DPR. Saya hanya bisa tersenyum... karena pihak yang saya
anggap - ini asumsi - bertanggung jawab dalam kasus-kasus 98 justru ada di
pihaknya. Ah, apa kata teman-teman yang gugur kalo saya memilih para pelakunya.
Faktanya memang masih
banyak golput yang terjadi karena apatisme – ketidakpedulian pada politik yang
ada. Kelompok golput ini beranggapan apapun hasil pemilu nanti tidak akan
berpengaruh pada kehidupan pribadi mereka. Mereka akan tetap cari makan
sendiri, berjuang sendiri. Implementasi pemikiran ini adalah kelompok ini tidak
datang pada hari pencoblosan, memilih berdiam di rumah atau bahkan berwisata
bersama keluarga.
Kelompok golput apatis
ini yang seringpula disebut sebagai buta politik. Mereka tidak sadar bahwa
politik hadir dalam berbagai sisi kehidupan mereka. Jalan raya, fasilitas umum,
bahkan standar upah bagaimanapun adalah sebuah produk politik yang
difaktualisasikan melalui hukum positif. Public
policy adalah sebuah produk politik yang suka atau tidak suka akan
dinikmati oleh setiap warga negara.
Kelompok lainnya dari
golput ini saya sebut dengan golput rasional. Golput tidak dilakukan karena
bentuk apatisme, bukan pula sebagai bentuk perlawanan seperti golput pada masa
orde baru. Golput dalam kelompok ini justru merupakan perwujudan dari media literacy yang baik dan kelompok
ini umumnya memiliki informasi yang berimbang, secara holistik melihat dan
mengkomparasi beberapa sumber informasi untuk melihat validitas informasi yang
didapat. Kelompok ini tidak mudah untuk meneruskan – share, retweet – informasi yang mereka dapat terutama dari social
media sebelum mereka bisa melakukan check
& re-check akan validitas informasi.
Golput rasional
bukanlah merupakan sebuah bentuk perlawanan. Kelompok ini sadar bahwa yang
mereka hadapi adalah sebuah sistem yang memang tidak dapat dilawan.
Rasionalitas kelompok ini didasari bagaimanapun ada unsur transaksional dalam
sebuah proses pemilu, dan kelompok ini memiliki kriteria dan standar tertentu
yang harus dipenuhi oleh kontestan pemilu. Golput rasional akan sangat mungkin
menjadi pemilih yang rasional – dan tidak membabi-buta – jika suatu saat
kontestan pemilu memenuhi standar mereka.
Sekilas mungkin
seperti utopia, namun kelompok golput rasional ini adalah orang-orang yang bisa
diajak berdiskusi dan tidak fanatik akan ke-golput-annya. Pengetahuan mereka
yang holistik dan netral membantu mereka untuk dapat berdiskusi dengan pihak
lain tanpa harus memaksakan apalagi menyalahkan pendapat yang berseberangan.
Yang menarik adalah,
kelompok golput rasional tidak akan menjadi kelompok yang anti terhadap hasil
pemilu nantinya. Kelompok ini akan menghormati hasil pemilu namun memilih untuk
tidak bekerja sama dengan produk hasil pemilu tersebut. Sikap ini dikenal
dengan sebuah gerakan non-koorporatif, yang artinya kelompok ini tidak mau
bergantung kepada sistem atau produk hasil pemilu nantinya – namun tidak pula
menolak.
Gerakan non-koorporatif
adalah pula sebuah gerakan kemandirian dalam berfikir dan bersikap. Artinya
kelompok ini tidak akan terburu-buru menyalahkan pihak lain jika ada sebuah
kondisi yang salah. Kelompok ini justru akan melakuan auto-critism, yang artinya mereka akan mencoba melakukan perbaikan
dari dalam – dari pemikiran dan tindakan mereka sendiri. Hal yang sangat sulit
dilakukan oleh para pendukung fanatik para kandidat pemilu – yang kemudian
banyak menghasilkan negative campaign.
Kelompok golput
rasional ini mengimplementasikan gagasan mereka dengan tetap datang pada hari
pemilu. Mereka tetap bersemangat untuk melaksanakan pesta demokrasi tersebut,
namun bukan untuk memilih salah satu kandidat. Mereka datang, masuk bilik
suara, dan merusak surat suara mereka sehingga nantinya akan menjadi surat
suara yang tidak sah, dengan memilih semua kandidat atau mencoblos gambar lain
di kertas suara.
Bagi kelompok ini,
tidak datang pada hari pemilu sama saja dengan membiarkan ‘penjahat’ mengambil
alih dan memanfaatkan kertas suara mereka untuk kepentingan kandidat tertentu.
Bagi golput rasional, tidak datang pada hari pemilu bukan hanya menjadi apatis,
namun juga memasrahkan nasib dan bergantung pada sistem. Jauh dari konsep
kemandirian para golput rasional.
Akhir kata, saya tentu
tidak berani mengatakan bahwa teman-teman yang mendukung capres tertentu tidak
baik – tentu tidak begitu. Saya menghormati apapun pilihan teman-teman karena
itu semua juga merupakan bagian dari demokrasi dan dijamin oleh undang-undang.
Janganlah karena kita berbeda membuat alasan kita untuk dapat saling menyerang.
Berbeda pilihan bukan berarti kita menjadi musuh... karena kita masih hidup di
negeri yang sama, menggunakan bahasa yang sama... Indonesia.
No comments:
Post a Comment