07 July 2014

Tidak Mudah Menjadi Golput


Pemilu Presiden 2014 benar-benar menjadi 'pesta demokrasi' baik secara offline maupun online. Pesta yang seakan menyiapkan lengsernya SBY - yang selama sepuluh tahun ini membuat rakyat kompak buat mengritiknya - sekaligus menyiapkan karpet merah buat kedatangan presiden baru.

Terutama di social media, dukungan kepada masing-masing capres begitu terasa. Mulai dari pasang profile picture sampai share berita-berita yang memberi nilai plus pada capres dukungannya, dan juga segala keburukan kompetitornya. Sampai di sini saya masih oke.

'Pesta Demokrasi' perlahan berubah menjadi 'perang demokrasi' yang masing-masing beradu argumen, baik yang berupa fakta ataupun masih sebatas asumsi. Mulai terlihat debat di sana-sini... dan pastinya semua merasa benar dan tidak ada yang mau kalah. Oke, sampai di sini saya mulai jengah.

Sejak pemilu 1997 (jadi ketahuan deh umurnya...) sampai pemilu 2009 lalu saya tidak pernah sekalipun menjadi golput. Keluarga saya - keluarga PNS dan birokrat - punya jagoan yaitu Golkar. Tradisi itu diturunkan pada saya sehingga saya selalu mencoblos partai pilihan keluarga saya tersebut sampai 2009. Sekali pernah absen mencoblos Golkar yaitu saat euforia reformasi pada pemilu 1999 dan saya saat itu mencoblos PRD (Partai Rakyat Demokratik) serta PUDI (Partai Uni Demokrasi Indonesia). Sayangnya, partai-partai tersebut tidak menang bahkan isinya banyak yang hijrah ke partai-partai mainstream.

Lalu bicara tentang golput, maka dulu saya termasuk orang yang sebel sama orang yang golput. Saya berfikiran mereka itu orang-orang yang malas dan tidak berani memilih. Bahkan di tahun 2004 saya pernah ikut kompetisi iklan yang diadakan KPU untuk mengurangi angka golput, terutama di kalangan pemuda.

Namun hal itu berubah sejak 2010. Sejak saya sekolah lagi dan mengambil jurusan komunikasi politik. Dulu tak pernah terpikirkan bagi saya untuk mempelajari masalah politik. Bahkan dulu saya sering berasumsi bahwa hanya ada tiga kelompok orang yang suka bicara politik yaitu: (1) Politisi; (2) Orang yang kuliah politik; dan (3) Pengangguran atau orang yang gak ada kerjaannya. Namun semenjak maraknya social media, seakan politik menjadi topik yang menarik sehingga tiap orang senang bicara politik dan sering merasa paling ahli dalam hal politik.

Sejak Pemilukada DKI 2012 saya menyatakan untuk menjadi golput. Suatu hal yang dulu saya anggap tabu. Namun entah kenapa, semakin saya tahu masalah politik - secara akademis dan bukan dari media-media partisan - semakin sulit bagi saya untuk menentukan pilihan. Mungkin pula saya menjadi utopis, karena mengharapkan pemimpin yang ideal dan tanpa cela.

Beberapa teman bahkan mengingatkan saya, "Hei... kamu memilih pemimpin lho, bukan nabi." Tapi entah kenapa tetap saja membuat saya sulit untuk memilih. Begitu banyak keburukan politik yang telah kami bahas di kelas dan tak sampai ke media.

Derita menjadi golput adalah saya digencet kanan-kiri. Sering pula di caci pengecut dan dianggap 'buang body'. Ah, padahal saya baik-baik saja kok dengan pilihan orang lain. Beberapa tidak secara frontal, tapi menggiring opini saya untuk memilih salah satu kandidat. Menarik!

Ada juga yang menyinggung satir sambil mem-posting foto mahasiswa 98 yang sedang menduduki gedung DPR. Saya hanya bisa tersenyum... karena pihak yang saya anggap - ini asumsi - bertanggung jawab dalam kasus-kasus 98 justru ada di pihaknya. Ah, apa kata teman-teman yang gugur kalo saya memilih para pelakunya.

Faktanya memang masih banyak golput yang terjadi karena apatisme – ketidakpedulian pada politik yang ada. Kelompok golput ini beranggapan apapun hasil pemilu nanti tidak akan berpengaruh pada kehidupan pribadi mereka. Mereka akan tetap cari makan sendiri, berjuang sendiri. Implementasi pemikiran ini adalah kelompok ini tidak datang pada hari pencoblosan, memilih berdiam di rumah atau bahkan berwisata bersama keluarga.

Kelompok golput apatis ini yang seringpula disebut sebagai buta politik. Mereka tidak sadar bahwa politik hadir dalam berbagai sisi kehidupan mereka. Jalan raya, fasilitas umum, bahkan standar upah bagaimanapun adalah sebuah produk politik yang difaktualisasikan melalui hukum positif. Public policy adalah sebuah produk politik yang suka atau tidak suka akan dinikmati oleh setiap warga negara.

Kelompok lainnya dari golput ini saya sebut dengan golput rasional. Golput tidak dilakukan karena bentuk apatisme, bukan pula sebagai bentuk perlawanan seperti golput pada masa orde baru. Golput dalam kelompok ini justru merupakan perwujudan dari media literacy yang baik dan kelompok ini umumnya memiliki informasi yang berimbang, secara holistik melihat dan mengkomparasi beberapa sumber informasi untuk melihat validitas informasi yang didapat. Kelompok ini tidak mudah untuk meneruskan – share, retweet – informasi yang mereka dapat terutama dari social media sebelum mereka bisa melakukan check & re-check akan validitas informasi.

Golput rasional bukanlah merupakan sebuah bentuk perlawanan. Kelompok ini sadar bahwa yang mereka hadapi adalah sebuah sistem yang memang tidak dapat dilawan. Rasionalitas kelompok ini didasari bagaimanapun ada unsur transaksional dalam sebuah proses pemilu, dan kelompok ini memiliki kriteria dan standar tertentu yang harus dipenuhi oleh kontestan pemilu. Golput rasional akan sangat mungkin menjadi pemilih yang rasional – dan tidak membabi-buta – jika suatu saat kontestan pemilu memenuhi standar mereka.

Sekilas mungkin seperti utopia, namun kelompok golput rasional ini adalah orang-orang yang bisa diajak berdiskusi dan tidak fanatik akan ke-golput-annya. Pengetahuan mereka yang holistik dan netral membantu mereka untuk dapat berdiskusi dengan pihak lain tanpa harus memaksakan apalagi menyalahkan pendapat yang berseberangan.

Yang menarik adalah, kelompok golput rasional tidak akan menjadi kelompok yang anti terhadap hasil pemilu nantinya. Kelompok ini akan menghormati hasil pemilu namun memilih untuk tidak bekerja sama dengan produk hasil pemilu tersebut. Sikap ini dikenal dengan sebuah gerakan non-koorporatif, yang artinya kelompok ini tidak mau bergantung kepada sistem atau produk hasil pemilu nantinya – namun tidak pula menolak.

Gerakan non-koorporatif adalah pula sebuah gerakan kemandirian dalam berfikir dan bersikap. Artinya kelompok ini tidak akan terburu-buru menyalahkan pihak lain jika ada sebuah kondisi yang salah. Kelompok ini justru akan melakuan auto-critism, yang artinya mereka akan mencoba melakukan perbaikan dari dalam – dari pemikiran dan tindakan mereka sendiri. Hal yang sangat sulit dilakukan oleh para pendukung fanatik para kandidat pemilu – yang kemudian banyak menghasilkan negative campaign.

Kelompok golput rasional ini mengimplementasikan gagasan mereka dengan tetap datang pada hari pemilu. Mereka tetap bersemangat untuk melaksanakan pesta demokrasi tersebut, namun bukan untuk memilih salah satu kandidat. Mereka datang, masuk bilik suara, dan merusak surat suara mereka sehingga nantinya akan menjadi surat suara yang tidak sah, dengan memilih semua kandidat atau mencoblos gambar lain di kertas suara.

Bagi kelompok ini, tidak datang pada hari pemilu sama saja dengan membiarkan ‘penjahat’ mengambil alih dan memanfaatkan kertas suara mereka untuk kepentingan kandidat tertentu. Bagi golput rasional, tidak datang pada hari pemilu bukan hanya menjadi apatis, namun juga memasrahkan nasib dan bergantung pada sistem. Jauh dari konsep kemandirian para golput rasional.

Akhir kata, saya tentu tidak berani mengatakan bahwa teman-teman yang mendukung capres tertentu tidak baik – tentu tidak begitu. Saya menghormati apapun pilihan teman-teman karena itu semua juga merupakan bagian dari demokrasi dan dijamin oleh undang-undang. Janganlah karena kita berbeda membuat alasan kita untuk dapat saling menyerang. Berbeda pilihan bukan berarti kita menjadi musuh... karena kita masih hidup di negeri yang sama, menggunakan bahasa yang sama... Indonesia.


No comments: